Kisah Tapak Tilas Penjelajahan Perempuan Pemberani yang Terlupakan

  • Oleh : Fahmi

Kamis, 09/Sep/2021 11:37 WIB
Pada 2017, ketika dia berusia 28 tahun, Wortley meninggalkan rumahnya di Brixton, London Selatan, untuk mengikuti bagian pertama dari perjalanan David-Néel di Sikkim di timur laut India. Pada 2017, ketika dia berusia 28 tahun, Wortley meninggalkan rumahnya di Brixton, London Selatan, untuk mengikuti bagian pertama dari perjalanan David-Néel di Sikkim di timur laut India.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Mengikuti jejak para perempuan penjelajah pemberani dalam sejarah, Elise Wortley berharap dapat mendapatkan pencerahan dari para petualang ini dan menginspirasi generasi baru. 

Pada 1911, mantan penyanyi opera Prancis dan lulusan sarjana beragama Buddha, Alexandra David-Néel membuat janji kepada suaminya. 

Baca Juga:
Indonesia - Timor Leste Kerja Sama Bikin Komitmen Jaga Keberlanjutan Ekosistem Laut

Dia berjanji akan kembali dalam 18 bulan dan memulai apa yang nantinya berakhir sebagai ekspedisi hebat yang berlangsung selama 14 tahun menyusuri Asia menuju kota terlarang Lhasa. Dia bersumpah "menunjukkan yang bisa dilakukan seorang perempuan". 

David-Néel berjalan melalui Himalaya pada musim dingin membeku. Dia tidur di atas hamparan salju dan disebut-sebut memakan kulit sepatu botnya guna mencegah rasa lapar. 

Baca Juga:
Pengelolaan Logistik Sampah untuk Pemberdayaan Masyarakat

Dia pada akhirnya juga menyamar sebagai pengemis demi menyelinap ke ibukota Tibet pada tahun 1924, pada usia 55 tahun. 

Dengan melakoni semua itu, David-Néel menjadi perempuan Eropa pertama yang memasuki Lhasa, yang kemudian tertutup dari dunia luar. 

Baca Juga:
Warisi Sanitasi yang Layak Bagi Masyarakat, FIFGROUP Resmikan Kampung Sehat STBM di Lebak Bulus, Jakarta

Namun David-Néel tetap menjadi penjelajah yang kurang dikenal, tidak seperti petualang tersohor macam Ernest Shackleton dan Edmund Hillary yang namanya telah diabadikan dalam buku-buku sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah. 

Sebagian besar perempuan penjelajah seperti David-Néel, Nan Shepherd, dan Freya Stark telah dilupakan atau diabaikan, meskipun mereka mencapai prestasi yang bahkan hingga saat ini terlihat mencengangkan. 

Alexandra David-Néel menulis tentang ekspedisinya selama 14 tahun menyusuri Asia dalam bukunya, My Journey to Lhasa. 

David-Néel menulis tentang petualangan itu dalam buku My Journey to Lhasa, yang menggambarkan kebahagiaannya dalam "perjalanan menuju misteri ketinggian yang belum dijelajahi ini, sendirian dalam keheningan yang luar biasa, mencicipi manisnya kesendirian dan ketenangan". 

Buku itu akan terus menginspirasi para perempuan petualang, termasuk penjelajah zaman modern Elise Wortley, yang membaca buku itu ketika dia berusia 16 tahun di Colchester, Essex. 

"Kisahnya secara menyeluruh benar-benar membuat saya berimajinasi Saya selalu memiliki pikiran untuk mengikuti jejaknya," kata Wortley kepada saya. 

Pada 2017, ketika dia berusia 28 tahun, Wortley meninggalkan rumahnya di Brixton, London Selatan, untuk mengikuti bagian pertama dari perjalanan David-Néel di Sikkim di timur laut India. 

Dia berjalan selama satu bulan, menempuh jarak 750 kilometer dari Impong ke Gunung Kanchenjunga di sepanjang perbatasan Tibet pada ketinggian hingga 5.050 meter di atas permukaan laut. 

"Saya menelusuri kembali rutenya, membaca ulang semua bukunya dan membuat peta," ujar Wortley. 

Namun ini adalah perjalanan yang berbeda. Wortley bertekad menggunakan perjalanannya demi menghidupkan kembali perhatian publik pada para perempuan penjelajah yang pemberani dalam sejarah. 

