Rusia Invasi Ukraina: Lebih 115.000 Anak-Anak dan Perempuan Tinggalkan Ukraina, `Saya Harap Ini Perjalanan Singkat, dan Kami Bisa Kembali`

  • Oleh : Redaksi

Senin, 28/Feb/2022 15:57 WIB
Perempuan dan anak-anak berbondong-bondong melalui perbatasan Ukraina ke Polandia, pada 26 Februari 2022. Foto: bbcindonesia.com. Perempuan dan anak-anak berbondong-bondong melalui perbatasan Ukraina ke Polandia, pada 26 Februari 2022. Foto: bbcindonesia.com.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Ratusan ribu orang Ukraina mengalir ke negara-negara tetangga untuk melarikan diri dari invasi Rusia.

Dalam tiga hari sejak invasi dimulai, lebih dari 115.000 orang telah menyeberang ke Polandia - beberapa bepergian selama lebih dari dua hari, yang lain bergabung dalam antrian sepanjang 15km di titik perbatasan.

Baca Juga:
Setelah Pidato di Singapura Terkait Perdamaian, Menhan Prabowo Terima Kunjungan Dubes Ukraina: Menurut Informasi Selang 5 Jam Kedubes Rusia Menyusul

Mereka yang melarikan diri sebagian besar adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Alasannya, semua pria Ukraina berusia 18 hingga 60 tahun diperintahkan untuk tetap tinggal dan berjuang - dalam beberapa kasus mereka terpisah dari keluarganya. 

Baca Juga:
Menhan Prabowo Beberkan 4 Pelajaran Penting dari Perang Rusia-Ukraina

Empat wartawan BBC menemui mereka di perbatasan.

'Saya berharap Barat membantu kami yang berjuang sendirian' 

Wartawan BBC News, Lucy Williamson, di Palanca, Moldova

Baca Juga:
Rusia Tuduh Pasukannya Diracuni Botulinum Oleh Ukraina

Dilihat dari perbatasan Moldova, Ukraina seperti sebuah negara kaum perempuan. 

Para ibu dan nenek-nenek, mendorong koper ke tempat yang aman, membawa anak-anak mereka ke tempat yang sama-sekali tak dikenal.

Salah-seorang diantaranya, Ana, tiba di titik penyeberangan Palanca setelah lebih dari 24 jam menunggu dalam antrian di sisi perbatasan Ukraina. 

Mobil kuning kecilnya diisi dengan tumpukan tas, dan cucu perempuannya yang berusia enam tahun bernyanyi sendiri di kursi belakang.

Ana dan putri tirinya berkendara langsung dari kota Odesa di wilayah selatan - sekitar 50km jauhnya dan saat ini kotanya menjadi target utama Rusia dalam perang.

Tapi senyuman tenang Ana luluh begitu dia mulai berbicara. Sambil menangis, dia menggambarkan bagaimana dia harus meninggalkan suaminya untuk membela negara mereka.

"Saya berharap negara-negara Barat akan membantu kita keluar dari situasi yang mengerikan ini," ujarnya.

"Karena saat ini kami sendirian menghadapi agresor Rusia."

Di sekelilingnya, sukarelawan lokal dari kota-kota dan desa-desa di Moldova menunggu untuk menawarkan tumpangan kepada orang-orang Ukraina yang tiba di sini dengan berjalan kaki.

Tapi, seperti Ana, banyak yang berdatangan ke Moldova hanya berpikir melarikan diri dari Ukraina, dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya - baik untuk negara mereka atau diri mereka sendiri.

'Saya harap ini hanya perjalanan singkat dan kami akan segera kembali'

Wartawan BBC News, Mark Lowen, di Przemysl, Polandia

Kereta malam dari Kiev, melalui kota Lviv, berhenti membawa para pengungsi baru Eropa. 

Mereka tiba di stasiun kereta api peninggalan abad ke-19 di Przemysl, yang sekarang menjadi pintu masuk utama perbatasan kedua negara.

