Namaku Bento, Ayahku Pegawai Pajak, Hartaku Berlimpah

  • Oleh : Redaksi

Jum'at, 13/Mei/2022 16:45 WIB
Foto:istimewa/ilustrasi Foto:istimewa/ilustrasi

Penulis Dr. Ari Junaedi, SH, MSi, Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian  Politik Nusakom Pratama

* Dengan ini Redaksi meminta maaf atas pemuatan artikel ini sebelumnya tanpa    mencantumkan nama penulis secara lengkap yang dikutip dari Kompas.com (5/2/2022) *

Baca Juga:
2 Pegawai UPPKB Cekik Gilimanuk Terkena OTT, Begini Kronologi Penangkapannya

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Kongkalikong begini “kelakuan” putra pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Wawan Ridwan yang bernama Muhammad Farsha Kautsar.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga antara Wawan dan putranya yang bernama Farsha ini “kongkalingkong” melakukan tindak pidana pencucian uang dari serangkaian pemeriksaan wajib pajak kelas “kakap” (Kompas.com, 26/01/2022).

Baca Juga:
Jasa Raharja Jawa Barat Gelar Pengobatan Gratis dan Sosialisasi Pajak Kendaraan di Mall Pelayanan Publik

Wawan yang dicokok KPK saat menjabat Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bantaeng, Sulawesi Selatan, ditelisik KPK karena menerima suap dan gratifikasi saat menjabat Kepala Bidang Pendaftaran Ekstensifikasi dan Penilaian Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sulsebatra.

Dana yang mengalir ke Wawan, diantaranya dimuarakan lagi ke Farsha.

Baca Juga:
Jasa Raharja Karawang Sosialisasi Ajak Masyarakat Taat Pajak

Tidak tanggung-tanggung, modus yang digunakan duet “maut” bapak dan anak ini adalah membelanjakan barang-barang mewah dan tanah serta mengalirkan uang suap ke berbagai pihak.

Jam tangan seharga Rp 888.830.000,- dibelanjakan dari rekening Farsha. Dua mobil, salah satunya Mercedes Benz C300 Coupe tandas dibeli dengan mahar Rp 1,379 miliar.

KPK tidak habis pikir dan kita pun yang membaca ini juga kehilangan nalar, status Farsha yang masih mahasiswa dan belum memiliki pendapatan dari hasil usaha sendiri tetapi sudah hidup bak “Bento” dalam lirik lagu yang disenandungkan Iwan Fals tersebut.

Dalam pandangan jaksa KPK, sangat muskil Farsha bisa melakukan pembelian tersebut tanpa aliran uang dari ayahnya.

Yang lebih “ambyar” lagi, Farsha pernah mentransfer dana sebanyak 21 kali ke teman dekatnya yang mantan pramugari Garuda Indonesia, Siwi Widi Purwanti. Total dana yang dikucurkan sebesar Rp 647 juta.

Teman-teman Farsha lainnya juga dapat “durian” rontok. Adinda Rana Fauziah mendapat Rp 39.186.927,-. Bimo Edwinanto memperoleh Rp 296 juta. Sedangkan Dian Nurcahyo Purnomo menerima Rp 509.180.000,-

Sebelum kasus duet Wawan dan Farsha terkuak, nama Siwi Widi Purwanti sempat heboh karena pernah dituding akun @digeembok sebagai “simpanan” petinggi Garuda. Siwi sendiri membantah tudingan negatif itu.

Modus “Pat Gulipat” pegawai pajak

Permainan “pat gulipat” yang kerap dilakukan oknum pegawai Direktorat Jenderal Pajak adalah mengurangi kewajiban pembayaran pajak dari perusahaan-perusahaan kelas kakap.

Tentu tidak gratis, tetapi ada kewajiban bayar “setoran” kepada mafia pajak.

Tagihan pajak yang besar, tinggal dikompromikan sehingga pembayar pajak mendapat “keringanan” dan petugas pajak mendapat “keriangan” berupa gratifikasi.

Putusan majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta beberapa hari yang lalu (Jumat, 4/2/2022), menguraikan pola kerja sama “penggarongan” uang pendapatan negara dari mantan pejabat Direktoral Jenderal Pajak Angin Prayitno dan Dadan Ramdani yang dibantu dengan “sigap” dan “cekatan” oleh Wawan Ridwan, Alfred Simanjuntak, Yulmanizar dan Febrian selalu tim pemeriksa pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan (Detik.com, 4 Februari 2022).

