Afen Sena: Sederet Isu Aktual Penerbangan Global di ICAO

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 11/Feb/2021 20:45 WIB
Afen Sena Afen Sena

 

INTERNATIONAL Civil Aviation Organization (ICAO) merupakan badan khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk penerbangan sipil internasional.

ICAO dibentuk melalui Convention on International Civil Aviation 1944 (Konvensi Chicago 1944) yang ditandatangani pada tanggal 7 Desember 1944. ICAO saat ini memiliki 193 negara anggota dengan Dominika sebagai negara terakhir yang resmi bergabung pada tanggal 13 April 2019. 

Baca Juga:
ICAO Berkunjung ke Jakarta, Bahas Peluang Kerja Sama Bidang Penerbangan Sipil

ICAO bertugas untuk mengembangkan Standard and Recommended Practices (SARPs) serta memformulasikan kebijakan penerbangan sipil yang mendukung keselamatan, keamanan dan efisiensi penerbangan sipil. ICAO juga bertugas mendukung tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan serta pelestarian lingkungan hidup dalam kaitannya dengan penerbangan sipil.

Selain itu, ICAO juga mengkoordinasikan asistensi dan pemberian capacity building bagi negara, menyusun rencana aksi global untuk peningkatan aspek keselamatan dan navigasi udara penerbangan sipil, melakukan audit keselamatan dan keamanan penerbangan sipil serta memonitor pertumbuhan industri transportasi udara global. 

Baca Juga:
Menhub Hadiri Diskusi ICAO Tingkat Menteri di Arab Saudi

Isu Keselamatan Penerbangan (Safety)

Peningkatan keselamatan global air transport system merupakan tujuan dasar pembentukan ICAO.

Baca Juga:
Ditjen Hubud-ICAO Diskusi Implementasi PBN di Indonesia

ICAO bahkan memiliki aspirational safety goal yaitu mewujudkan zero fatalities dalam pengoperasian penerbangan sipil pada tahun 2030.

Untuk itu, ICAO terus berkerja dan berinovasi untuk mencapai tujuan tersebut melalui berbagai kegiatan antara lain penyusunan kebijakan dan standarisasi, monitoring key safety trends and indicators, pelaksanaan safety analysis dan implementasi program yang addressing safety issues. 

Tahun 2019 terdapat peningkatan jumlah kecelakaan pesawat yakni 114 accident dibandingkan tahun 98 yang hanya berjumlah 98. Accident rate tahun 2019 juga meningkat yaitu 2,9 kecelakaan per 1 juga keberangkatan, dibandingkan rate tahun 2018 yaitu 2,6.

Namun demikian, jumlah kecelakaan fatal (fatal accidents) di tahun 2019 menurun menjadi hanya 6 kecelakaan dibandingkan tahun 2018 sebanyak 11 kecelakaan. Korban jiwa (fatalities) juga berkurang di tahun 2019 sebesar 239 orang dibandingkan tahun 2018 sejumlah 514 orang.

Pada Sidang Majelis ICAO ke-40 bulan September 2019, negara anggota menyepakati Resolusi A40:1 tentang ICAO global planning for safety and air navigation, dimana didalamnya disahkan 2020 – 2022 Global Aviation Safety Plan (GASP, Doc 10004) yang akan menjadi panduan harmonisasi regulasi dan kebijakan global di bidang keselamatan penerbangan agar dapat mencapai zero accident aspirational safety goal.

Selain itu Majelis ICAO 40 juga menyepakati beberapa resolusi terkait keselamatan, yaitu:

  • A40-2: Protection of accident and incident investigation records;

  • A40-3: Protection of safety data and safety information collected for maintaining or improving safety and of flight recorder recordings in normal operations;

  • A40-5: Regional implementation support mechanisms;

  • A40-8: Global provisions for design, certification and operations of water aerodromes. 

Khusus untuk Resolusi A40-8, Indonesia dan Kanada merupakan negara pengusul working paper tentang water aerodome. 

ICAO juga memiliki program audit keselamatan penerbangan terhadap negara anggotanya yang dikenal dengan Universal Safety Oversight Audit Programme Continuous Monitoring Approach (USOAP-CMA).

