Penyebab Jumlah Penumpang Pesawat Alami Penurunan Drastis

  • Oleh :

Rabu, 05/Feb/2020 01:07 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Semakin menurunya jumlah penumpang pesawat terbang untuk rute domestik tahun 2019 dibanding tahun sebelumnya. Salah satu faktornya adalah harga tiket pesawat terbang yang mahal yang juga disebabkan faktor pengikut lainnya.Badan Pusat Statistik (BPS) dalam konferensi pers menuturkan bahwa jumlah penumpang pesawat untuk rute domestik pada 2019 mencapai 76,7 juta penumpang, turun 18,54% jika dibanding dengan tahun sebelumnya yang mencapai 94,13 juta penumpang.Kalau dicermati lebih jauh, jumlah penumpang pesawat untuk rute domestik tiap bulannya sepanjang 2019 lebih rendah dibanding tahun 2018.Screenshot_20200204-235242_resize_47Kepala BPS Suhariyanto mengatakan bahwa salah satu penyebab turunnya jumlah penumpang yang cukup signifikan tersebut adalah harga tiket yang mahal. "Harga memang sudah turun, tetapi tetap lebih mahal dari beberapa tahun sebelumnya" begitu katanya saat konferensi pers kemarin, Senin (3/2/2020).Harga tiket pada 2019 memang terbilang mahal. Sebagai contoh beberapa maskapai penerbangan sejak awal tahun lalu menaikkan harga tiketnya. Sebut saja Garuda, Citilink, Sri Wijaya dan NAM Air.Pada kuartal pertama tahun lalu, harga tiket domestik Garuda naik 15% (qoq) dan 46% (yoy). Citilink yang terkenal dengan maskapai penerbangan low cost airlines yang terkenal dengan harga tiketnya yang murah pun mengikuti cara Garuda dengan menaikkan harga tiket. Pada periode yang sama harga tiket Citilink naik 23% (qoq) dan 64% (yoy).Langkah serupa juga diambil oleh Sri Wijaya Group yang kala itu berada di bawah naungan Garuda juga menaikkan harga tiket. Harga tiket domestik Sri Wijaya Group naik 43% (qoq) dan 97% (yoy). Sementara maskapai penerbangan lain yaitu NAM Air mengalami kenaikan harga tiket 81% (qoq) dan 149% (yoy).Tak bisa dipungkiri, kenaikan harga tiket yang sangat signifikan ini membuat appetite orang untuk bepergian menjadi berkurang. Kenaikan harga tiket ini pun banyak dikeluhkan oleh pelanggan.Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi diminta untuk menurunkan harga tiket pesawat. Namun persoalan tarif tiket pesawat ini tak sesederhana itu. Carut marut industri penerbangan nasional membuat penurunan harga tiket pesawat seperti menghadapi situasi harus makan buah si malakama. Dimakan ibu mati tak dimakan bapak mati.Kalau harga tiket diturunkan, maskapai-maskapai penerbangan tanah air akan menanggung rugi yang makin besar dan kelangsungan bisnisnya di ujung tanduk.Sementara jika harga tak diturunkan, maka harga yang sangat mencekik membuat penumpang mengurungkan diri bepergian dengan pesawat terbang dan ujung-ujungnya dapat memicu penurunan pendapatan maskapai.Soal harga tiket yang terlampau mahal ini memang masalah yang kompleks dan sulit. Ada beberapa faktor yang membuat masalah ini sulit untuk dipecahkan. Pertama membengkaknya biaya operasional perusahaan jasa penerbangan.Beban operasional penerbangan merupakan komponen biaya terbesar yang membentuk beban usaha maskapai. Kontribusinya terhadap total beban usaha hampir 60%.Komponen penyusun terbesar kedua adalah beban pemeliharaan dan perbaikan yang kontribusinya mencapai 11,5% dari total beban usaha. Sebagai contoh mengacu pada laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) pada 2018.Pada 2019 pendapatan GIAA naik 4,5% (yoy), tetapi beban usahanya naik 8% (yoy). Hal ini membuat laba operasi jadi minus. Menurut laporan keuangan GIAA tahun 2018 yang disajikan kembali, laba operasi GIAA di tahun tersebut sudah minus kurang lebih US$ 210 juta.Beban operasional perusahaan yang menjadi komponen terbesar perusahaan juga naik 10,1% (yoy). Pada pos ini, biaya bahan bakar dan sewa pesawat berkontribusi hingga 90% dari beban operasional. Pada pos ini biaya yang dikeluarkan oleh GIAA untuk bahan bakar naik signifikan hingga 21,7% dan jadi penyumbang utama membengkaknya biaya operasional.Usut punya