Rekayasa pajak yang dimainkan tim “alap-alap” ini mencapai Rp 55 miliar dari hasil “pat gulipat” suap pajak PT Gunung Madu Plantations, PT Bank Panin serta PT Jhonlin Baratama.

Dari postur pendapatan Wawan Ridwan saja serta anaknya yang masih dalam tanggungan karena masih berkuliah, kemampuan membelanjakan barang-barang mewah serta “kedermawanan” ke berbagai kalangan sangatlah tidak masuk akal sehat.

Entah pola pendidikan dan budi pekerti seperti apakah yang diberikan Wawan selaku orangtuanya dalam memanjakan anaknya sedemikian “sultannya”.

Saya jadi teringat dengan perjuangan para mahasiswa yang saya ampuh untuk bisa membayar uang kuliah serta biaya makan sehari-hari, rela membantu saya di Pusat Pengendalian Lalu Lintas Nasional (National Traffic Management Center – NTMC) Polri.

Dengan honor magang yang diperolehnya usai bekerja dalam tiga shift kerja yang dipilih (pagi, sore dan malam) mereka merasa bangga dengan hasil jerih payahnya.

Honor yang didapatkan dari puluhan mahasiswa saya ini bisa meringankan beban orangtuanya yang bekerja serabutan.

Saya selalu menekankan para mahasiswa untuk bisa berkuliah dengan prestasi yang membanggakan dan bisa memperoleh uang halal dari hasil jerih payahnya tanpa mengganggu perkuliahannya.

Uang halal yang didapatkan – walau sangat minim – membawa berkah bagi mahasiswa dalam perjuangannya untuk bisa bayar semesteran atau membantu orangtuanya.

Pejuang tangguh yang saya rekrut ini berasal dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Diponegoro (Undip), Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta (Polimedia), Universitas Gunadharma, Universitas Asyafiiyah, Universitas Pamulang, Universitas Mercubuana, dan lain-lain.

Mendiang kakek saya yang pensiunan Polri berpangkat rendah atau almarhum bapak saya yang juga berpangkat bintara dari TNI-AD selalu tidak bosan-bosannya berpesan,”Anak polah bapa kepradah arti saking paribasan ing dhuwur yaiku wong tuwa melu repot amarga tumindake anake”.

Selarik bahasa Jawa ini berarti anak berulah ayah yang menanggung malu. Tentu konotasi ini akan berbeda dengan serangkaian “duet ajib-ajib” antara Wawan yang pejabat Direktorat Jenderal Pajak dengan putranya yang “Bento” itu.

Simaklah perjalanan Bupati Trenggalek

Jika melihat “sultan-sultan” muda yang kaya raya karena hasil kerja kerasnya tentu kita takzim dan kagum.

Akan tetapi jika melihat kekayaan anak-anak muda karena “cipratan” dan “kepretan” uang korupsi orangtuanya, tentu kita malu menjadikannya sebagai rujukan moral.

Saya begitu salut ada anak yang berayakan seorang pengemudi becak dan beribukan asisten rumah tangga, tetapi dia begitu ulet dan gigih dalam memperjuangkan kehidupan yang bermartabat di Surabaya.

Kehidupannya mulai membaik setelah beralih usaha menjual berbagai peralatan rumah tangga.

Begitu ditinggal ayahnya yang wafat di usia 41 tahun, si anak ini sempat “lari” ke Jakarta dengan bermain musik dan menemukan pelepasan kepenatan karena kesibukan kuliah serta memimpin usaha keluarga.

Berkat mimpi berjumpa dengan mendiang ayahnya, remaja ini bermetamoforsa menjadi pengusaha yang sesungguhnya di daerah asal orangtuanya, Trenggalek, Jawa Timur.

Tidak puas karena hanya bisa menampung pengangguran yang jumlahnya terbatas di perusahaannya, remaja yang awal mulanya “muak” dengan politik akhirnya menemukan jalannya dengan memenangkan kontestasi Bupati Trenggalek.

