Jarak Bumi dan Matahari Menjauh pada 6 Juli, Apa Dampaknya?

  • Oleh : Fahmi

Minggu, 04/Jul/2021 08:28 WIB
Foto:Istimewa Foto:Istimewa

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Bumi akan mengalami fenomena antariksa bernama Aphelion pada 6 Juli 2021. Hal itu diungkapkan oleh Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan).  

Tidak seperti kejadian astronomi sebelumnya, fenomena Aphelion tidak bisa dilihat oleh masyarakat, tetapi masyarakat dapat merasakan dampaknya. Lalu, apa itu Aphelion dan apa dampaknya ke Bumi?  

Baca Juga:
SCG Berkolabroasi dengan Pemda Sukabumi, Gelar Groundbreaking Pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu di TPA Cimenteng

Bumi di titik terjauh dari Matahari  

Peneliti Pusat Sains dan Antariksa Lapan Andi Pangerang menjelaskan, Aphelion merupakan fenomena di mana posisi Bumi berada pada titik terjauh dengan Matahari. Hal ini dikarenakan orbit Bumi tidak sepenuhnya lingkaran sempurna, tetapi berbentuk elips.  

Baca Juga:
SCG Dukung Mahasiswa dan Warga Sukabumi Ubah Sampah Jadi Pupuk dan Pakan Ternak melalui Budidaya Maggot

"Karena berbentuk elips, setiap tahunnya Bumi berada pada jarak terdekat dengan Matahari (yang disebut Perihelion) yang terjadi setiap Januari, dan berada pada jarak terjauh dari Matahari (yang disebut sebagai Aphelion) yang terjadi setiap bulan Juli," ujar Andi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (2/7/2021).  

Andi menambahkan, fenomena Aphelion ini bakal terjadi pada 6 Juli 2021 pukul 05.27 WIB atau 06.27 Wita atau 07.27 WIT.  

Baca Juga:
Ajak Masyarakat Gunakan BBM Oktan Tinggi, Wakil Wali Kota Sukabumi Dukung BBM Ramah Lingkungan

Dampaknya ke Bumi  

Secara umum, kejadian Aphelion tidak menimbulkan dampak yang signifikan pada Bumi. Lantaran terjadi pada pertengahan tahun, ketika siklus ini memasuki musim kemarau di Indonesia membuat suhu dingin saat pagi hari yang terjadi belakangan ini.  

"Kejadian ini nanti berlangsung sampai dengan Agustus, dan merupakan hal yang biasa pada musim kemarau," ujar Andi.  

Menurutnya, dinginnya suhu di pagi hari saat musim kemarau dikarenakan tutupan awan yang sedikit. Dengan demikian, tidak ada panas dari permukaan Bumi (yang diserap dari cahaya Matahari dan dilepaskan pada malam hari) yang dipantulkan kembali ke permukaan Bumi oleh awan.  

Mengingat posisi Matahari saat ini berada di utara, tekanan udara di belahan utara lebih rendah dibanding belahan selatan yang mengalami musim dingin.  

Oleh karena itu, angin bertiup dari arah selatan menuju utara dan saat ini angin yang bertiup tersebut berasal dari arah Australia yang mengalami musim dingin.  

Dampaknya yakni efek penurunan suhu, khususnya di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, yang terletak di selatan khatulistiwa yang saat ini sedang terjadi.  

Tak pengaruhi panas Matahari  

Sementara itu, posisi Bumi yang berada titik dari Matahari juga tidak memengaruhi panas yang diterima Bumi. Sebab, panas dari Matahari terdistribusi ke seluruh Bumi, dengan distribusi yang paling signifikan memengaruhi disebabkan oleh pola angin.  

"Mengingat saat ini angin bertiup dari arah selatan yang musim dingin, maka kita akan merasakan suhu yang lebih dingin," ujar Andi. 

"Terlebih, diameter tampak Matahari akan terlihat sedikit lebih kecil dibandingkan rata-rata, yakni sekitar 15,73 menit busur atau berkurang 1,68 persen," lanjut dia.  

Presisi apsidal  

Mengutip situs resmi Lapan, Bumi mengalami gerak presisi apsidal, salah satu dari tiga gerak presisi yang disebabkan oleh pergeseran titik apsidal (yakni Perihelion dan Aphelion) terhadap titik pertama Aries.  

Kejadian ini mengakibatkan tanggal Perihelion dan Aphelion bergeser satu hari setelah 58 tahun (dengan variasi tanggal hingga dua hari untuk dua tahun yang berdekatan).  

Diperkirakan, 4.410 tahun lagi (pada tahun 6430), Perihelion akan bertepatan dengan ekuinoks Maret, sedangkan Aphelion akan bertepatan dengan ekuinoks September.  

Di sisi lain, dalam rentang waktu sejak satu dekade terakhir sampai satu dekade mendatang, fenomena Aphelion dan Perihelion terjadi sekitar 13-15 kali, setelah titik balik (solstis) Matahari.  

Fenomena ini juga memengaruhi pada durasi panjangnya empat musim di Bumi. Pada 1248, Perihelion bertepatan dengan titik balik selatan Matahari (saat itu tanggal 15 Desember dalam Kalender Julian), sedangkan Aphelion bertepatan dengan titik balik utara Matahari (saat itu tanggal 15 Juni dalam kalender Julian).  

Hal ini menyebabkan durasi musim gugur astronomis di belahan utara (ekuinoks September ke solstis Desember) sama dengan durasi musim dingin astronomis di belahan utara (dari solstis Desember ke ekuinoks Maret).  

Demikian halnya dengan durasi musim semi astronomis di belahan utara (dari ekuinoks Maret ke solstis Juni) dan durasi musim panas astronomis di belahan utara (dari solstis Juni ke ekuinoks September).(fh/sumber:kompas)