Listrik Banyak Digunakan untuk Transportasi, PLN Diminta Lebih Transparan

  • Oleh : Naomy

Selasa, 09/Feb/2021 16:20 WIB
Petugas pemasangan listrik (dok) Petugas pemasangan listrik (dok)

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna mengatakan, listrik banyak digunakan juga untuk kebutuhan transportasi.

Menurut dia, seharusnya PLN bisa lebih transparan dalam bersinergi dengan Pemda. 

Baca Juga:
MRT Jakarta dan PLN Pasang Charging Station Bertenaga Surya di TOD Dukuh Atas Sudirman

"Selain kawasan industri, tol listrik juga sangat dibutuhkan untuk sektor transportasi, terutama untuk transportasi massal," ujarnya dalam diskusi virtual Tol Listrik untuk Siapa?” di Jakarta, Selasa (9/2/2021).

Banyak tempat akan menerapkan LRT (light rail transit), bagaimana kalau [Pemda] tidak tahu pemetaannya? PLN sudah seharusnya penuhi target elektrifikasi 100 persen.   

Baca Juga:
Tiga Tahun Lagi, Pasokan Batu Bara dari PT Bukit Asam ke PT PLN (Persero) Bakal Menggunakan KA

"Selama ini RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2017-2026) yang dimiliki PLN tidak diketahui oleh Pemerintah Daerah," ungkap Yayat.

Padahal, saat ini PLN sudah melakukan pemetaan untuk posisi pembangkit dan jalur distribusi listrik di setiap wilayah.

Baca Juga:
Sinergi BUMN: PLN, PTBA dan KAI Amankan Pasokan Batu Bara untuk Ketahanan Listrik Nasional

"Pemetaan ini hanya PLN yang mengetahui dan belum disosialisasikan," katanya sembari menyebutkan bahwa potensi pasokan listrik terbesar akan menyasar kawasan-kawasan industri.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa berpendapat, tol listrik merupakan bagian dari proyek percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang terdiri atas pembangkit 35 GW dan transmisi 46 ribu kilometer.

Termasuk di antaranya, pengembangan transmisi Sistem Sumatera 775 kv, Grid Borneo 150 kv dan Sistem Sulawesi bertegangan 495 kv.

"Tol listrik diharapkan bisa mengevakuasi daya dari pembangkit-pembangkit ke pusat beban, mengoptimalisasi bauran energi primer dan operasi pembangkit. Sehingga, diharapkan memberi dampak penghematan biaya operasi PLN," kata Fabby.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah berharap agar pemerintah segera memanfaatkan regulasi Omnibus Law dalam upaya melakukan percepatan pembangunan tol listrik (sistem jaringan transmisi listrik). 

Sejauh ini pelaksanaan proyek infrastruktur ketenagalistrikan kerap tersendat di tingkat pemerintah daerah.

"Daerah juga seharusnya berkolabprasi dengan PT PLN (Persero), bukan berkompetisi antardaerah. Masalah yang dihadapi PLN dalam menjalankan programnya selalu tersendat di lapangan," ujar Trubus.

Menurutnya, pembangunan gardu-gardu induk listrik yang tersebar di level otonomi yang berbeda harus dilakukan PLN berkoordinasi dengan masing-masing kepala pemerintahan di daerah. 

Akibatnya, rencana pembangunan membutuhkan waktu panjang di fase koordinasi dengan pemda dan masyarakat setempat.

"Sejauh ini banyak Kepala Daerah yang kurang peka dengan rencana pembangunan sistem transmisi listrik yang terintegrasi, walau pun ada juga yang responsif. Pemerintah pusat bisa menarik kewenangan pemda terkait proyek infrastruktur listrik itu melalui regulasi Omnibus Law," ungkap Trubus.

Dia menambahkan, persoalan lain yang dihadapi PLN dalam melakukan percepatan proyek pembangunan tol listrik juga disebabkan oleh rendahnya partisipasi publik, terutama mengenai pembebasan lahan.

"Penolakan banyak dilakukan masyarakat, tetapi PLN harus tetap jalan, karena kaitannya dengan prinsip  cost and benefit ," imbuhnya.

Dia menilai, akar permasalahan saat ini perlu dituntaskan dengan sikap pemerintah pusat dalam memanfaatkan keberadaan Omnibus Law, terutama untuk mengambil alih kewenangan di tingkat pemerintah daerah. 

"Jadi, akar persoalan di infrastruktur listrik, yaitu kebijakan pemerintah mau dijalankan atau tidak," kata Trubus. (omy)