Stimulus Indonesia Terlalu Sedikit & Sangat Telat, Kata Mantan Menkeu

  • Oleh :

Kamis, 26/Mar/2020 09:50 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Upaya Presiden Indonesia Joko Widodo dalam memberikan stimulus dinilai tidak tepat sasaran, menurut dua mantan menteri keuangan.Dengan prospek ekonomi yang sudah memburuk dengan cepat, pemerintah harus segera melonggarkan plafon defisit anggaran yang diamanatkan secara hukum untuk memungkinkan dosis stimulus yang lebih besar, kata mantan menteri keuangan Chatib Basri. Rizal Ramli, mantan kepala keuangan lainnya, menyerukan lebih banyak insentif yang dirancang lebih baik untuk sektor-sektor dan bidang-bidang yang paling dirugikan oleh pandemi ini.Karena jumlah kasus Covid-19 dan kematian yang terkait dengan pandemi di Indonesia melonjak, pihak berwenang sekarang meningkatkan upaya untuk mengurangi penyebaran penyakit dan juga melindungi ekonomi tetapi tak sebesar dibandingkan dengan stimulus fiskal dan moneter yang diumumkan oleh negara lain. Para pejabat juga semakin khawatir tentang pukulan finansial dari virus dengan memperingatkan ekonomi mungkin terhenti di bawah skenario yang akan mengarah pertumbuhan ekonomi anjlok ke nol.640x-1"Kita seharusnya melakukan sesuatu pada awal Januari, tetapi selama dua setengah bulan kami melakukan penyangkalan diri," kata Rizal Ramli, seorang ekonom yang juga bertugas di kabinet Joko Widodo selama masa jabatan pertamanya. "Kami bahkan berusaha memberikan insentif untuk perjalanan ke luar negeri ke Indonesia sementara semua orang berusaha untuk menghentikannya."Tindakan Stimulus Indonesia:

- Keringanan pajak, insentif fiskal untuk pariwisata, perjalanan, hotel, dan maskapai.- Pengabaian pajak impor untuk beberapa barang, perusahaan, keringanan pajak individu.- Alokasikan kembali anggaran untuk mengatasi dampak virus.- Menyalurkan lebih banyak dana untuk memerangi virus.- Bank sentral memangkas suku bunga, persyaratan rasio cadangan untuk bank.
Sebagaimana diketahui presiden, untuk sementara waktu mengangkat batas defisit anggaran menjadi 5% dari produk domestik bruto dari 3% saat ini, dengan alasan pembelanjaan harus ditingkatkan untuk melawan dampak dari virus. Presiden mengatakan dia sedang dalam pembicaraan dengan parlemen tentang mengeluarkan keputusan untuk menaikkan batas.Pemerintah harus menaikkan pagu sebagai langkah darurat, kata Basri, yang menjabat sebagai menteri keuangan di bawah pendahulu Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono. Jumlah uang yang dibutuhkan untuk mempertahankan ekonomi terhadap dampak virus berarti defisit 3%, katanya.Masalahnya adalah harga obligasi global tidak terlalu bersahabat dalam situasi saat ini sehingga penting bagi pemerintah untuk mengeksplorasi kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia atau pada tingkat bilateral, "kata Basri.Jokowi pekan lalu memerintahkan semua kementerian dan lembaga untuk memangkas pengeluaran dan agar anggaran difokuskan untuk memerangi dampak virus. Arahan mengikuti serangkaian langkah-langkah stimulus fiskal dalam beberapa pekan terakhir dan dua penurunan suku bunga berturut-turut oleh bank sentral yang bertujuan menopang perekonomian.Pemerintah perlu melihat urutan respon stimulusnya, kata Basri, menambahkan pembayaran tunai ke 40% terbawah dari penerima upah, banyak dari mereka yang dipekerjakan di sektor informal, juga harus dipertimbangkan.Indonesia memiliki salah satu angkatan kerja terbesar di dunia, yang berjumlah 127 juta lebih besar daripada populasi gabungan Italia dan Inggris. Tetapi 56% dari orang-orang dengan pekerjaan, sekitar 70 juta, memiliki pekerjaan informal dengan sedikit atau tanpa jaring pengaman, membuat mereka sangat terpapar dalam krisis ekonomi.Pihak berwenang juga harus mempertimbangkan pelonggaran sementara aturan kredit bagi bisnis untuk mengatasi kewajiban pembayaran utang, kata Basri, yang juga presiden komisaris PT Bank Mandiri milik negara.Indonesia memiliki sumber daya yang cukup tetapi harus ada perubahan radikal dalam anggaran, kata Ramli. "Kami telah kehilangan dua setengah bulan waktu yang sangat berharga."Sumber: bloomberg.com.