Banting Stir dari Kapten Kapal Pesiar, Peternak Australia Marwick Optimistis Banyak Orang Asia Tertarik Mencoba Susu Unta

  • Oleh : Dirham

Kamis, 12/Agu/2021 16:13 WIB
Warwick dan istrinya TJ Hill merupakan satu-satunya peternak susu unta di Australia Selatan saat ini. Warwick dan istrinya TJ Hill merupakan satu-satunya peternak susu unta di Australia Selatan saat ini.

CANBERRA (BeritaTrans.com) - Warga Australia Warwick Hill banting setir dari pekerjaannya sebagai kapten kapal pesiar menjadi peternak unta. Dia optimistis pasar Asia sangat menjanjikan karena banyak orang yang tertarik dengan susu unta.

Warwick dan TJ Hill menukar mega yacht yang diawakinya dengan usaha memerah susu unta. Mereka satu-satunya pembuat susu unta di Australia Selatan, dan juga melatih kawanan unta liar.

Susu unta dijual dengan harga sekitar A$20 (sekitar Rp200 ribu) per liter, dan dikenal karena sifat hipoalergeniknya

Warwick yang sebelumnya bekerja di Eropa akhirnya pulang kampung ke Australia Selatan dan mengelola peternakan unta penghasil susu. 

Saat ditemui ABC, dia sedang sibuk memasang alat pemerah susu, yang harus diciptakannya sendiri.

Warwick harus membuat alat khusus ini karena alat ini tidak ada di pasaran. Maklum saja, industri pemerah susu unta tidak begitu eksis.

Peternakannya ini merupakan satu-satunya yang memproduksi susu unta di Australia Selatan. Bahkan di Australia, hanya ada belasan peternak susu unta, meski memiliki populasi unta liar terbesar di dunia.

"Banyak orang sudah mengingatkan, kita tidak akan bisa memerah susu unta liar. Saya menganggapnya sebagai tantangan," kata Warwick.

"Minimal sekali dalam hidup ini, kita harus terima tantangan, dan mari kita lihat bagaimana selanjutnya," ujarnya.

Belajar dari orang Aborigin

Bagi Warwick dan istrinya TJ Hill, pindah ke kampung kecil di Australia Selatan bukanlah pilihan sulit.

Pasangan ini bertemu pertama kali di laut. TJ saat itu bagian dari kru film dan Warwick sebagai kapten kapal.

"Kondisi di laut sangat berbeda dengan kondisi di darat," ujar TJ.

"Saya sangat betah dan nyaman di sini karena memang selalu bermimpi untuk memiliki peternakan di pinggir laut," katanya.

Menurut Warwick, sejak muda dia sudah biasa menangkap unta liar di tanah Aborigin bernama Anangu Pitjantjatjara Yankunytjatjara Lands di gurun Australia Tengah.

Dia belajar dari Roger, seorang tetua Aborigin yang dihormati yang sudah menjadi sahabatnya.

Roger, kata Warwick, punya keahlian utama dalam melacak keberadaan unta liar. Bahkan menggunakan sepeda motor dengan kecepatan 80 kilometer per jam, dia mampu menemukan jejak-jejak binatang tersebut.

"Saya butuh waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya," ujar Warwick.

TJ Hill, mantan operator kamera dan koki terlatih, memiliki kontribusi tersendiri.

Ketika mereka kembali untuk mencari Roger, mereka mendengar tentang susu unta.

"Saya diberitahu bahwa susu ini tidak menimbulkan alergi, jadi mereka yang alergi laktosa dan kasein sangat menyukainya," ujar TJ.

Dengan keahlian Warwick mengumpulkan unta dari padang pasir serta minat TJ pada susu yang non-alergi, pasangan ini pun memutuskan untuk memulai usaha produksi susu unta.

"Tidak ada keraguan dalam pikiran kami untuk mewujudkan usaha ini," katanya.

Tantangan 'emas putih'
Namun demikian, pasangan ini terkadang mempertanyakan juga mengapa mereka melakukan semua pekerjaan yang begitu penuh tantangan ini.

Mereka sering menghabiskan waktu 16 jam sehari, melewati malam-malam musim dingin di karavan mereka yang terletak di daerah yang belum dialiri listrik, saluran pembuangan, atau infrastruktur yang memadai.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, mereka harus membangun peternakan susu dengan menggunakan 100 persen  sumber energi terbarukan, memanfaatkan angin dan matahari.

Berbeda dengan sapi, unta tidak mudah untuk diperah susunya.

"Mereka secara genetis dirancang untuk bertahan hidup, bukan untuk memproduksi susu dalam jumlah besar," kata Warwick.

"Bila seekor sapi menghasilkan 20 hingga 25 liter susu dalam sekali pemerahan, unta-unta ini hanya mampu menghasilkan tiga hingga empat liter," jelasnya.

Sebagai perbandingan, dibutuhkan waktu yang sama antara memerah susu 20 ekor unta dan 500 ekor sapi. 

Itulah sebabnya susu unta kerap disebut sebagai "emas putih", dengan harga pasaran di Australia saat ini berkisar A$20 per liter (sekitar Rp200 ribu).

"Susu unta mungkin seperti (kategori) susu platinum," kata Warwick.

Banyak peminat di Asia

TJ Hill mengatakan sejauh ini mereka belum tertarik untuk menjadi perusahaan besar. Mereka fokus pada skala kecil demi menjaga kualitas produk mereka.

"Pasarnya adalah pasar kesehatan, bukan jenis pasar grosir sehari-hari," jelasnya.

Ia menyebutkan, pasar Asia sangat tertarik dengan produk ini, karena tingginya tingkat intoleransi terhadap susu sapi di kalangan orang Asia.

Dalam waktu dekat, produksi susu unta dari peternakan ini akan dikirim ke Singapura sebanyak 100 liter per minggu. Mereka juga sudah mendapatkan pemesan dari China.

Soal iming-iming kembali berlayar dengan kapal pesiar, pasangan ini mengaku tak tergoda meski sudah banyak tawaran.

"Saya menyukai setiap detik di sini karena inilah yang ingin saya lakukan. Di sinilah saya ingin berada," kata TJ Hill.

Dan tentu saja, mereka tak mau meninggalkan unta-untanya.

"Kami tahu keunikan dan sifat yang berbeda dari setiap unta  di sini," ujarnya. (ds/sumber ABC News Indonesia)