Program USOAP-CMA diinisiasi pada tahun 1999 dan telah mengalami evolusi yang signifikan dari yang awalnya hanya terbatas audit untuk compliance terhadap Annex 1 (Personnel Licensing), Annex 6 (Operation of Aircraft) dan Annex 8 (Airworthiness of Aircraft), menjadi diperluas untuk mencakup Annex 11 (Air Traffic Services), Annex 13 (Aircraft Accident and Aircraft Investigation) serta Annex 14 (Aerodromes).

Selain itu mekanisme audit juga diperluas dan ditambahkan fitur-fitur baaru seperti web-based platform, online framework dan State Safety Programme Implementation Assessment (SSPIA) cycle. 

Hasil USOAP  - CMA  dapat berupa lack of effective implementation (LEI) atau effective implementation (EI) dan menjadi potential safety indicator dari audit keselamatan penerbangan sipil suatu negara. 

Isu Peningkatan Kapasitas dan Efisiensi Navigasi Penerbangan (Air Navigation)

Sidang Majelis ICAO ke-40 bulan September 2019 telah menerbitkan edisi keenam dari Global Air Navigation Plan 2016-2030 (Doc.9750) sebagai dokumen kebijakan strategis navigasi penerbangan sipil global. Edisi keenam GANP merupakan elaborasi komprehensif dari perkembangan upaya pelaksanaan evolusi performance-driven air navigation capacity and efficiency, dengan mengusulkan strategi directive multi layer, yakni: (i) Layer 1: Global (penuangan visi, kerangka konsepsi dan ambisi kinerja global); (ii) Layer 2: Global Technical (mendorong operational improvements dan perencanaan teknis dari pelayanan air navigation yang cost-effective dan performance-based melalui implementasi Basic Building Blocks / BBBs, Aviation System Block Upgrades / ASBUs, dan Search and Rescue Procedures / SAR); (iii) Layer 3: Regional (penyesuaian GANP dengan sasaran capaian Regional Air Navigation Plans (R-ANPs); dan (vi) Layer 4: National Planning. 

Dalam upaya implementasi GANP edisi keenam tersebut, ICAO merekomendasikan harmonisasi dan penguatan operasi dan kapasitas bandar udara, Communications, Navigations, Surveillance (CNS) yang terintegrasi, dan layanan informasi meteorologi yang mumpuni.

Selain itu ICAO juga berupaya untuk memperkuat interoperabilitas sistem navigasi penerbangan global diantaranya melalui penerapan System-Wide Information Management (SWIM), Air Traffic Flow Management (ATFM), dan Civil/Military Cooperation (CMC).

ICAO juga saat ini tengah merumuskan kebijakan, aturan, dan SARPs yang mampu memfasilitasi tantangan kemajuan teknologi penerbangan terbaru yang berdampak terhadap air navigation seperti Operations above Flight Level 600 (OPS >FL600), Operations below 1000 Feet (OPS <1000F), Remotely Piloted Aircraft System (RPAS), Unmanned Aerial System (UAS) / Drone, Cyber Security, Supersonic Aircrafts, dan Commercial Space Operations.

Isu Keamanan dan Fasilitasi Penerbangan (Security and Facility)

Isu security menjadi perhatian utama dalam penerbangan sipil global sejak kejadian terrorist attack di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Sebelum itu, kinerja ICAO terkait security hanya sebatas pengembangan SARPs untuk Annex 17 (Security).

Namun dewasa ini, kinerja ICAO di bidang aviation security difokuskan pada 3 area, policy initiatives, audit yang difokuskan pada kapabilitas negara anggota serta assistance kepada negara anggota yang tidak mampu mengatasi serious security deficiencies yang ditemukan dalam audit ICAO. Audit security dilaksanakan dalam kerangka Universal Security Audit Programme – Continuous Monitoring Approach (USAP-CMA). 

Selain itu, Dewan ICAO pada tahun 2017 juga telah mengesahkan program Global Aviation Security Plan (GASeP) sebagai kerangka kebijakan dan program ICAO di bidang keamanan penerbangan sipil global. GASeP akan menggantikan ICAO Comprehensive Aviation Security Strategy (ICASS) dengan memberikan penguatan dan panduan bagi negara dan industri untuk menetapkan prioritas aksi, tugas, dan target di bidang keamanan penerbangan.