"Saya hanya ingin lebih banyak orang tahu tentang para perempuan ini dengan menyebarkan kisahnya dan merayakan apa yang mereka capai, lantaran mereka secara perlahan mulai terlupakan," katanya. 

"Dulu, perempuan tidak dianggap serius dan tidak ada yang menganggap prestasi mereka setara dengan laki-laki. Mereka harus bekerja lebih keras. 

"Bagi saya, hal yang menarik adalah mereka melakukan perjalanan yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka memiliki begitu banyak beban ekstra untuk ditangani, serta masyarakat yang mengatakan, 'Kamu seharusnya tidak melakukan itu, kamu harus menetap di rumah.'" 

Keterangan gambar, Lachen, sebuah kota terpencil di Sikkim, India, adalah titik awal perjalanan yang diilhami David-Néel di Wortley. 

Tertarik untuk menciptakan kembali pengalaman David-Néel sepenuhnya, Wortley bertekad hanya menggunakan peralatan yang tersedia untuk perempuan Prancis pada dekade 1920-an. 

Yang dia gunakan, antara lain mantel wol dari kulit yak, ransel kayu yang dia buat dari rongsokan kursi yang dia temukan di jalanan di Brixton, sebuah keranjang yang dia ikat dengan tali, termasuk pakaian dalam era 1920-an. 

Wortley tidur di bawah tenda kanvas lwas dan hanya menggunakan kantong tidur daruratnya satu kali ketika cuaca terlalu dingin. Suhu di kawasan itu mencapai -15 derajat Celsius pada malam hari. 

"Mantel wol yak itu tebal, tapi di malam hari benar-benar membeku," ungkapnya. 

Agar tetap hangat pada era 1920-an, David-Néel berlatih pernapasan Tummo, yaitu teknik kuno yang menghangatkan tubuh dari dalam. 

Namun lantaran metode ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikuasai, Wortley mengandalkan dua botol air panas, sebuah kemewahan kecil yang dulu juga dimiliki David-Néel. 

Botol itu diisi dengan air yang dipanaskan di atas api guna bertahan dari suhu dingin. 

"Saya cukup banyak menghabiskan malam mengisi ulang botol-botolnya. Saya tidak banyak tidur," kata Wortley sambil tertawa. 

Apakah dia pernah menyesali keputusannya untuk tidak menggunakan peralatan modern? 

"Kisahnya secara menyeluruh benar-benar membuat saya berimajinasi Saya selalu memiliki pikiran untuk mengikuti jejaknya," kata Elise Wortley. 

"Ada saat-saat ketika saya menyesalinya, tentu saja. Tapi saya ingin mengalami apa yang dia alami. Satu-satunya cara untuk melakukan itu dan untuk benar-benar memahami betapa sulitnya itu baginya adalah melakukannya hanya dengan apa yang dia punya," kata Wortley. 

Wortley menambahkan bahwa proses meneliti semua pakaian dan peralatan milik David-Néel menjadi salah satu bagian yang paling menarik baginya. 

Wortley merekrut sejumlah perempuan dalam timnya selama perjalanan. Mereka antara lain pembuat film, Emily Almond Barr dan pemandu keturunan Lepchas, Jangu. 

Nama terakhir tadi merupakan penduduk asli Sikkim (sebuah daerah di bagian timur laut India). 

Keduanya memilih mengenakan pakaian modern dan menggunakan peralatan modern. 

Bepergian sebagai seorang perempuan jelas telah meningkat secara signifikan sejak 1920-an. Namun, kata Wortley, "kami masih menghadapi banyak hal yang sama, seperti perhatian yang tidak diinginkan." 

Dalam bukunya, David-Néel menulis tentang perhatian tidak mengenakan yang dia dapatkan selama perjalanannya. 

Penjelajah perempuan lain yang pada masa itu disorot karena gaya berpakaiannya akhirnya memilih baju laki-laki.

Selama perjalanannya di India, Wortley ditemani oleh pemandu Jangu Lepcha dan pembuat film Emily Almond Barr. 

Tetapi Wortley mengakui bahwa dalam banyak hal, perjalanan petualangan sebagai seorang perempuan jauh lebih baik pada hari ini. 

"Dengan internet, Anda selalu tahu ke mana Anda pergi dan Anda selalu dapat berhubungan dengan orang-orang. 

"Yang membuat saya berpikir, astaga, para perempuan saat itu, mereka benar-benar akan pergi sendiri dan yang mereka miliki hanyalah menulis surat untuk berhubungan dengan keluarga." 

