Musuh Bersama di Balik Gencatan Senjata Boeing-Airbus: China!

  • Oleh : Redaksi

Senin, 21/Jun/2021 01:58 WIB


Jakarta (BeritaTrans.com)  - Boeing dan Airbus secara resmi melakukan gencatan senjata setelah perang dagang antara keduanya terjadi selama 17 tahun. Semua itu karena subsidi yang diberikan Amerika Serikat (AS) dan Eropa kepada kedua produsen pesawat tersebut.

Perselisihan ini berakhir pekan lalu setelah kedua belah pihak menandatangani gencatan senjata lima tahun yang berisi penangguhan tarif.

Baca Juga:
Jelang Libur Lebaran, Pelita Air Buka Rute Baru Jakarta-Aceh PP

Dalam kunjungannya ke Belgia, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan AS dan Uni Eropa harus bekerja sama melawan praktik China di sektor ini.

"Washington dan Brussel harus bekerja sama untuk menantang dan melawan praktik non-pasar China di sektor ini yang memberi perusahaan China keuntungan yang tidak adil," kata Biden, dilansir dari AFP, Minggu (20/6/2021).

 

Baca Juga:
Pesawat Boeing 787 LATAM Airlines Terjun Bebas, Penumpang Terlempar dari Kursi hingga 50 Terluka

Nyatanya, perang dagang antara kedua negara ini telah memberikan keuntungan kepada China. China menggelontorkan uang ke pesawat komersialnya sendiri untuk menghadapi duopoli perusahaan penerbangan barat tersebut.

Selama empat tahun terakhir, produsen yang dikelola negara Commercial Aircraft Corporation of China (COMAC) telah menjalankan uji terbang untuk pesawat C919 berbadan sempit dengan 168 kursi, pesaing potensial untuk Airbus A320 dan Boeing B737.

Baca Juga:
CEO Boeing Buka Suara Atas Insiden Kecelakaan Pesawat 737 Max 9

COMAC menargetkan mendapatkan sertifikasi kelaikan udara dari regulator lalu lintas udara China tahun ini, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Partai Komunis China.

Menurut Scott Kennedy, Penasihat Senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, perusahaan ini menerima US$ 49 miliar-US$ 72 miliar (Rp 710,50 triliun-Rp 1.044 triliun, asumsi kurs Rp 14.500/US$) dalam bentuk subsidi pemerintah. Nilai itu jauh lebih banyak daripada bantuan yang diberikan Airbus dan Boeing oleh pemerintah mereka.

"Masalah yang sangat nyata adalah bahwa China memanipulasi pasar dalam memainkan Airbus dan Boeing terhadap satu sama lain dan menuntut transfer teknologi sebagai syarat untuk pesanan," kata Richard Aboulafia, pakar penerbangan di Teal Group, sebuah perusahaan analisis pasar yang berbasis di Virginia, AS.

Lalu lintas udara China telah pulih jauh lebih cepat daripada di negara lain di dunia. Semua itu tak lepas dari pengendalian wabah virus corona relatif jauh sebelum yang lain tahun lalu.

Boeing percaya bahwa pasar China akan membutuhkan 9.360 pesawat dalam 20 tahun ke depan, seperlima dari total kebutuhan dunia.

Sehingga adanya pesawat ini dinilai akan menjadi rejeki nomplok besar untuk A320 dan 737 MAX, meskipun China belum mengizinkan pengembalian pesawat Boeing setelah dua kecelakaan fatal yang terjadi 20 bulan terakhir.

Saat ini COMAC memiliki 815 pesanan dari 28 klien, sebagian besar dari maskapai China, meski baru sedikit dari pesanan ini bisa dikonfirmasi.

China Eastern Airlines adalah perusahaan pertama yang membuat pesanan lima pesawat pada Maret lalu.

Kennedy mengungkapkan C919 dibangun dengan bantuan AS dan Eropa. Hanya 14 dari 82 pemasok pesawat tersebut berasal dari China.

Sayap dan badan pesawat adalah buatan China, tetapi pabrikan di dalam negeri belum menguasai keterampilan membuat mesin atau peralatan elektronik pesawat terbang.

Pesawat ini lebih berat daripada pesawat AS dan Eropa, sehingga kurang hemat bahan bakar. Imbasnya, menurut Kennedy, operasionalnya menjadi lebih mahal.

(sumber:cnbcindonesia.com)

Tags :