Melalui GASeP, ICAO yang diharapkan dapat membantu penetapan prioritas kerangka tugas, kerja, program, dan kerja sama di bidang keamanan penerbangan yang harmonis dan saling dukung di tingkat nasional (state level), kawasan (regional) dan global (international). GASeP juga diharapkan dapat mendukung inisiatif No Country Left Behind (NCLB) ICAO dalam membantu seluruh negara anggota untuk dapat mengimplementasikan Standar dan Rekomendasi Praktis (Standard and Recommended Practices / SARPs) ICAO di bidang keamanan penerbangan.

Isu keamanan penerbangan juga tidak lepas dari dukungan fasilitasi penerbangan sesuai dengan Annex 9 Konvensi Chicago – Facilitation. Dukungan Facilitation adalah melalui upaya upaya memaksimalkan efisiensi prosedur formal border controls, clearance and security terkait imigrasi, kepabeanan, karantina dan kesehatan di titik-titik masuk dan keluar wilayah negara dengan tetap mempertahankan kualitas pengamanan dan penegakan hukum di perbatasan.

Dua sub tema Facilitation yang menjadi fokus utama di ICAO adalah terkait adalah terkait dengan implementasi Strategi ICAO Traveller Identification Program (ICAO TRIP Strategy) dan Public Key Directory (PKD).

ICAO TRIP terkait erat dengan manajemen identifikasi pelintas batas (traveller identification management) yang terdiri atas lima elemen kunci, yakni (i) bukti identitas pelintas batas; (ii) machine readable travel documents (MRTD) yang terstandardisasi secara elektronik (seperti ePassports); (iii) penerbitan dan pengawasan dokumen perjalanan; (iv) inspeksi sistem dan alat verifikasi MRTD; dan (v) interoperabilitas aplikasi dan protokol MRTD.

Sedangkan PKD merupakan central repository yang yang dikelola oleh ICAO dan berisikan informasi data keimigrasian hasil pertukaran negara-negara anggota untuk memudahkan otentifikasi e-passport pada saat memasuki wilayah keimigrasian.

Sebelum adanya PKD, petugas imigrasi yang ingin melakukan otentifikasi terhadap e-passport penumpang dari negara lain harus memiliki akses dan interoperabilitas terhadap sistem informasi yang terdapat dalam e-passport tersebut, yang seringkali menemui kendala. 

PKD merupakan hal yang penting sebagai cara bagi suatu negara untuk mengidentifikasi penumpang pesawat udara. Saat ini, PBB telah bekerja sama dengan ICAO dalam bidang counter-terrorism yang merupakan salah satu dari Agenda PBB. Dalam hal ini, PBB dan ICAO berkomitmen untuk meningkatkan sistem identifikasi traveller melalui program fasilitasi TRIP dan PKD sehingga diharapkan dapat mempermudah proses identifikasi di bandara dan  memperkecil resiko keamanan yang muncul akibat mobilitas manusia.

Pihak otoritas perbatasan dapat memiliki informasi terkait data biometrik seseorang sebelum orang tersebut sampai di bandara negara tujuan. ICAO menargetkan seluruh paspor non-MRTD untuk tidak lagi digunakan pada tahun 2022 secara global. Indonesia sejak tahun 2016 telah mampu menerbitkan ePassport dan kini tengah mendorong pemanfaatannya secara nasional sebagai langkah selanjutnya. Pada pertemuan Majelis ICAO ke-40 bulan September 2019, Indonesia resmi menjadi anggota PKD ke-69.

Isu Pembangunan Ekonomi Sektor Transportasi Udara (Air Transport)

Isu air transport economic development termasuk yang paling lambat berkembang di ICAO. Hal tersebut wajar karena ada kaitan erat dengan isu liberalisasi air transport dan freedom of the air, yang dari awal pembentukan Konvensi Chicago telah mendapatkan pertentangan dari negara anggota yang rata-rata ingin melindungi industri air transport dalam negeri. 

