Pulau perempuan, Cerita Kekuatan Kaum Perempuan di Pulau Terpencil di Laut Baltik

  • Oleh : Redaksi

Minggu, 16/Mei/2021 15:13 WIB
Inilah Kihnu, yang dikenal sebagai Pulau Wanita, tempat terpencil di Laut Baltik di lepas pantai barat Estonia. (REUTERS) Inilah Kihnu, yang dikenal sebagai Pulau Wanita, tempat terpencil di Laut Baltik di lepas pantai barat Estonia. (REUTERS)

Jakarta (BeritaTrans.com) - Seorang perempuan dengan rok warna-warni sedang duduk sendirian di dapur. Di tangannya, terukir kerutan seperti anak sungai yang mengalir dari bahu ke pergelangan tangan.

Pekerjaan sehari-hari perempuan yang telah dilakukan sepanjang hidupnya itu belum selesai - yaitu mengurus pertanian mulai dari bertani, merawat ayam dan domba, membuat pakaian, bahkan memperbaiki traktor.

Tapi untuk saat ini, perempuan itu fokusnya tangannya pada jarum rajut yang bergoyang secara ritmis. Dia sedang merajut pakaiannya untuk upacara pemakaman.

Ini adalah cerita tentang masa lalu yang penting untuk masa depan.

Perempuan itu berasal dari Kihnu yang dikenal sebagai Pulau Perempuan, pulau terpencil di Laut Baltik, di lepas pantai barat Estonia.

Komunitas ini sering disebut sebagai matriarki terakhir di Eropa.

Masyarakat pulau ini didominasi oleh kepemimpinan dan kekuatan para perempuan.

Para penjaga kebudayaan yang sangat kaya itu kini masuk dalam daftar warisan budaya Unesco.

Para perempuan Kihnu menyeimbangkan tanggung jawab mulai dari menyediakan kebutuhan makan sehari-hari, mengasuh anak, bertani dan beternak, hingga melestarikan warisan tradisi leluhur.

Di tempat ini, peran para laki-laki secara historis absen - mereka pergi mencari ikan di laut atau merantau ke luar pulau - yang menyebabkan tugas para perempuan di Kihnu telah berkembang melampaui peran gender tradisional dan memasuki setiap aspek kehidupan di lahan kering pulau ini.

Kihnu, yang dikenal sebagai Pulau Wanita, berada di Laut Baltik di lepas pantai barat Estonia.

SUMBER GAMBAR,JEAN-LUC LUYSSEN/GETTY IMAGES

Kihnu, yang dikenal sebagai Pulau Wanita, berada di Laut Baltik di lepas pantai barat Estonia.

 

Mereka adalah penjaga lagu, tari, tenun dan kerajinan tangan tradisional. Mereka juga menjadi konduktor utama upacara penting seperti pernikahan dan pemakaman.

Kematianlah yang membawa arti sebuah kehidupan seperti yang digambarkan dalam "Big Heart, Strong Hands", sebuah buku karya fotografer potret Norwegia, Anne Helene Gjelstad.

Diundang ke acara pemakaman seorang perempuan di Kihnu, Gjelstad mendapati dirinya berada di sebuah dapur yang dikelilingi oleh para perempuan tua berpakaian biru - menjadi warna duka mereka.

Pada saat itu, Gjelstad menyadari, kisah tentang para pelindung lingkaran kehidupan yang menua ini perlu diabadikan dan dibagikan.

Ini adalah cerita tentang masa lalu yang penting untuk masa depan, katanya. "Keyakinan batin saya mengatakan bahwa saya harus menangkap ini, menaruhnya di buku, dan menulis ceritanya."

Potret dan tulisan yang ditangkap Gjelstad menceritakan kisah sebuah tempat yang kental dengan tradisi lagu-lagu Kalevala-meter (sebuah tradisi lisan cerita musikal kuno), pakaian tenun dan bordir berwarna cerah, serta kemampuan perempuan untuk melakukan segala sesuatu mulai dari memperbaiki motor hingga merawat ternak dan tanaman.

Dalam kisah ini terungkap pula perjuangan mereka bertahan hidup di tengah ancaman akan masa depan.

Wanita Kihnu adalah pemelihara tradisi budaya termasuk menenun.

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Wanita Kihnu adalah pemelihara tradisi budaya termasuk menenun.

 

Melewati cuaca buruk yang sering menghantam dan 50 tahun pendudukan Uni Soviet, tradisi matriarkal di Kihnu masih dapat bertahan.

Tetapi merantaunya generasi muda mencari lebih banyak peluang di luar pulau sekarang membahayakan budaya pulau yang unik ini.

Meskipun pariwisata musiman tumbuh subur karena para pengunjung yang penasaran untuk belajar tentang kekayaan tradisi Kihnu dan menyediakan jalur kehidupan yang sangat dibutuhkan pulau itu, populasi asli pulau ini terus menyusut seiring bertambahnya usia.

Secara turun-temurun, cara Kihnu telah diwariskan melalui garis perempuan.

Tetapi dengan setiap pemakaman, dan benang budaya yang terurai merajut baju biru, dalam bukunya Gjelstad menuliskan bahwa budaya matriarki itu terancam punah.

(lia/sumber:bbcindonesia.com)