Pemerintah Australia Pulangkan Warganya dari Bali Karena COVID, Tapi Tidak Semua Mendapat Tiket

  • Oleh : Bondan

Jum'at, 20/Agu/2021 05:28 WIB
Keluarga Sutherland sudah menganggap Bali sebagai rumah sendiri sejak dua dekade lalu namun kini mereka pulang ke Perth. Foto: ABC.net.au. Keluarga Sutherland sudah menganggap Bali sebagai rumah sendiri sejak dua dekade lalu namun kini mereka pulang ke Perth. Foto: ABC.net.au.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Pemerintah Australia akan memulangkan sekitar 200 warganya dari Bali dengan menggunakan penerbangan repatriasi khusus hari Rabu ini (18/8/2021).

Hampir 800 warga Australia telah mendaftarkan diri ke Departemen Luar Negeri Australia (DFAT) untuk meninggalkan Indonesia.

Baca Juga:
Monitor Angleb di Bali, Dirjen Hubud: Semua Moda Alami Kenaikan Penumpang

Namun, dalam penerbangan hari ini hanya mereka yang dianggap paling rentan karena alasan kesehatan, keuangan, atau visa yang mendapatkan kursi.

Di antara sedikit warga yang beruntung adalah keluarga Sutherland.

Baca Juga:
Bandara Jenderal Besar Soedirman masih Menjadi Feeder Penerbangan Umroh

Selama 25 tahun, Bali telah menjadi tempat tinggal bagi Georgia dan Hamish Sutherland. Pasangan ini pertama kali bertemu di Pantai Kuta pada tahun 1996, kemudian menikah di Bali.

Ketiga anaknya yang sekarang berusia 14, 12 dan 10 tahun, tumbuh besar di Bali. Mereka semua bersekolah di Bali International School tempat Hamish mengajar sejak 21 tahun lalu.

Baca Juga:
Menjelang Libur Isra Miraj dan Tahun Baru Imlek, Bandara Ngurah Rai Catat Ada 37 Extra Flight Rute Domestik

Sementara Georgia mengelola beberapa usaha spa.

"Kami suka dengan kehidupan di sini," ujar Georgia.

"Kami mencintai orang Bali, mencintai spiritualitas mereka, segala hal tentang pulau ini," ucapnya.

Tapi karena pandemi telah menghancurkan perekonomian Bali dan memaksa anak-anak mereka belajar di rumah selama berbulan-bulan, keluarga Sutherland pun memutuskan sudah waktunya untuk pulang ke Australia.

Mereka awalnya berusaha untuk kembali ke negaranya pada bulan Juli.

Namun penerbangan mereka tiba-tiba dibatalkan, dan penerbangan komersial lainnya mulai berkurang seiring situasi Indonesia yang menjadi episentrum COVID-19 dunia.

"Kami harus mengucapkan selamat tinggal kepada banyak sahabat tercinta," kata Georgia.

"Pada saat yang sama, kami merasa senang mendapatkan kesempatan ini dan anak-anak bisa kembali ke sekolah," tambahnya.

Setelah menjalani karantina selama dua minggu di Darwin, keluarga ini akan pulang ke Perth, dan anak-anak mereka akan bersekolah di Australia untuk pertama kalinya.

"Meskipun mereka dibesarkan di Bali, mereka sama saja dengan orang Australia lainnya," ujar Hamish Sutherland.

Berencana untuk naik kapal

Sementara kasus COVID di Indonesia sekarang mulai mereda dibandingkan pada masa puncaknya di bulan Juli, negara ini belum keluar dari cengkeraman wabah.

Menurut data Universitas Johns Hopkins, lebih dari 180.000 kasus baru dicatat dalam seminggu terakhir, dengan 10.000 lebih kematian.

Kementerian Luar Negeri Australia telah menolak untuk menjelaskan apakah mereka merencanakan tambahan penerbangan repatriasi untuk 600 warganya untuk keluar dari Indonesia.

Banyak dari mereka yang masih di sana telah berusaha keras untuk pulang ke Australia.

Sekelompok warga Australia di Pulau Jawa minggu lalu telah menyewa penerbangan Garuda ke Perth dengan biaya hampir A$5.000 (Rp 50 juta) per tiket.

Maskapai penerbangan Indojet, masih berupaya menyelenggarakan penerbangan charter serupa dari Bali bulan depan.