Oleh karena itu, pada bidang ini, ICAO berupaya menjalankan fungsi harmonisasi kerangka kerja sama transportasi udara serta memfokuskan diri pada kebijakan ekonomi serta aktivitas pendukung lainnya dalam rangka menjadikan penerbangan sipil internasional memiliki nilai ekonomi yang mampu berkontribusi pada ekonomi global maupun nasional. 

ICAO berupaya untuk mewujudkan sistem penerbangan sipil internasional yang economically viable di seluruh rangkaian proses operasionalnya (mulai dari bandara, maskapai penerbangan, layanan navigasi penerbangan, dlsb), dan memperkuat efisiensi dan transparansi dalam memfasilitasi akses pendanaan dalam pembangunan infrastruktur penerbangan sipil yang solid agar terus tumbuh, berkembang, dan bernilai ekonomi.

Untuk ini, ICAO memfokuskan diri dalam penguatan pemberian layanan data dan database penerbangan, economic analysis and forecasting, competition compendium, manajemen infrastruktur serta joint financing and investment, sebagaimana dituangkan dalam sejumlah ICAO Air Transport Policy and Regulations.

ICAO juga saat ini tengah melakukan upaya harmonisasi regulasi dan kebijakan pembangunan ekonomi sektor transportasi udara dengan merancang Global Air Transportation Plan (GATP) yang tengah disusun oleh Sekretariat ICAO untuk dibahas lebih lanjut pada pertemuan-pertemuan pakar teknis.

Sejak pandemi COVID-19 melanda, fokus ICAO pada air transport lebih pada melakukan economic impact analysis atas dampak COVID-19 terhadap air transport yang secara berkala terus dimonitor dan diupdate oleh Sekretariat ICAO.

Isu Perlindungan Lingkungan Hidup

Isu perlindungan lingkungan hidup mulai menjadi perhatian utama ICAO sejak tahun 2004. Berdasarkan laporan Fifth Assessment Report of UN Intergovernmental Panel on Climate Change, sektor penerbangan sipil, baik domestik maupun internasional, berkontribusi terhadap pelepasan 2% emisi karbon global. Adapun penerbangan sipil internasional berkontribusi terhadap 1.3% dari total emisi karbon global.

Untuk itu, ICAO saat ini tengah berupaya mencegah dan memitigasi dampak buruk terhadap lingkungan hidup dari aktivitas penerbangan sipil global melalui 2 aspirational goals, yakni (i) peningkatan efisiensi bahan bakar penerbangan sebesar 2 persen per tahun hingga tahun 2050, dan (ii) carbon neutral growth mulai dari tahun 2020 (CNG2020). 

Dalam mengupayakan pencapaian aspirational goals tersebut, ICAO mengidentifikasi 4 area sebagai basket of measures yaitu (i) pengembangan standar dan teknologi pesawat udara (aircraft technology and standards improvement); (ii) peningkatan operasionalisasi dan manajemen lalu lintas udara (air traffic management and operational improvement); (iii) pengembangan pemanfaatan bahan bakar alternatif pesawat udara yang ramah lingkungan (sustainable alternative fuels); dan (iv) implementasi Carbon Offsetting Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA).

Dewan ICAO pada Sidang Sesi ke-214 tahun 2018 telah menyepakati Annex 16 – Environmental Protection, Vol. IV – CORSIA sebagai paket SARPs baru dalam implementasi CORSIA. Hingga akhir 2017, terdapat 72 negara mewakili 87.7% total aktivitas transportasi udara yang menyatakan bergabung dengan CORSIA pilot phase yang akan dimulai pada tahun 2021. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling awal menyatakan bergabung sejak pilot phase.

Pada pertemuan Sidang Majelis ICAO ke-40, negara anggota telah menetapkan 3 resolusi utama untuk menegaskan komitmen negara untuk mencapai aspirational goals dan basket of measures tersebut, yaitu sbb:

  • Resolusi A40-17: Consolidated statement of continuing ICAO policies and practices related to environmental protection - General provisions, noise and local air quality

  • Resolution A40-18: Consolidated statement of continuing ICAO policies and practices related to environmental protection - Climate change

  • Resolution A40-19: Consolidated statement of continuing ICAO policies and practices related to environmental protection - Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA).