"Kami membutuhkan waktu 52 jam untuk sampai ke sini," kata Kateryna Leontieva, yang melakukan perjalanan dari Kharkiv bersama putrinya yang masih remaja. 

Sambil memegang paspor Ukraina, dan membawa ransel berisi barang-barang, mereka melangkah keluar ke wilayah timur Polandia - dan selamat.

Ketika saya bertanya bagaimana rasanya berada di sini, Kateryna tak mampu menahan emosi. 

"Saya belum tahu - air mata mengalir begitu saja," katanya. 

"Saya tidak merasakan apa-apa - tetapi sekarang saya mulai sadar. Saya harap ini hanya perjalanan singkat dan kami akan segera kembali."

Di ruang tunggu, kami menemukan Irene dan dua anaknya yang masih kecil. Suaminya tetap tinggal di Lviv untuk mempertahankan tanah air mereka.

"Hanya perempuan dan anak-anak yang boleh pergi," katanya. "Para pria ingin tinggal, bertarung, dan mendonorkan darah. Mereka adalah pahlawan."

Bagaimana perasaannya tentang suaminya yang bertahan di Ukraina, saya bertanya?

"Saya takut," jawabnya, suaranya mulai pecah. "Kami percaya semuanya akan baik-baik saja. Dan kami berdoa untuk mereka."

'Saya khawatir anak-anak saya, tapi saya tidak bisa tinggalkan Ukraina' 

Wartawan BBC News, Nick Thorpe, di Beregsurany, Hungaria

Victoria berasal dari Irshava, di wilayah barat Ukraina.

"Saya datang ke Hungaria dengan dua putri saya. Saya meninggalkan mereka dengan kerabat yang menunggu di sini di perbatasan dan kembali ke suami saya," katanya seraya tertawa getir.

Apakah Anda takut untuk kembali?

"Sejujurnya, saya tidak takut. Saya hanya khawatir tentang anak-anak saya, itu saja. Saya melihat ada sesuatu hal yang tidak baik bagi Ukraina, tetapi saya tidak bisa meninggalkan negara saya. Kami harus bersikap patriotik."

Dan sikap perlawanannya berlanjut.

"Suami saya siap jika perlu untuk melindungi Ukraina untuk masa depan, untuk anak-anak kami. Saya tidak menginginkannya tetapi kami harus menyelamatkan negara kami.

"Dia akan pergi ke kantor militer karena dia telah menerima surat pemberitahuan."

Dua bersaudara meninggalkan orang tuanya di Ukraina 

Wartawan BBC News, Rob Cameron, di Vysne Slamence, Slovakia

Di desa kecil Velke Slamence, serombongan pengungsi terbaru terlihat berjalan dengan cepat.

Tatapan mata yang terlihat cemas mencari wajah yang mereka kenal, lalu diikuti dengan teriakan lega, pelukan, serta ciuman.

Untuk sesaat, pemandangan itu terasa menyenangkan

"Uzhhorod," ujar seorang gadis remaja, ketika saya bertanya dari mana asalnya, sebuah kota berpenduduk 100.000 orang di seberang perbatasan. 

Sebelum Perang Dunia Kedua, kota itu adalah bagian dari Cekoslowakia. Ada ikatan kekerabatan dan solidaritas di kawasan di kaki Pegunungan Carpathia ini sejak seabad silam.

Dia kemudian menggenggam tangan adiknya, bocah pria pemalu. Orang tua mereka tetap tinggal di Ukraina. Tidak jelas siapa yang mereka tunggu.

Tanya meninggalkan Kiev 20 tahun silam, dan saat ini tinggal bersama pasangannya di Stuttgart. 

Tapi di sinilah dia, berdiri di pinggir jalan, menunggu untuk menyelamatkan teman lama saat kota asal mereka dilanda kekacauan.

Jan Toth, penduduk desa di perbatasan itu, mengamati kehadiran para pengungsi.

"Mereka tidak membiarkan laki-laki pergi, Putin atau Zelensky," katanya kepada saya. "Ini adalah bencana." (dn/sumber: bbcindonesia.com)