Kamselindo Soroti ODOL dan Amnesti Dimensi pada Kendaraan Angkutan Barang

  • Oleh : Naomy

Rabu, 02/Mar/2022 10:22 WIB
Truk ODOL terjaring pemeriksaan di tol Jakarta-Cikampek Truk ODOL terjaring pemeriksaan di tol Jakarta-Cikampek

JAKARTA (BeritaTrans.com) -  Praktik over loading sudah berlangsung lama dan semakin parah tingkatannya karena teknologi kendaraan yang semakin maju, sehingga memiliki daya angkut yang lebih tinggi akan tetapi belum diatur pelaksanaannya. 

Praktik over loading ini masih tinggi dan diduga menjadi penyebab kerusakan jalan hingga Rp43 triliun. 

Baca Juga:
BPTJ Tingkatkan Pengawasan dan Penegakan Hukum Kendaraan ODOL

Menurut Ketua Kamselindo Kyatmaja Lookman, penanganan over loading dapat dilakukan melalui dua pendekatan: 

1.Mengurangi jumlah muatan sampai dengan batas yang ditentukan oleh buku uji;

Baca Juga:
Menhub Sebut Perlu Kolaborasi untuk Efisienkan Kinerja Angkutan Barang

2.Meningkatkan daya angkut kendaraan.
fokus kami lebih kepada pendekatan kedua, yaitu meningkatkan daya angkut kendaraan. daya angkut kendaraan dihitung berdasarkan jumlah berat yang diijinkan (JBI) dan/atau Jumlah berat kombinasi yang diijinkan (JBKI) dikurangi dengan berat kendaraan. 

"Praktik di lapangan JBI pada buku uji kendaraan ini bisa berbeda-beda tergantung kelas jalan yang ada di daerahnya. Perusahaan yang beralamat pada kabupaten/kota di jalan kelas I akan akan lebih memiliki keuntungan daripada perusahaan yang beralamat pada kelas jalan yang lebih rendah (Kelas Jalan II atau III)," katanya dalam sebuah tulisan panjang. 

Baca Juga:
Kecelakaan 2 Truk di Mukomuko Bengkulu Tewaskan 1 Pengemudi

Buku uji kendaraan akan mencantumkan daya angkut yang lebih rendah untuk perusahaan yang beralamat pada kelas jalan yang lebih rendah tersebut. 

"Jelas ini kurang adil dan merugikan. 
Kami berharap JBI pada buku uji bisa dibuat seragam di seluruh kabupaten/kota di Indonesia sesuai dengan daya angkut berdasarkan jumlah berat bruto (JBB) yang diterbitkan oleh APM dan telah disetujui oleh Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian sebelum dijual ke pasar," tegas dia. 

Keseragaman JBI ini dibutuhkan untuk mendapatkan kepastian hukum, agar semua kendaraan sejenis memiliki kapasitas angkut yang sama. 

Pada Peraturan Pemerintah 55 tentang Kendaraan Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), JBI ini dapat disamakan dengan Jumlah berat bruto (JBB) dan jumlah berat kombinasi bruto (JBKB). 

Penggunaan JBB dan JBKB untuk menentukan kapasitas angkut digunakan oleh negara tetangga kita Thailand.

"Penyesuaian kendaraan sesuai dengan JBB dan JBKB kami pandang tidak akan secara signifikan merusak jalan, menimbang tingginya angka over loading yang sudah terjadi pada saat ini," ungkap Kyatmaja.

Perhitungan meningkatkan JBI ke JBB, menggunakan simulasi perhitungan kendaraan 1.2.2JBI 24000 (Kelas 1) menjadi 26500 = peningkatan kapasitas angkut 10%.

Peningkatan 10% ini akan membuat kendaraan jenis 1.2.2 dengan beban total 26500 kebawah tidak over loading. Selain itu dengan acuan JBB maka memiliki daya angkut yang sama dengan Thailand. 

Daya angkut yang sama ini juga akan meningkatkan daya saing pengangkutan barang menjadi setara dengan negara tetangga kita Thailand.

Secara alternatif, pada Peraturan Pemerintah 55 tentang Kendaraan Pasal 57 ayat (1) butir e., bahwa JBI kendaraan ditentukan berdasarkan kelas jalan. 

"Hal ini menyebabkan ketidak-seragaman buku uji kendaraan. Fakta di lapangan untuk kendaraan jenis, tahun pembuatan, dan karoseri yang sama bisa memiliki daya angkut yang berbeda," ujarnya.

Tentunya hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum untuk kapasitas angkut kendaraan tersebut. 

Oleh karena itu diharap JBI bisa ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan berdasarkan jalan Kelas I untuk digunakan sebagai acuan dalam buku uji. Penggunaan kelas jalan yang berbeda dalam buku uji menyebabkan ketidakpastian hukum. 