Setelah perjalanan pertamanya itu, Wortley mulai meneliti sejarah para perempuan penjelajah lainnya yang petualangannya dapat dia tiru. 

Dia menemukan lusinan perempuan penjelajah, antara lain penulis Skotlandia Nan Shepherd, yang dikenal dengan bukunya The Living Mountain yang mengisahkan penjelajahannya di pegunungan Cairngorm Skotlandia pada 1940-an. 

Ada juga Freya Stark, penulis dan penjelajah perjalanan Anglo-Italia yang melintasi Timur Tengah dan Afghanistan pada abad ke-20. 

Nama lain yang dia temukan adalah Zora Neale Hurston, penulis dan antropolog asal Amerika Serikat yang melakukan perjalanan ke Haiti pada dekade 1930-an untuk mendokumentasikan ritual dan kepercayaan voodoo. 

Terinspirasi oleh para perempuan ini, Wortley terus melanjutkan petualangannya. 

Dia telah mendaki puncak Cairngorms, berpakaian sebagai penjelajah tahun 1940-an seperti Nan Shepherd, lengkap dengan mantel wol, sepatu bot vintage setinggi lutut, rok katun, dan jatah ransum era perang. 

Dia saat ini merencanakan perjalanan ketiga untuk musim panas mendatang, yang akan menciptakan kembali perjalanan ratu bajak laut Irlandia abad ke-16 Grace O'Malley dari barat Irlandia ke Inggris. 

Wortley juga berharap untuk menjelajahi Kurdistan di Irak utara seperti yang pernah dilakukan Freya Stark. 

Setelah dia mempelajari ihwal para perempuan ini dan petualangan mereka, Wortley juga menjadi lebih memahami tentang dirinya sendiri. 

Tujuan Wortley adalah untuk terus menelusuri kembali langkah-langkah para perempuan pemberani ini dan mendokumentasikan pengalamannya dalam Woman with Altitude. 

Dia juga berikhtiar untuk membuat dampak positif pada kehidupan para perempuan di komunitas yang dia kunjungi, mengumpulkan uang untuk amal seperti Scottish Women's Aid and Freedom Kit Bags, sebuah badan amal yang memasok pembalut kain yang dapat digunakan kembali untuk para perempuan dan anak perempuan di Nepal dan India. 

Wortley paham masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan profil para penjelajah perempuan ini. 

Tatkala Wortley menghabiskan tiga pekan di Cairngorms mengikuti jejak Shepherd, dia membawa salinan buku The Living Mountain, sebuah penghormatan puitis ke pegunungan Skotlandia. 

Meskipun buku itu dirayakan secara luas hari ini dan wajah Shepherd ada di uang kertas 5 poundsterling, Wortley menemukan bahwa orang-orang yang dia temui di Skotlandia acap kali tidak tahu siapa dia. Sebuah indikasi betapa pentingnya proyek Wortley.
 

Terinspirasi oleh penjelajah Skotlandia Nan Shepherd, Wortley mengenakan pakaian trekking tahun 1940-an untuk ekspedisi yang berlangsung selama tiga minggu ke Taman Nasional Cairngorms. 

Setelah dia mempelajari ihwal para perempuan ini dan petualangan mereka, Wortley juga menjadi lebih memahami tentang dirinya sendiri. 

"Kedengarannya murahan, tetapi saya telah belajar bahwa segala sesuatu mungkin terjadi, saya pikir saya tidak akan pernah bisa melakukan ini pada satu titik dalam hidup saya." 

Di awal usia 20-an tahun, Wortley menderita kecemasan dan serangan kepanikan. 

"Saya tidak bisa benar-benar pergi bekerja, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Itu benar-benar menahan saya." 

Dia juga menemukan betapa tangguhnya tubuh manusia. 

"Terutama ketika saya sedang berjalan-jalan di India, [saya menemukan] tubuhmu dapat melakukan lebih dari yang Anda pikirkan. 

"Bahkan ketika saya benar-benar lelah, saya masih bisa terus berjalan sedikit lebih lama," katanya. 

Saat dunia terbuka lagi, Wortley siap untuk mengikuti jejak para penjelajah ini sekali lagi, meningkatkan kesadaran akan pencapaian mereka dan bahkan mungkin menginspirasi generasi para perempuan petualang berikutnya. (Fhm/sumber:bbc)