Oleh : Redaksi
WASHINGTON DC (BeritaTrans.com) - Satu laporan Bank Dunia yang dirilis Senin (13/9) mengisyaratkan bahwa perubahan iklim bisa memaksa 216 juta orang di keenam kawasan untuk bermigrasi di dalam negeri dalam 30 tahun ke depan.
Laporan “Groundswell Part 2” mempelajari bagaimana perubahan iklim menjadi pendorong kuat migrasi dalam suatu negara karena dampaknya terhadap mata pencaharian orang akibat kekeringan, naiknya permukaan laut, kegagalan panen dan kondisi lainnya terkait iklim.
Baca Juga:
Kurangi Emisi untuk Tekan Krisis Ozon agar Bumi Tetap Layak Huni
Laporan iklim Groundswell yang pertama diterbitkan pada 2018 dan merincikan proyeksi dan analisis bagi tiga kawasan dunia: sub-Sahara Afrika, Asia Selatan dan Amerika Latin. “Groundswell 2” melakukan studi serupa di Asia Timur dan Pasifik, Afrika Utara, dan Eropa timur dan Asia Tengah.
Kedua studi itu memaparkan skenario berbeda untuk mengeksplorasi kemungkinan dampak pada masa depan serta mengidentifikasi titik-titik migrasi di masing-masing kawasan. Titik yang dimaksud adalah area yang kemungkinan akan ditinggalkan dan yang akan didatangi.
Baca Juga:
Hujan Es akan Sering Terjadi
Untuk memperlamban faktor-faktor pendorong migrasi iklim dan menghindari skenario terburuk, laporan itu merekomendasikan serangkaian langkah yang bisa diambil oleh para pemimpin dunia, termasuk mengurangi emisi global sejalan dengan tujuan yang diterapkan dalam perjanjian iklim Paris 2015.
Laporan itu juga mengimbau untuk mengambil langkah guna memahami faktor-faktor pendorong migrasi iklim internal, supaya bisa mengembangkan kebijakan yang sesuai.
Baca Juga:
Jutaan Warga Asia Hirup Udara Paling Berbahaya di Dunia
Rencana Pembangunan PLTU Batu Bara China Bisa Gagalkan Target Iklim Dunia
Sebelumnya utusan urusan iklim AS, John Kerry, Kamis (2/9) memperingatkan, pembangunan sarana dengan menggunakan bahan bakar batu bara oleh China bisa menggagalkan pencapaian target lingkungan, setelah dia berbicara dengan pejabat tinggi China.
Ketegangan antara Beijing dan Washington meningkat dalam beberapa bulan terakhir, di mana kedua pihak saling menuduh seputar catatan HAM China, dan penanganan awal China terhadap virus corona. Mengatasi perubahan iklim merupakan salah satu dari sejumlah isu di mana kedua pihak memiliki kesamaan. Namun, Beijing dalam beberapa bulan terakhir telah menekankan bahwa kerja sama lingkungan bisa dirugikan oleh memburuknya hubungan China – AS.
Kerry mengatakan kepada jurnalis pada Kamis (1/9) malam, AS sudah menjelaskan bahwa penambahan PLTU batu bara merupakan tantangan besar dalam usaha dunia untuk mengatasi krisis iklim.
”Rencana China membangun PLTU baru bisa menggagalkan kemampuan dunia untuk mencapai net-zero atau nol-netto pada tahun 2050.” Kerry menambahkan, meskipun mereka melakukan pembicaraan yang sangat konstruktif, dia juga secara blak-blakkan membahas topik ini.
Meskipun berjanji untuk mencapai puncak konsumsi batu bara sebelum 2030, China tahun lalu mengoperasikan PLTU dengan kapasitas mencapai 38,4 gigawat – lebih dari tiga kali yang secara global diresmikan.
China menantang AS agar memperbaiki hubungannya dengan Beijing untuk membuat kemajuan dalam bidang perubahan iklim. Namun, Kerry mendesak pemerintah China agar jangan membiarkan kerja sama lingkungan terpengaruh oleh ketegangan di antara kedua negara pencemar lingkungan terbesar di dunia, dan mengingatkan bahwa itu merupakan “tantangan global.”
“Penting, apapun perbedaan yang kita miliki, kita harus menanggapi krisis iklim ini,” katanya.
Menlu Wang Yi memberi tahu Kerry sebelumnya bahwa kerja sama dalam pemanasan global tidak bisa dipisahkan dari diplomasi isu-isu lain di antara kedua negara. (VOA).