Namun demikian, isu CORSIA dan Sustainable Aviation Fuels (SAF) belakangan mendapatkan penolakan dari beberapa negara di Dewan ICAO terutama China, India dan Rusia yang menginginkan adanya comprehensive review. Untuk isu CORSIA, ketiga negara tersebut tidak menginginkan target carbon neutral growth mulai tahun 2020, meskipun adanya skema offsetting dan carbon trading. 

Argumen negara tersebut adalah bahwa mekanisme carbon neutral growth 2020 dan CORSIA tidak adil karena membebankan kewajiban pengurangan emisi kepada maskapai penerbangan bukan pada masing-masing negara sesuai dengan standar UNFCCC dan Paris Agreement. Selain itu, metode perhitungan offsetting CORSIA yang menggunakan sectoral approach juga dianggap akan membebankan kewajiban maskapai penerbangan di negara berkembang lebih besar ketimbang di negara maju meskipun selama ini negara maju yang justru berkontribusi terbesar dalam emisi greenhouse gas. 

China, Rusia dan India mengklaim bahwa industri penerbangan internasional negara maju telah mencapai pertumbuhan maksimal sehingga tidak akan terbebani oleh kewajiban carbon-neutral-growth menggunakan basis emisi karbon total mereka pada tahun 2020 yang memang sudah sangat tinggi.

Sebaliknya, negara berkembang saat ini masih berupaya untuk mengembangkan industri penerbangan internasional sehingga kebutuhan akan emisi karbon akan terus meningkat. Hasil penelitian Rusia bahkan menunjukkan bahwa implementasi offsetting CORSIA menggunakan sectoral growth akan lebih membebani maskapai penerbangan di negara berkembang ketimbang negara maju.

Selain itu, negara tersebut juga berpandangan dengan adanya pandemi COVID-19, jumlah penerbangan internasional menurun drastis dan maskapai banyak mengalami kerugian bahkan bankruptcy. Oleh karena itu fokus industri transportasi udara saat ini adalah recovery dan target penurunan emisi karbon pesawat di dalam CORSIA dianggap dapat menghalangi tujuan tersebut.

Untuk isu SAF, negara China, India dan Rusia berpandangan bahwa sustainability criteria yang mendasari eligible fuels tidak fair karena hanya menggunakan standar yang diajukan negara maju seperti direct/indirect land-use change DLUC/ILUC. Isu CORSIA dan penentuan kriteria SAF saat ini terus dibahas pada Dewan ICAO, CAEP dan working group terkait. 

Isu Pandemi COVID dan Penerbangan Sipil

Pandemi COVID-19 berdampak sangat signifikan terhadap sektor transportasi udara. Dalam laporan bulan Oktober 2020, ICAO memberikan estimasi kerugian potensial maskapai dunia sepanjang tahun 2020 (Januari – Desember) sampai dengan USD 400 miliar.

Pandemi COVID-19 juga mengakibatkan penurunan penumpang pesawat terbesar sepanjang sejarah yakni sebesar -59% s/d -62% jika dibandingkan dengan tahun 2019. Di tahun 2020, maskapai global juga mengalami penurunan revenue passenger kilometers (RPKs) baik untuk penerbangan domestik maupun internasional sebanyak 54,7%.

Asia – Pasifik merupakan kawasan yang terdampak paling parah dengan hilangnya jumlah penumpang sampai dengan 429 juta orang, mengakibatkan penurunan kapasitas kursi pesawat sampai dengan -74% serta potensi kerugian sebesar USD 89 miliar. 

Pandemi juga berdampak terhadap industri airport. Menurut Airport Council International (ACI), industri airport global mengalami penurunan volume penumpang sebanyak -59,6% atau sebesar -5,6 miliar penumpang sepanjang tahun 2020. Hal ini berdampak terhadap penurunan pendapatan airport sebanyak USD 104,5 miliar atau berkurang -60% jika dibandingkan tahun 2019.

Penurunan jumlah penumpang secara langsung berdampak terhadap sektor industri pariwisata global dimana UNWTO memberikan estimasi kerugian sektor pariwisata di tahun 2020 mencapai USD 1,1 triliun.