Over dimensi

Kyatmaja juga menyoroyti praktik over dimensi di Indonesia juga merupakan masalah yang harus segera diselesaikan untuk menuju zero odol 2023.

Pelanggarannya juga sudah terjadi sejak lama. Program Normalisasi merupakan jalan keluar untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pelanggaran over dimensi. 

Normalisasi merupakan kegiatan penyesuaian fisik kendaraan pada ukuran yang terdapat pada buku uji. 

"Namun praktik di lapangan menunjukkan hal ini belum berdampak signifikan," ulasnya. 

Normalisasi memerlukan pemotongan kendaraan oleh karoseri dan membutuhkan waktu yang lama. Lamanya waktu pengurusan dikhawatirkan akan meyebabkan tidak tercapainya zero odol 2023.

Sementara itu praktik over dimensi terkait dengan tindak pidana sesuai dengan Undang Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 277, yang memuat sanksi pidana kurungan satu tahun atau denda sebesar Rp24.000.000. 

Penindakan over dimensi ini cukup meresahkan selain karoseri sebagai pelaku utama, juga pemilik kendaraan dan dealer. 

Tujuan penindakan hukum seyogyanya bukan untuk memasukkan pelaku dan stakeholder angkutan barang di jalan ke dalam penjara, akan tetapi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan yang ada.
Program Tax Amnesti telah dilakukan dua kali di Indonesia. 

"Program ini merupakan program yang cukup berhasil. Program digunakan oleh Pemerintah (Kementerian Keuangan) mengingat masih tingginya pelanggaran di bidang perpajakan. Jalan serupa bisa diambil oleh Kementerian Perhubungan berupa Amnesti dimensi/ Pemutihan ukuran kendaraan," ucapnya. 

Amnesti dimensi ini dapat digunakan untuk mempercepat kepatuhan dimensi kendaraan oleh perusahaan angkutan barang. 

Amnesti dimensi melibatkan perubahan ukuran pada buku uji menyesuaikan dengan ukuran aktual kendaraan. Dia tetap harus mengikuti kaidah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2012 tentang Kendaraan Pasal 54. 

Jika dimungkinkan ukuran dimensi ini dapat dilakukan deklarasi mandiri (self-declaration) seperti pada Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak. 

Setelah itu Sertifikasi Registrasi Uji Tipe (SRUT) dapat diterbitkan secara online. SRUT ini kemudian bisa digunakan untuk melakukan perubahan dimensi buku uji di tempat uji.

"Pemerintah diharapkan bisa membuat kebijakan untuk pemilik kendaraan yang berkomitmen dan sedang melakukan normalisasi dapat diberikan tenggang waktu untuk tidak dtindak menggunakan tindak pidana lalu lintas pada Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 277, terlebih jika Karoseri pembuat kendaraan bisa membantu untuk melakukan normalisasi kendaraan," ungkapnya.

Amnesti dimensi perlu dilakukan agar meningkatkan kepatuhan dan legalitas kendaraan. Dia juga bisa diberikan untuk kendaraan yang tidak bisa melakukan KIR (KEUR) dikarenakan tidak mempunyai SKRB dan SRUT (karena beli bekas atau pada saat pembelian awal kurang memerhatikan SKRB dan SRUT).

Amnesti dimensi bisa diberikan sampai batas maksimal ukuran Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2012 tentang Kendaraan Pasal 54. Contoh: truk tronton maksimal panjangnya 12 meter, maka semua truk tronton bisa melakukan KIR asalkan panjangnya tidak melebihi 12 meter, bila lebih, baru dilakukan normalisasi.

Kontrak angkut, perusahaan angkutan barang di jalan memiliki posisi tawar lebih rendah daripada pengguna jasa. 

Praktik overloading tidak terlepas dari kontribusi pengguna jasa. Namun tidak terdapat satupun pasal pada Undang-undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat menjerat pengguna jasa. 

"Hubungan perusahaan angkutan barang dan pengguna jasa merupakan hubungan keperdataan yang masuk kedalam ranah privat. Namun pada praktiknya hubungan ini dapat mengganggu kepentingan masyarakat secara luas karena menimbulkan praktik overloading," beber dia. 

Undang-undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada Pasal 166 ayat (3) butir a. Menyatakan dibutuhkan kontrak pengangkutan antara perusahaan angkutan umum dan pengguna jasa.

"Oleh karena itu kami harap Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan lanjutan dari Undang-undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," tambah Kyatmaja.

Ini untuk mengatur lebih lanjut kontrak angkut antara perusahaan angkutan barang di jalan dengan pengguna jasa agar dicantumkan pasal-pasal sebagai berikut:

1.Ketentuan untuk tidak melakukan overloading

2.Ketentuan untuk mengatur waktu bongkar-muat

3.Ketentuan untuk mengatur batasan pertanggungjawaban sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 475. (omy)