Atasi Hambatan Distribusi Logistik dan Ekspor Barang, Kemenhub Segera Bentuk Indonesia SEA

  • Oleh : Naomy

Selasa, 28/Sep/2021 08:44 WIB
FGD Ditjen Hubla FGD Ditjen Hubla

 

JAKARTA (BeritaTrans.com) -
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Arif Toha menyampaikan, WHO menetapkan kondisi Pandemi Covid-19 di awal tahun 2020. 

Baca Juga:
Ribuan Peserta Arus Balik Gratis Sepeda Motor dengan Kapal Laut Tinggalkan Semarang ke Jakarta

Untuk menghentikan penyebaran virus, banyak negara menerapkan pembatasan perjalanan orang. 

"Pembatasan ini memengaruhi kegiatan ekonomi secara global, khususnya pelayaran internasional untuk memfasilitasi perdagangan internasional," tuturnya dalam Focus Group Discussion (FGD) pembentukan Indonesian SEA (Shipping Enterprises Alliance), Senin (27/9/2021). 

Baca Juga:
Sesditjen Hubla Tinjau Pelabuhan Muara Angke

Pembatasan yang diterapkan banyak negara tersebut membatasi ketersedian SDM logistik, antara lain pelaut, pekerja di pelabuhan atau TKBM, bahkan supir truk. 

Berkurangnya SDM logistik tersebut berdampak pada kegiatan bongkar muat di pelabuhan dan port clearance out dan in pun terganggu sehingga terjadi port congestion.

Baca Juga:
Posko Angkutan Laut Lebaran 2024 Dimulai Hari ini

"Untuk menekan biaya operasional pemilik kapal mengurangi jadwal operasional kapalnya (blank sailing) sehingga ruang muat kapal juga berkurang," ungkap Arif.

Kondisi ini akhirnya membuat banyak negara berkomitmen untuk menjaga ketersediaan pasokan kebutuhan pokok, alat kesehatan, hingga Cina yang mulai meningkatkan produksi ekspornya, membuat distribusi logistik harus tetap jalan dengan tetap menerapkan pembatasan. 

Hal ini membuat ketersediaan jumlah peti kemas dan muat ruang kapal menjadi terbatas sehingga harga freight naik drastis. 

Dengan 40% dari perdagangan internasional melewati perairan Indonesia, tentu saja disrupsi perdagangan internasional dan kenaikan tarif freight juga dialami oleh Indonesia khususnya pelayaran rute AS, Eropa, dan Cina. 

"Tarif ocean freight 40Ft dari Indonesia ke Eropa sebelum pandemi kurang lebih USD 1.500 menjadi sekitar USD 7.000, kemudian ocean freight full container mencapai USD 13.000 untuk tujuan Pantai Timur Amerika Serikat yang sebelumnya hanya 3.000 USD," katanya.

Arif mengungkapkan, di Indonesia, secara umum kesulitan yang dialami adalah waktu tunggu untuk mendapatkan ketersediaan kontainer yang harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Bahkan ada juga yang sudah mendapatkan DO (delivery order) dari pengangkut namun tiba-tiba dibatalkan. 

Disrupsi ini bukan hanya memengaruhi eksportir besar tapi juga industri usaha kecil dan menengah serta ekspor hasil perikanan. 

Industri UMKM yang produksinya tidak teratur dan dalam jumlah sedikit biasanya lebih memilih untuk melakukan kontrak pengangkutan jangka pendek, sehingga tidak menjamin ketersediaan peti kemas dengan harga yang lama. 

Eksportir yang melakukan kontrak jangka panjang pun belum tentu mendapatkan harga lama, perusahaan pelayaran akan melakukan penyesuaian harga di lapangan.

Indonesia merupakan negara kepulauan di mana 2/3 wilayahnya terdiri dari perairan, sehingga sangat bergantung pada angkutan laut. 

Sejak tahun 2005 telah diterapkan asas cabotage secara konsisten, hal ini membuat angkutan laut domestik 100% dikuasai oleh angkutan laut nasional. 

Industri pelayaran nasional dapat bermain di perairan sendiri, menjadi tuan rumah di negara sendiri. 

"Kita sangat bangga akan kesuksesan asas cabotage. Namun untuk angkutan laut luar negeri, untuk mengangkut ekspor dan impor kita masih bergantung pada kapal asing di mana lebih dari 80% ekspor Indonesia diangkut oleh kapal asing," imbuh Arif. 

Untuk meningkatkan peran angkutan laut menjadi pemain yang dapat bersaing di pelayaran internasional, Pemerintah mengembangkan asas cabotage menjadi beyond cabotage yaitu kegiatan angkutan ekspor dan impor yang diprioritaskan menggunakan kapal berbendera Indonesia. 

Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan ekspor Indonesia terhadap kapal asing sehingga tidak harus menunggu kapal asing atau kesediaan ruang muat kapal untuk datang mengangkut ekspor. 

"Melihat keadaan yang memperihatinkan seperti ini, pemerintah tidak hanya diam saja. Kementerian Perhubungan bersama dengan Kementerian/Lembaga/Instansi serta stakeholders melakukan koordinasi untuk menemukan solusi dari masalah ini. Banyak yang telah dirumuskan namun tidak mudah diterapkan, butuh persiapan supaya tepat sasaran dan cocok diterapkan dengan kondisi Indonesia," imbuh dia.

Banyak negara yang telah mereposisi peti kemasnya, hal ini dapat menurunkan harga freight namun tidak signifikan dan tidak bertahan lama karena harga freight kembali melambung. 

Solusi jangka panjang pun sedang dirumuskan, di mana saat ini Kementerian Perhubungan sedang fokus untuk mengembangkan ide pembentukan Indonesian SEA.

"Aliansi ini diharapkan dapat memprioritaskan pengangkutan ekspor Indonesia dengan menyediakan ruang muat di atas kapal," tutupnya.

Sebagai informasi, Indonesian SEA ini akan didukung oleh media komunikasi digital SEACOMM (Shipping Enterprises Alliance Communication Media). SEACOMM ini akan menjadi platform interaktif yang terintegrasi untuk bertukar informasi antara pemilik kapal dengan menyediakan informasi ruang muat kapal  dan bagi eksportir dengan menyediakan informasi jumlah, jenis barang ekspornya. (omy)