Dari Bandara Changi, Seorang WNI bersama Anaknya Dikarantina 14 Hari di Hotel, Simak Pengalaman Selengkapnya

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 07/Janu/2021 13:41 WIB
Ratusan orang memadati pusat perbelanjaan Singapura di tengah pandemi Covid-19 yang mencatat total lebih dari 58.000 kasus dikonfirmasi dan 29 kematian pada 12 Desember 2020. (foto:Zakaria Zainal - Anadolu Agency) Ratusan orang memadati pusat perbelanjaan Singapura di tengah pandemi Covid-19 yang mencatat total lebih dari 58.000 kasus dikonfirmasi dan 29 kematian pada 12 Desember 2020. (foto:Zakaria Zainal - Anadolu Agency)

SINGAPURA (BeritaTrans.com) - Selama 14 x 24 jam saya harus berada di dalam ruangan. Tidak boleh keluar sama sekali. Tapi saya bukan dipenjara. Itu aturan stay at-home notice (SHN) pemerintah Singapura untuk mencegah virus korona menyebar.

Saya berdua dengan anak laki-laki saya mendarat di Bandara Changi, Singapura, pada 18 Oktober 2020 malam. Sebelum mencapai gerbang pengecekan imigrasi, saya sudah dipandu seorang petugas dari Immigration and Checkpoints Authority (ICA) Singapura.

Baca Juga:
Bandara Internasional Yogyakarta Buka Penerbangan ke Singapura Mulai Bulan Depan, Tiket Rp 600 Ribuan

Mungkin karena saya dan anak mendarat di Singapura dengan in principle approval (IPA) untuk student pass atau visa pelajar – belum berupa visa itu sendiri – kami diminta menunggu di sebuah kantor sementara ICA. Kantor ini sepertinya didirikan karena pandemi Covid-19.

Petugas meminta semua dokumen yang diperlukan, tentu termasuk paspor. Selain IPA untuk visa pelajar, kami diminta menunjukkan letter of approval (LoA) atau surat izin masuk Singapura yang dikeluarkan instansi pemerintah terkait.

Baca Juga:
Batik Air Tambah Lagi Penerbangan Jakarta - Singapura, Ini Jadwalnya!

Saya dan anak memiliki LoA dari Kementerian Pendidikan Singapura. Saya memperolehnya melalui National University of Singapore, tempat saya berkuliah. Anak saya mendapatkannya melalui sebuah sekolah swasta di Singapura di mana dia terdaftar.

Jika Anda ke Singapura untuk bekerja, maka surat izin masuk diperoleh dari Kementerian Tenaga Kerja. Kemenaker Singapura juga mengeluarkan izin untuk dependent atau orang yang bergantung kepada seseorang yang bekerja di sini, yang biasanya pasangan, anak atau orang tua. Sementara jika Anda ingin berobat ke Singapura, surat izin dikeluarkan Kementerian Kesehatan.

Baca Juga:
Akselerasi Pemulihan Penerbangan, Angkasa Pura II dan Changi Airport Group Jajaki Kolaborasi di 3 Aspek

Setelah urusan surat beres, kami diarahkan keluar ke sebuah pintu khusus untuk setiap orang yang harus menjalani SHN. Hanya pengunjung dari dua negara yang terbebas dari kewajiban SHN ini, dari Brunei Darussalam dan Selandia Baru.

Pengunjung yang datang dari selain dua negara itu wajib melakukan SHN, namun dengan jumlah hari yang berbeda-beda. Pengunjung dari China daratan, Australia (kecuali negara bagian Victoria), Makao, Taiwan, Vietnam, dan Malaysia cukup 7 hari.

Pengunjung dari negara-negara selain disebut di atas, semuanya wajib ikut SHN selama 14 hari. Belakangan, awal Desember 2020, pengunjung dari Malaysia juga jadinya wajib 14 hari karena terjadi peningkatan kasus Covid-19 di negeri jiran itu.

Ada dua model SHN; tempatnya ditentukan pemerintah atau dipilih sendiri oleh orang yang wajib SHN. Model kedua ini hanya untuk warga Singapura yang usai bepergian ke negara-negara yang wajib terkena SHN.

Mereka harus memastikan SHN benar-benar dilakukan sendiri karena petugas akan memeriksa secara tempat pelaksanaan SHN. Sementara warga negara asing, tempat SHN akan dipilihkan pemerintah Singapura.