Industri kargo udara juga tidak luput dari dampak COVID-19. Meskipun saat ini kargo udara sedang mengalami rebound akibat tingginya permintaan barang ekspor-impor, industri kargo tidak memiliki kapasitas pengangkutan untuk memenuhi demand yang bersifat fluktuatif selama masa pandemi.

IATA memberikan estimasi bahwa secara rata-rata, cargo tonne kilometres (CTK) pasar kargo udara selama tahun 2020 menurun sebesar -14%. Menurut WTO, situasi ini juga mengakibatkan penurunan global merchandise trade volume selama tahun 2020 sampai sebesar -32% yang akhirnya berdampak terhadap resesi global. IMF dan Bank Dunia memproyeksikan PDB dunia akan terkontraksi sebanyak -4,9% s/d -5,2% akibat pandemi COVID-19.

Seluruh stakeholders meragukan pemulihan industri penerbangan sipil dapat tercapai dalam waktu dekat mengingat belum terdapat kepastian mengenai produksi dan distribusi vaksin/obat untuk COVID-19.

ICAO memproyeksikan pada kuartal pertama 2021 (Januari – Maret), pandemi COVID-19 akan terus mengakibatkan penurunan kapasitas kursi pesawat, berkisar pada angka -34% sampai dengan 47%, dengan rata-rata penurunan jumlah penumpang 504 – 681 juta orang dan potensi kerugian sampai dengan USD 96 milyar.

IATA mengeluarkan long-term air passenger forecast yang menggambarkan bahwa meskipun pemulihan ekonomi global tercapai lebih cepat, consumer confidence terhadap air travel mungkin tidak akan cepat pulih. IATA memperkirakan apabila travel restriction dicabut, akan terjadi peningkatan demand terhadap air travel untuk tujuan family visit, namun tidak untuk demand for business and leisure travel. Untuk itu, IATA memproyeksikan bahwa target pemulihan industri penerbangan sampai pada level sebelum pandemi baru akan tercapai paling cepat tahun 2024.  

IATA juga memperkirakan bahwa maskapai akan sulit untuk mencetak laba bersih positif paling tidak sampai tahun 2022 akibat pandemi COVID-19. Bahkan banyak diantaranya telah dinyatakan bangkrut atau berhenti beroperasi seperti seperti LATAM, Avianca, Virgin Australia, Flybe, South African Airways dan Miami Air International.

Lebih lanjut, IATA melaporkan bahwa saat ini mayoritas maskapai dapat bertahan dari kebangkrutan karena adanya bantuan dari pemerintah dalam bentuk direct financial aid, subsidi, keringanan pajak maupun fuel charges, yang totalnya mencapai USD 160 milyar. IATA memperingatkan bahwa dengan proyeksi slow recovery, industri penerbangan akan terus membutuhkan suntikan finansial pada tahun 2021, dengan kisaran USD 5 – 6 milyar per bulannya. 

ICAO memberikan perhatian utama pada COVID-19 khususnya bagaimana dapat membantu negara anggota dalam upaya pemulihan industri transportasi udara dari pandemi COVID-19, melalui berbagai upaya antara lain:

  • Membentuk Council Aviation Recovery Taskforce (CART). Dewan ICAO membentuk CART pada awal tahun 2020 dan saat ini, telah terdapat 3 dokumen terkait CART (CART Take-off guidance, Phase I dan Phase II) yang intinya memuat 14 rekomendasi utama kepada pemerintah dan operator industri dalam upaya memulai kembali sektor transportasi udara internasional dan pemulihan dari dampak COVID-19.

  • Membentuk COVID-19 Response and Recovery Platform untuk memberikan informasi forecasts, panduan dan sumber-sumber informasi lain yang diperlukan otoritas penerbangan negara anggota dalam merespon pandemi COVID-19.

  • Membentuk COVID-19 Contingency Related Differences (CCRD) yang menjadi bagian dari Electroning Filing of Differences (EFOD), dimana negara anggota dapat menyampaikan aturan/standar yang tidak konsisten atau incompliance dengan ICAO SARPs terkait certification dan licensing akibat mitigasi pandemi COVID-19.

(Ditulis oleh: Dr. Afen Sena, Atase Perhubungan KBRI Ottawa/ Perwakilan Pengganti RI di ICAO)