Penelitian: Paracetamol di Sungai Citarum Lebih Tinggi 2 Kali Lipat dari Teluk Jakarta

  • Oleh : Fahmi

Rabu, 16/Feb/2022 16:34 WIB
Menjala ikan berganti menjala plastik di Citarum yang permukaannya tertutup polusi. Menjala ikan berganti menjala plastik di Citarum yang permukaannya tertutup polusi.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Paracetamol dan sejumlah limbah obat-obatan lainnya ditemukan di berbagai lokasi aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Khusus paracetamol, kadarnya bahkan dua kali lipat lebih tinggi dari yang didapati di Teluk Jakarta dalam penelitian berbeda. 

Melalui kajian yang ditempuh sejumlah peneliti dari Universitas York, Inggris, diketahui ada beragam zat aktif mencemari Sungai Citarum. 

Baca Juga:
KKP Tindak Kasus Tumpahan Aspal Mentah yang Cemari Perairan Nias

Selain paracetamol, terdapat nikotin, carbamazepine yang biasa digunakan sebagai obat epilepsi, serta metformin yang kerap dipakai sebagai obat diabetes. Ada pula limbah sejumlah obat antibiotik. 

Berdasarkan data dari 10 lokasi pengambilan sampel di aliran Sungai Citarum, sampel di dua lokasi menunjukkan bahwa kadar paracetamol mencapai 1630 nG/L dan 1590 nG/L. 

Baca Juga:
Wujudkan Lingkungan Bersih, Pemkot Bekasi Bersama Waste4change Gelar Clean Up Kali Bekasi

Jumlah ini jauh lebih tinggi ketimbang temuan paracetamol di Teluk Jakarta yang diungkap para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Universitas Brighton, Inggris, pada 2021 silam. 

Studi pendahuluan (preliminary study) yang diterbitkan di jurnal Marine Pollution Bulletin Juni 2021 lalu, menemukan kontaminasi paracetamol di Muara Angke mencapai 610 ng/L — konsentrasi tertinggi yang pernah ditemukan dalam air laut. 

Baca Juga:
Pencemaran Lingkungan Berbahaya, Empat Gubernur di Jawa Disomasi atas Polusi Mikroplastik di Sungai

Jika ditinjau dari angka rata-rata konsentrasi limbah obat-obatan yang terakumulasi—berdasarkan kajian Universitas York—limbah di Sungai Citarum memang jauh di bawah tingkat keparahan sungai di Lahore, Pakistan. 

Sungai Citarum mencapai 5460 ng/L, sedangkan Sungai Ravi di Lahore adalah yang terparah dengan 70.700 ng/L. 

Angka ini, sebagaimana dipaparkan penelitian ini, mencerminkan kenyataan bahwa pencemaran limbah obat-obatan atau farmaseutikal di berbagai sungai di dunia menimbulkan "ancaman terhadap lingkungan dan kesehatan dunia". 

Kajian ini meneliti sampel dari 1.052 lokasi di 104 negara. Hasilnya, sekitar 25% dari 258 sungai yang sampelnya diteliti mengandung "zat aktif obat-obatan" pada tingkatan yang diyakini tidak aman bagi organisme perairan. 

"Biasanya, yang terjadi adalah kita mengonsumsi zat kimia ini. Zat tersebut menghasilkan efek yang diinginkan kemudian meninggalkan tubuh kita," kata Dr John Wilkinson selaku ketua tim penelitian, kepada wartawan. 

"Yang kita ketahui kini adalah tempat pengolahan limbah air paling modern dan efisien sekalipun tidak sepenuhnya mampu mengurai zat-zat ini sebelum dibuang ke sungai atau danau," lanjutnya. 

Obat-obat yang paling sering ditemukan di lokasi-lokasi pengambilan sampel adalah carbamazepine yang biasa digunakan sebagai obat epilepsi serta metformin yang kerap dipakai sebagai obat diabetes. Tiga zat lainnya yang paling banyak didapati adalah kafein, nikotin, dan paracetamol. 

Di Afrika, artemisinin yang digunakan sebagai obat antimalaria, juga ditemukan dalam konsentrasi tinggi. 

"Kami bisa berkata bahwa [dampak keberadaan limbah farmaseutikal di sungai] kemungkinan besar negatif. Tapi harus dilakukan tes masing-masing zat dan saat ini kajian seperti itu relatif sedikit," ujar Dr Veronica Edmonds-Brown, ahli ekologi perairan dari Universitas Hertfordshire, kepada wartawan. 

"Kondisi ini bakal memburuk sebelum kita semakin menggunakan solusi farmakologi pada setiap penyakit, apakah itu fisik maupun mental," tambahnya. 

Laporan ini menyebutkan bahwa semakin banyak obat antibiotik di sungai dapat menyebabkan berkembangnya bakteri kebal antibiotik. Hal ini akan merusak efektivitas obat dan ujungnya menimbulkan "ancaman pada lingkungan dan kesehatan global". 

Sungai-sungai yang paling tercemar berada di negara dengan penduduk berpenghasilan rendah hingga menengah, seperti Pakistan, Bolivia, dan Ethiopia. Tak jarang sungai-sungai di sana dijadikan tempat pembuangan limbah bagi pabrik farmasi. 

"Kami telah menyaksikan sungai-sungai yang tercemar di Nigeria dan Afrika Selatan. Sungai-sungai tersebut punya konsentrasi limbah obat yang sangat tinggi dan hal ini pada dasarnya kembali ke fasilitas pengolahan air limbah yang kurang memadai," kata Dr Mohamed Abdallah, professor bidang pencemaran limbah di Universitas Birmingham, Inggris. 

"Ini paling mengkhawatirkan karena di sana terdapat populasi paling rentan dan kekurangan akses ke fasilitas kesehatan," imbuhnya. 

Ketika ditanya apa yang bisa dilakukan, ketua tim penelitian, Dr Wilkinson, punya pandangan skeptis. 

"Harus ada banyak orang yang lebih pintar dari saya untuk menangani masalah ini. Satu dari sedikit hal yang bisa berdampak saat ini adalah cara penggunaan obat-obatan yang lebih tepat," ujarnya. 

Artinya, akses antibiotik harus dipersulit dan pemberian dosisnya pun diperketat. 

Laporan penelitian ini dapat dibaca pada jurnal the Proceedings of the National Academy of Sciences.(fh/sumber:bbc)