Dia begitu yakin, dengan kekuasaan kepala daerah yang digenggamnya, bisa memberi manfaat kepada banyak orang melalui sentuhan berbagai program-program pembangunan yang pro rakyat (Kompas.com, 06/04/2021)

Dia adalah Mochamad Nur Arifin atau biasa disapa Gus Ipin, yang pernah didapuk Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai wakil bupati termuda se-Indonesia.

Saat maju sebagai wakil bupati di Pilkada 2015 bersama Emil Dardak, Gus Ipin masih berusia 25 tahun 10 bulan dan 1 hari.

Di Pilkada 2020 lalu, Gus Ipin yang maju menjadi bupati juga menang lagi.

Program Gerakan Tengok Bawah Masalah Kemiskinan (Gertak) yang digagas di Trenggalek mampu menurunkan tingkat kemiskinan dan berbagai persoalan sosial di masyarakat dengan memanfaatkan dana non Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Gertak yang diluncurkan pada 2016 lalu berawal dari banyaknya masalah sosial yang ada di masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah daerah Trenggalek memiliki keterbatasan dana dalam APBD.

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dijadikan mitra Pemerintah Kabupaten Trenggalek untuk menggalang dana dari zakat, infak dan sedekah dari para pegawai negeri sipil maupun instansi lain serta warga.

Agar merangsang jajarannya mau menyalurkan zakat dan sedekah melalui Baznas, Gus Ipin menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangan kerjanya kepada Baznas.

Dengan cara ini, saban tahunnya terkumpul antara Rp 7 miliar hingga Rp 9 miliar sehingga bisa digunakan untuk kegiatan pengentasan kemiskinan dan kerentanan di Trenggalek.

Semua kegiatan dikelola secara transparan, profesional dan mudah diakses oleh warga Trenggalek.

Penggunaan dana di Baznas Trenggalek juga diaudit oleh auditor independen.

Pemerintah Kabupaten Trenggalek juga merekrut relawan yang sohor dengan sebutan Pasukan Pink yang bertugas melakukan verifikasi di lapangan.

Kerjanya adalah untuk memastikan apakah warga yang mengajukan bantuan benar-benar miskin atau tidak.

Program Gertak akhirnya menjadi rujukan dari berbagai kabupaten dan kota lintas provinsi agar bisa diterapkan di daerahnya masing-masing.

Gertak juga mendapat ganjaran penghargaan dari berbagai institusi nasional dan internasional (Detik.com, 17 Desember 2018).

 

Tinggalkan hedonisme, saatnya berkarya untuk kemaslahatan

Melihat gaya kehidupan Farsha yang dididik bak “sultan” oleh ayahnya, kesenangan dan kenikmatan akan materi seperti menjadi tujuan utama dalam hidupnya yang serba bergelimang harta.

Gaya hidup yang penuh kesenangan atau hedonisme bisa muncul dari dalam sendiri (internal) maupun dari luar (eksternal).

Collins Gem (1993: 97) memberi pengertian hedonisme adalah sebuah doktrin yang menyatakan bahwa kesenangan merupakan hal yang paling penting di dalam hidup.

Dengan kata lain, hedonisme merupakan suatu paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan hidup semata-mata.

Mencerna atau memaknai kehidupan Farsha yang anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang “tajir melintir” yang sejak muda diguyur harta – entah berasal dari gaji bapaknya atau hasil sogokkan – dengan perjalanan penuh perjuangan seperti Bupati Trenggalek Gus Ipin adalah sebuah pilihan.

Adakah ketika mati kita membawa benda

Membawa perhiasan, piring kristal atau alat cukur

Merancang peristirahatan terakhir dengan kasur empuk

Di temani lampu tidur yang berpendar tak menyilaukan

Mungkinkah di samping kubur kita

Digali kuburan untuk mobil

Lalu jika kita bosan bisa berjalan-jalan membanggakan diri

Kepada sanak, teman dan keluarga yang hanya memakai kafan

Sayangnya, untuk mencegah belatung memakan tubuh ini saja tak mampu

Apalagi untuk berwangi-wangi

Memikat wanita cantik penghuni kuburan tetangga

(Puisi “Bersolek” karya Ferry Irawan Kartasasmita, 2015).

(amt/ Artikel ini sudah dimuat di kompas.com, 5 Februari 2022)