SHN ini berbayar, kecuali bagi warga Singapura yang sudah berada di luar Singapura sejak sebelum 27 Maret 2020. Peserta juga membayar untuk tes usap Covid-19. Tapi karena saya dan anak tujuannya untuk belajar, Kementerian Pendidikan Singapura menyubsidi sebagian biaya SHN kami dan bahkan anak saya membayar lebih kecil lagi karena kami ditempatkan sekamar.

Dari pintu khusus buat SHN itu, kami bersama beberapa penumpang lain diarahkan naik ke sebuah bus yang sudah bersiaga. Bus ini mengantar kami ke sebuah hotel bintang empat di distrik bisnis Singapura.

Petugas-petugas pemerintah dan hotel dengan sigap memproses kedatangan kami, mendata kami, dan melakukan survei kecil termasuk soal menu makanan yang menjadi pilihan kami selama SHN. Saya pilih menu ‘halal’.

14 hari di kamar hotel

Koper-koper kami diminta ditinggal karena akan diberi semprotan disinfektan terlebih dulu. Saya dan anak lalu diarahkan ke lift untuk menuju ke kamar. Saat menuju kamar kami yang ternyata terletak paling pojok, saya melihat di depan setiap pintu kamar ada sebuah kursi yang dibalut pembungkus kain berwarna putih. Saya berpikir, mungkin sebagai penanda bahwa penghuninya sedang melakukan SHN. Belakangan saya tahu, ada fungsi lainnya.

Sebagai sekeluarga, kami ditempatkan sekamar dengan pilihan ranjang king size. Kamarnya cukup luas, memiliki bak mandi, televisi layar datar, kulkas, dan meja kerja. Kamar kami yang berjendela lebar menghadap ke sebuah taman kota.

Tak lama setelah masuk, koper-koper kami datang. Kami masuk menjelang tengah malam, sehingga saya langsung bertindak sigap dengan membongkar koper-koper untuk menyiapkan pakaian bersih dan keperluan mandi sebelum beristirahat dan tidur.

Besok paginya kami bangun agak kesiangan mungkin karena kelelahan sehari sebelumnya. Pukul 08.30 waktu Singapura, saya mendengar bunyi bel tanda ada yang memencet di depan pintu. Tentu saya penasaran karena berdasarkan aturan SHN, saya tak boleh berinteraksi secara fisik dengan orang lain selama dalam SHN.

Saya pun menuju ke pintu. Saya mencoba mengintip dari kaca pengintip di pintu. Saya tak melihat siapa pun. Saya pun membuka pintu. Tak ada siapa-siapa. Saya melongok ke kanan dan kiri, kosong.

Saya berpikir, bisa saja seseorang meninggalkan kamarnya dan lalu pergi, namun tentu hotel memiliki sistem keamanan seperti kamera CCTV untuk melacak pergerakan tamunya. Dan jika melakukan itu, ada ancaman pidana kurungan atau denda 10 ribu dolar Singapura menanti.

Persis di depan pintu, di atas kursi yang sengaja ditaruh di sana, tampak dua paket berisi makanan. Nyata makanan karena menggunakan wadah plastik bening. Jadi begini rupanya makanan dikirim, ditaruh petugas di atas kursi, lalu mereka pencet bel dan buru-buru pergi.

Makanan datang tiga kali sehari. Pagi, siang, dan malam. Sesuai yang saya tandai, pilihan bahannya halal. Cara memasaknya sangat dipengaruhi India. Saya suka. Namun anak saya sepertinya kurang suka dan bosan.

Saat mengobrol melalui aplikasi pesan dengan teman-teman kuliah yang juga ikut SHN, mereka juga hadapi problem yang sama. Ternyata, makanan untuk SHN ini dilakukan satu perusahaan yang sama sehingga seragam untuk peserta SHN di mana pun.

Belakangan, hari ketujuh SHN, saya hubungi resepsionis, bertanya soal menu. Apakah salah satu dari kami bisa mengubah pola menu dari yang sudah dipilih sebelumnya. Kemudian saya juga tanyakan apakah pilihan lain itu juga halal.

Dia hanya menjawab, makanan disiapkan tanpa babi dan minyak babi. Akhirnya salah satu jatah makanan kami berganti jadi “makanan normal”. Dan anak saya lebih suka menu normal yang ternyata dimasak ala makanan Cina.

Hari kedua, saya juga menghubungi resepsionis, bertanya apakah saya bisa menitipkan oleh-oleh untuk seorang kenalan karena di saat yang sama saya juga meminta kenalan ini untuk membelikan anak saya buku tulis karena dia lupa membawanya dari Jakarta.

Ternyata, para peserta SHN hanya boleh menitipkan dokumen, tak boleh menitipkan barang. Sementara untuk menerima barang, bisa disampaikan melalui resepsionis. Teman-teman kuliah mengirimi kami makanan. Seorang kenalan yang memiliki kedai kopi mengirim secangkir kopi terbaiknya buat saya.

