Sistem CEISA Bea Cukai Byar Pet, Pengurusan Ekspor Impor Tersendat

  • Oleh : Naomy

Senin, 26/Jul/2021 10:33 WIB
Ilustrasi angkutan barang dengan kapal laut Ilustrasi angkutan barang dengan kapal laut


 
JAKARTA (BeritaTrans.com) - Dalam beberapa waktu belakangan, sistem pengurusan dalam jaringan ekspor-impor milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sempat byar pet bahkan lumpuh.
 
Pihak Customs Excise Information System and Automation (CEISA), bermasalah karena ada force majeure di sistem. 

"Namun sayangnta tidak dijelaskan apa makna dua kata tersebut.  Pengusaha dikabarkan rugi miliaran rupiah dan instansi tersebut sudah menyatakan tidak bertanggungjawab atas kerugian itu," tegas Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi dalam keterangan tertulis, Senin (26/7/2021).

Baca Juga:
Bea Cukai Amankan 309 Narkotika Jenis Sabu di Pelabuhan Merak

Artinya, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurusi dokumen-dokumen bisnis mereka tetap harus dikeluarkan tanpa sedikitpun ada kortingan karena disrupsi yang terjadi. 

Menariknya, di tengah situasi, yang ada agen-agen pelayaran mengenakan biaya tambahan atas keterlambatan proses dokumentasi menyusul down-nya CEISA.

Baca Juga:
Menuai Tanda Tanya Besar, Namarin: PT PANN Idealnya Tak Perlu Dibubarkan

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Begitulah nasib pemilik barang alias shipper. Ketika tulisan ini diselesaikan, layanan Bea dan Cukai itu belum sepenuhnya pulih.
 
"Ihwal bermasalahnya CEISA bukanlah cerita baru. Sudah beberapa kali situasi serupa terjadi sebelumnya," ungkapnya. 

Dalam setiap kejadian yang berlangsung, beberapa hal selalu sama, pengusaha mengalami kerugian besar, barang terlambat dikirim lantaran dokumennya diproses manual. 

Baca Juga:
Kapal Bermuatan Barang Ilegal Ditangkap Bea Cukai di Perairan Batam

BC tidak melonggarkan (baca: menggratiskan) biaya-biaya yang harus dibayarkan terkait dokumen tadi. Walaupun dirugikan, shipper ini tidak ada yang mengambil langkah hukum atas kerugian yang mereka alami. 

"Kalau membuat statement di media massa sering. Namun mereka tetap saja membayar biaya pengurusan dokumen ekspor-impor," kata dia. 

Biaya yang mereka keluarkan ini pada ujungnya akan diganti oleh masyarakat dengan harga jual yang relatif tinggi. Persis seperti rantai makanan.
 
Fenomena sistem teknologi informasi (TI) yang malfungsi sebetulnya bukan masalah yang hanya terjadi/dihadapi oleh Bea dan Cukai Indonesia. 

Dia juga berlaku di instansi yang sama di berbagai belahan dunia. Perusahaan pelayaran juga sering menghadapinya. 

Malah TI pelayaran sering diincar oleh para hacker. Perbedaan di antara mereka adalah kecepatan recovery. Di luar sana, recovery speed-nya relatif baik sehingga sistem bisa segera pulih dan kembali melayani users. 

"Seperti yang kita ketahui dari berita di media nasional, perlu waktu seminggu lebih buat CEISA agar kembali berjalan normal. Parahnya lagi, kejadiannya berulang," imbuh Siswanto.
 
Tentu saja muncul pertanyaan di benak publik. Bagaimana sih sebenarnya keandalan sistem TI yang dipakai oleh DJBC? Apakah  memakai sistem terbaik yang bisa dibeli oleh uang? Atau, jangan-jangan, sistem itu produk abal-abal atau kaleng-kaleng? Pertanyaan ini, dan barangkali  pertanyaan lainnya, sah-sah saja diajukan. 

Untuk menjawabnya perlu dilakukan investigasi yang menyeluruh dengan melibatkan pihak-pihak di luar DJBC agar lebih transparan. 

"Zaman sudah makin maju. Masak urusan TI masih tidak profesional juga," pungkasnya. (omy)