Pesanan Kapal Baru Global Merosot 50%

  • Oleh : Redaksi

Jum'at, 08/Janu/2021 22:00 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com)  - Pemilik kapal menghadapi tenggat waktu yang semakin dekat untuk menggunakan bahan bakar ramah lingkungan.

Tenggat waktu yang menipis ini telah memangkas jumlah kapal baru yang dipesan karena pemilik kapal masih bingung teknologi alternatif mana yang harus digunakan.

Baca Juga:
Executive General Manager Pelindo Regional 2 Tanjung Priok Sambut Arus Balik Mudik di Pelabuhan Tanjung Priok

Amonia, hidrogen, biofuel, dan elektrifikasi adalah beberapa dari pilihan bahan bakar untuk menggerakkan kapal di masa depan, tetapi sebagian besar masih dalam tahap uji coba dan tidak akan dapat diskalakan setidaknya selama satu dekade.

Dengan umur kapal komersial rata-rata sekitar 20 tahun, memilih teknologi yang tidak tepat bisa jadi risiko yang sangat mahal.

Baca Juga:
Kemenhub Berangkatkan Ribuan Peserta Mudik Gratis Sepeda Motor dengan Kapal Laut Voyage Kedua Jakarta- Semarang

Namun, di sisi lain, pemilik akan kehabisan waktu untuk mencari pilihan. Pada 2018, Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah menetapkan target untuk memotong setengah emisi gas rumah kaca di transportasi laut pada tahun 2050 dari tingkat tahun 2008.

Batas waktu tersebut mendorong beberapa pemilik kapal untuk menunda pesanan baru sampai mencapat kepastian yang lebih jelas terkait dengan bahan bakar baru mana yang akan menjadi pilihan terbaik. Penurunan pesanan kapal makin menjadi-jadi dengan sengketa perdagangan global dan pandemi.

Baca Juga:
Rute Kapal Baru Buleleng-Raas Dibuka untuk Antisipasi Lonjakan Pemudik dari Bali saat Lebaran

Pesanan turun hampir 10 persen pada 2019. Kemudian, pesanan kembali turun lebih dari 50 persen pada 2020 ke level terendah dalam setidaknya dua dekade, dikutip dari data IHS Markit.

Jika aktivitas tidak meningkat, hal itu dapat menyebabkan kelangkaan kapal dan lonjakan tarif angkutan dalam beberapa tahun mendatang.

“Orang tidak memesan kapal karena kami tidak tahu harus menggunakan bahan bakar apa,” kata Morten Aarup, Kepala Riset Pasar di D/S Norden A/S.

"Insinyur, perancang kapal perlu bersatu untuk segera menemukan solusi terbaik," lanjutnya seperti dilansir Bloomberg.

Pemilik kapal yang gagal beralih ke kapal baru yang lebih bersih dapat mengalami kerugian kompetitif karena lebih banyak pelanggan menuntut transportasi yang ramah lingkungan.

Sekitar 12,3 persen kapal yang dipesan memiliki penggerak bahan bakar alternatif, dibandingkan dengan hanya 0,6 persen dari armada global saat ini, menurut data dari Drewry Maritime Services.

Tetapi penggunaan bahan bakar alternatif dalam pengiriman masih dalam tahap awal, dengan banyak pemilik kapal besar mengejar alternatif yang berbeda.

Trafigura Group, salah satu pedagang energi terbesar di dunia, diketahui memiliki saham di perusahaan yang menjual biofuel laut.

Sementara itu, lembaga klasifikasi kapal Lloyd's Register telah memberikan sertifikasi untuk beberapa proyek kapal berbahan bakar amonia dan perusahaan angkutan tanker asal Swedia, Stena Bulk AB, berencana untuk menjalankan beberapa kapalnya dengan bahan bakar minyak goreng bekas.

Target IMO pada tahun 2018 menyerukan pengurangan 40 persen dalam intensitas karbon pelayaran internasional pada tahun 2030 dan penurunan 70 persen pada tahun 2050 dari tingkat tahun 2008.

Sasaran tersebut akan menjadi lebih ambisius ketika badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meninjaunya pada tahun 2023. IMO juga memperkenalkan aturan pada awal tahun 2020 yang melarang bahan bakar laut yang mengandung lebih dari 0,5 persen sulfur untuk kapal yang tidak dilengkapi mesin scrubber pengurang polusi. (lia/sumber:bisnis.com)