Namun, karena kapasitas penumpang yang terbatas, paling banyak 25 orang, kemungkinan besar biayanya akan menjadi sangat mahal.

Mathew Connelly asal Queensland bahkan berencana untuk berlayar dari Lombok dengan kapal sewaan bila dia tidak berhasil mendapatkan tiket penerbangan komersial.

Mathew telah berada di Indonesia sejak November tahun lalu.

Saat putrinya yang masih kecil di Australia tiba-tiba membutuhkan operasi, ia berhasil memesan tempat di salah satu kapal yang siap berlayar ke Darwin melalui Nusa Tenggara.

"Kami mencari setiap opsi yang tersedia, baik penerbangan transit melalui Qatar atau rute lainnya. Kami kemudian menemukan ide untuk naik kapal ke Darwin," katanya.

Tetapi opsi itu sekarang tidak lagi menjadi pilihan baginya, setelah otoritas Northern Territory (Australia Utara) menetapkan bahwa lima awak kapal Indonesia yang mereka akan tumpangi harus menghabiskan dua minggu di karantina, dengan biaya yang harus ditanggung oleh penumpang.

Informasi lain menyebutkan bahwa kapal pinisi, yaitu kapal kayu tradisional khas Makassar, juga tidak akan lagi membawa pulang warga Australia karena biaya karantina dan gaji kru yang mahal.

Mathew merasa beruntung karena ditawari kursi pada penerbangan repatriasi dengan maskapai Qantas hari ini dari Bali.

Namun, warga lain yang telah memesan tempat di kapal kini menjadi terlantar.

Melepas kepergian orangtua dari jarak jauh

Scott Hindmarch, yang tinggal di Lombok bersama istri dan keluarganya yang asal Indonesia, sangat ingin kembali ke Australia dengan pesawat atau kapal untuk bertemu dengan ayahnya yang sekarat untuk terakhir kalinya.

Karena tidak berhasil menemukan penerbangan komersial, ia mendaftar ke DFAT untuk penerbangan repatriasi hari ini, dengan alasan belas-kasih.

Tapi dia tidak menerima kabar apa-apa dari pihak DFAT.

Scott mengaku sangat marah dan kecewa berat terhadap cara DFAT memperlakukannya.

"Tidak ada yang menghubungi saya untuk memverifikasi apa yang saya alami. Bahkan balasan resmi atau telepon, email, tidak ada sama sekali," katanya.

"Mereka cuma mengirim balasan otomatis. Itu saja. Saya menelepon Kedutaan dua kali, memperbaharui pendaftaran DFAT dua kali, tapi sama sekali tidak ada balasan sama sekali dari mereka," ucap Scott.

Ia akhirnya ikut mendaftar untuk berlayar dengan kapal tapi akhirnya menyerah setelah mendengar adanya aturan larangan perbatasan baru.

Hingga pekan lalu, warga Australia yang tinggal di negara lain bisa pulang sementara, tanpa perlu pengecualian khusus untuk pergi lagi.

Kini, warga yang telah pulang seperti itu memerlukan persetujuan ketat untuk bisa meninggalkan Australia.

Ayah Scott Hindmarch telah meninggal minggu lalu, dan dia pun mengatur pemakaman secara jarak jauh dari Lombok.

"Saya yang menyampaikan sambutan duka cita keluarga, jadi harus merekamnya terlebih dahulu," katanya.

Tergantung pada hasil PCR

Bahkan bagi mereka yang berhasil mendapatkan tiket penerbangan hari ini, impian mereka untuk pulang masih bisa pupus pada menit-menit terakhir.

Setiap penumpang diwajibkan melakukan PCR dan tes antigen beberapa hari sebelumnya untuk memastikan mereka tidak memiliki COVID-19.

Hasil final tes ini baru keluar beberapa jam sebelum pesawat lepas landas dari Bandara Ngurah Rai.

Mathew Connelly sangat berharap agar hasil tesnya tidak positif.

"Itu bagian yang sulit dari semua ini. Saya berharap bukan kabar [status positif] ini yang harus saya sampaikan kepada istri saya nanti," katanya.

"Saya berharap pemerintah Australia melanjutkan apa yang mereka lakukan, sehingga bila hasil tes saya positif sekarang, saya tetap bisa ikut pada penerbangan berikutnya," tambah Mathew. (dn/sumber: abc.net.au)