Sikap Aptrindo soal Kemacetan di Terminal Petikemas NPCT. 1 & Depo

  • Oleh : Wilam

Senin, 05/Apr/2021 15:44 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mendesak IPC selaku pengelola terminal petikemas NPCT One dan sejumlah Pengelola Depo Kontainer Kosong di Kawasan Marunda Cilincing Jakut, agar menata ulang kegiatannya untuk mengurangi kemacetan di wilayah tersebut.

Ketua Umum DPP Aptrindo Gemilang Tarigan kemarin mengatakan, desakan Aptrindo itu menyusul banyaknya keluhan para pengemudi dan pengusaha truk yang setiap harinya terjebak kemacetan saat pengangkutan kontainer ekspor impor di New Priok Container Terminal One (NPCT-1) serta saat mengembalikan ataupun mengambil peti kemas kosong (empty) di depo G-Fortune dan Dwipa di kawasan Marunda.

Baca Juga:
ASDP: Hampir 100 Persen Pemudik dari Sumatera via Penyeberangan Telah Kembali ke Jawa

Pertama, pihak PT Pelindo II/IPC selaku pengelola NPCT-1 mesti melakukan mapping ulang Flow dan time aktivitasnya, termasuk di gate in gate out, loading, dan unloading kontainer,  time productivity tanggo, crane,  rubber tyredooooo gantry crane (RTG) dan semua alat bongkar muat di Pelabuhan.

Kedua, pihak asosiasi depo kontianer Indonesia (Asdeki) selaku wadah dari para pelaku usaha depo peti kemas agar menjelaskan pokok permasalahan dan diminta membuat improvement nya agar kondisi kemacetan tidak terua terulang di fasilitas depo, dan bila perlu diambil solusi dengan memanggil juga principle pelayarannya agar mengalihkan kontainer-nya ke depo lain.

Baca Juga:
Usai Pelayanan Angleb di Pelabuhan Panjang, KN Trisula P.111 Pangkalan PLP Tanjung Priok Gelar Pengawasan dan Pengamanan Jalur TSS di Perairan Selat Sunda

Ketiga, kemacetan yang terjadi di depo sumber utamanya yakni manage inventory stacking management depo yang bermasalah atau kurangnya alat atau restackernya sudah tua. sehingga produktivitas di depo sangat jauh dari harapan pelaku bisnis/customer. Oleh sebab itu, mesti ada service level agreement dan service level guarantee (SLA/SLG) terhadap pelayanan di fasilitas depo peti kemas di luar pelabuhan.

"Harusnya pelayanan bongkar muat perjam 10 box, tapi ini hanya 2 box per jam, karena tidak ada SLA/SLG itu," ujar Gemilang.

Baca Juga:
Mobilitas Masyarakat Babel via Penyeberangan Tembus 40 Ribu Selama Periode Angleb

Keempat, pihak pengelola depo diluar pelabuhan mestinya mengukur kemampuan handling kontainer dan maksimal storage capacity areanya dengan mengatur lay out untuk antrian masuk ke dalam area depo bukan antri di luar area depo. Selain itu, alat handling harus ditambah sehingga proses bongkar muat jadi lebih cepat, jangan berfikir mengeluarkan biaya sedikit untuk mendapatkan untung besar tetapi pihak lain di korbankan.

"Seharusnya pelayaran mampu mengukur  kemampuan depo melayani DO (delivery order) peti kemas yang dikeluarkannya. Bila  depo sudah over capacity dapat untuk sementara dialihkan kepada depo lain, sebab hal ini juga mengakibatkan macet di akses  sekitar depo tersebut," ujar Gemilang.

Dia juga mengatakan, selain alat, mesti ada kantong buffer di depo peti kemas dan itu bagian dari manage inventorynya. Pasalnya selama ini terjadi kesulitan untuk mencari kontainer di depo akibat tumpukan peti kemasnya sudah over capacity sehingga waktu yang dibutuhkan untuk lift-off (Lo-Lo) di depo tidak terukur dan tidak terstruktur.

"Oleh sebab itu, Aptrindo mendesak Pemerintah melalui instansi tetkait harus turun tangan. Kami juga meminta adanya standar kinerja layanan/key performance indikator (KPI) di fasilitas depo peti kemas sejak gate in hingga gate out," ucap Gemilang.(wilam/ny)