usut, kenaikan pos bahan bakar dipicu oleh naiknya harga avtur. Dalam kurun waktu tiga tahun harga minyak rata-rata acuan Mean Oil Platts Singapore (MOPS) mengalami kenaikan hingga 63%.Faktor lain yang juga membuat biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar membengkak adalah depresiasi rupiah yang dalam pada 2018.Dua tahun lalu rupiah melemah di hadapan dolar dan tembus level psikologis Rp 15.000/US$. Hal ini tentu semakin memberatkan keuangan perusahaan mengingat RI juga masih mengimpor avtur dan suku cadang pesawat.Tahun 2018 juga diwarnai dengan kenaikan suku bunga acuan yaitu BI 7 Day Reverse Repo Rate. Kala itu BI menaikkan suku bunga acuan hingga 6x saat bank sentral AS, The Fed menaikkan suku bunga acuannya sampai 4x. Dampaknya tentu bunga untuk pinjaman naik dan menyebabkan biaya untuk meminjam dari bank menjadi lebih mahal.Selain membengkaknya ongkos operasional, Garuda juga mengalami tekanan karena harus membayar utang senilai US$ 125 juta (Rp 1,8 triliun) yang jatuh tempo pada kuartal pertama 2019.Selain membengkaknya ongkos operasional karena naiknya harga bahan bakar, peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkalpinang pada 29 Oktober 2018 juga menjadi faktor lain yang memberatkan.Padahal pesawat yang jatuh di perairan Karawang tersebut yang berjenis Boeing 737 Max 8 merupakan pesawat yang baru dibeli oleh Maskapai Lion Air. Pesawat pabrikan AS tersebut terbang pertama secara komersil pada 2017.Pesawat Boeing 737 Max 8 itu pertama kali dioperasikan maskapai Lion Air pada Agustus 2018, dan Lion Air menjadi maskapai pertama yang menerbangkan pesawat paling anyar itu. Tak tanggung-tanggung, Lion Air memesan 218 unit pesawat tersebut.Setelah kejadian itu, pesawat tersebut untuk sementara dilarang untuk mengudara selagi dilakukan investigasi. Hal ini tentu semakin memperkeruh suasana dan jadi beban perusahaan, pasalnya investasi yang digelontorkan untuk memesan pesawat tersebut menelan angka yang besar. Belum balik modal malah pesawatnya jatuh dan di-suspend.Kenaikan harga tiket kala itu juga mempertimbangkan bahwa saat beban operasional naik, harga tiket belum pernah naik sejak 2016. Penyesuaian harga tiket itu terakhir dilakukan melalui Peraturan Menteri Perhubungan nomor 14 tahun 2016.Faktor lainnya yang menjadi pertimbangan untuk menaikkan harga tiket adalah perbandingan dengan moda transportasi lain. Sebagai contoh pesawat yang menawarkan kecepatan untuk transportasi jarak jauh dengan tuntutan tingkat keselamatan yang lebih tinggi harga tiketnya tak jauh berbeda dengan kereta api.Contohnya, pada 2018 jika ingin pergi dari Jakarta ke Surabaya menggunakan kereta api eksekutif maka akan membutuhkan waktu lebih dari 10 jam dengan biaya sekitar Rp 500.000/pax. Sementara dengan pesawat kelas ekonomi yang harga tiketnya tak jauh beda kala itu, Jakarta Surabaya dapat ditempuh dalam waktu hanya 1 jam lebih sedikit.Isu lain yang jadi sorotan kala harga tiket pesawat naik adalah adanya duopoli maskapai penerbangan tanah air yang dikuasai oleh Garuda dan Lion Air. Dengan bergabungnya pengelolaan operasional Sriwijaya Air Group ke Garuda menyisakan kompetisi di langit Indonesia tersisa tinggal Garuda dan Lion Air yang menguasai pangsa pasar hingga 95%.Itulah gambaran carut marut industri penerbangan dalam negeri yang membuat jumlah penumpang pesawat rute domestik anjlok drastis pada 2019.Screenshot_20200205-000208_resize_20Namun kala jumlah penumpang pesawat anjlok drastis, jumlah penumpang kapal laut pada 2018 justru meningkat pesawat hingga 18,4% (yoy).Screenshot_20200205-000255_resize_36Ada kemungkinan sebagian orang yang ingin bepergian jarak jauh terutama antar pulau lebih memilih beralih ke kapal karena harga tiket pesawat yang terlampau mahal. Sementara sebagian lain kemungkinan lebih memilih untuk mengurungkan niatnya bepergian. Di saat yang sama jumlah penumpang kereta api juga mengalami kenaikan, tetapi tak signifikan karena hanya naik 1,4% (yoy). (fahmi/sumber cnbcindonesia)