Hari-hari awal terasa mudah melewati SHN. Setiap sore, seseorang dari pihak hotel menghubungi kami melalui telepon, menanyakan keadaan kami. Syukurlah sampai hari ke-14, kami memang sehat-sehat saja. Namun minggu kedua mulai terasa membosankan. Anak saya yang baru berusia 10 tahun sampai menangis karena bosan dan mulai rindu ibunya yang masih di Jakarta.

Bagi saya, 14 hari di kamar hotel ini terbantu dengan kegiatan perkuliahan yang sepenuhnya online bisa tetap saya hadiri berkat koneksi Internet yang kencang. Jika tidak kuliah, saya biasanya menulis, berolahraga, membaca, dan menonton televisi. Saya juga sempat mengampu sebuah webinar khusus untuk anak-anak.

Jika tak menonton film-film dari kanal film yang disediakan hotel, saya menghabiskan waktu menonton stasiun televisi berita. Saat itu, akhir Oktober 2020, adalah masa pertarungan sengit di Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Anak saya sampai ikut terbawa emosi suasana Pemilu Amerika Serikat yang riuh itu.

Di hari ke-11, SHN saya dijeda dengan dibolehkan keluar dari kamar untuk mengikuti tes usap Covid-19. Saya dipandu seorang petugas hotel menuju sebuah lokasi yang di masa sebelum Pandemi berfungsi sebagai restoran. Saya melihat beberapa orang sedang diambil sampel cairan di hidungnya. Saya pun antre. Tak lama giliran saya yang diambil sampel di lubang hidungnya. Inilah pertama kalinya saya melakukan tes usap Covid-19.

Hari ke-13, tanggal 30 Oktober 2020, Kementerian Kesehatan Singapura mengirim email memberitahu bahwa hasil tes usap saya negatif. Oleh karena itu, anak saya tidak perlu dites usap dan kami berdua dibolehkan keluar sesuai masa waktu SHN berakhir, hari ke-14.

SHN memfilter virus

Menurut Teo Wan-yee (2020), peneliti dari Duke-NUS Medical School, Singapura, standar SHN 14 hari ini diambil berdasarkan temuan dari sebuah contoh kasus penderita Covid-19 yang baru masuk Singapura. Saat itu, Singapura belum memberlakukan standar SHN seperti yang saya dan anak lakukan. Pasien ini dijemput keluarga dari bandara, sehingga ketika dipastikan dia terkena Covid-19, anggota keluarganya juga berisiko kena.

Tes usap atas pasien itu, yang dilakukan dari hari 8 sampai hari 14, temuannya selalu positif. Setelah melewati hari ke-14, tes usap masih menemukan lagi Covid-19 namun dengan angka di bawah standar yang bisa menginfeksi.

Temuan ini menjadi masukan bagi pemerintah Singapura menerapkan standar SHN antara 7 sampai 14 hari, tergantung keadaan negara yang dikunjungi sebelumnya. Kemudian, sejak keluar pintu imigrasi, interaksi fisik diminimalisasi.

Tanggal 30 Oktober itu, ada 7 orang yang baru masuk Singapura terdeteksi membawa Covid-19. Ada dua penderita korona lagi ditemukan di Singapura hari yang sama atau disebut community cases.

Semua kasus ini tanpa gejala. Jika positif namun tanpa gejala, SHN diperpanjang sampai menunggu tes selanjutnya. Jika memiliki gejala, yang bersangkutan akan dibawa ke fasilitas kesehatan yang bisa menangani Covid-19.

Strategi SHN ini bisa dikatakan sukses. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyiratkan perbatasan Singapura akan kembali dibuka namun secara terkontrol dan aman, namun belum diketahui apakah ini termasuk memperlunak SHN yang 14 hari.

Singapura sedang menghitung kemungkinan kasus impor virus korona menyebar ke masyarakat. Beberapa waktu lalu, ada kasus di mana penumpang pesawat menularkan ke karyawan Bandara.

“Ini adalah risiko yang sudah kita kalkulasikan yang harus kita terima,” kata PM Lee saat pidato yang disiarkan langsung pada 14 Desember 2020 lalu.

PM Lee menyatakan perdagangan dan perjalanan merupakan aliran darah Singapura. Semakin lama perbatasan ditutup, semakin besar risiko Singapura kehilangan posisinya sebagai perlintasan internasional dan pada akhirnya akan mengganggu kehidupan Singapura.(amt/sumber:aa.com.tr)