BPTJ Telah Kaji Rencana Pembangunan Kereta Gantung Puncak, Ini Hasilnya

  • Oleh : Naomy

Minggu, 20/Mar/2022 09:10 WIB
Suasana di kawasan Puncak (dok) Suasana di kawasan Puncak (dok)

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Kajian awal dalam bentuk Outline Business Case (OBC) menyangkut kemungkinan pembangunan Kereta Gantung untuk mengatasi kemacetan di kawasan Puncak sudah dilakukan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan pada tahun 2021. 

Namun demikian kajian tersebut tidak semata hanya mengenai Kereta Gantung saja, melainkan kajian secara komprehensif tentang bagaimana bentuk transportasi massal berbasis rel yang paling memungkinkan diterapkan di puncak.

Baca Juga:
BPTJ Pastikan Kesiapan SPM di Stasiun Pondok Rajeg Jelang Dioperasikan

Direktur Prasarana BPTJ Jumardi menyebutkan, karena pembangunan moda berbasis rel di Puncak  bertujuan mengurangi beban kemacetan lalulintas berbasis jalan tentu harus mempertimbangkan fungsi yang maksimal sebagai angkutan umum massal. 

"Selain itu tentu harus mempertimbangkan karakteristik demand serta faktor teknis yang paling memungkinkan, sehingga akan menarik perhatian investor untuk mendanai," urai Jumardi, Ahad (20/3/2022). 

Baca Juga:
BPTJ Akan Tambah Lintasan Skybridge Bojonggede Menuju Peron Arah Jakarta

Dengan pertimbangan tersebut hasil kajian merekomendasikan bentuk moda transportasi berbasis rel yang paling memungkinkan untuk dibangun di puncak adalah kombinasi antara Kereta AGT  (Automated Guideway Transit) dan Kereta Gantung (Cable Car).

Dia menjelaskan bahwa keseluruhan panjang lintasan angkutan berbasis rel tersebut menurut hasil kajian adalah 27,88 km dengan terbagi dalam dua segmen. 

Baca Juga:
MRT & LRT Jakarta Beroperasi hingga Jam 2 di Malam Tahun Baru

Segmen I antara Sentul City - Taman Safari sepanjang 23,40 km menggunakan moda Kereta AGT. 

"Jadi wisatawan yang akan ke Puncak sudah dapat mengakses moda transportasi massal berbasis rel mulai dari Sentul City, untuk menghindari kemacetan karena penggunaan kendaraan pribadi," ungkapnya.

Sedangkan segmen II adalah antara Taman Safari - Puncak sepanjang 4,48 km, menggunakan Kereta Gantung.

 "Kalau melihat para wisatawan yang ke Puncak itu biasanya membawa banyak barang, sebab mereka umumnya menginap 1-2 malam beserta kerabat atau teman. Ini lebih tepat dilayani dengan Kereta AGT yang memungkinkan membawa barang sementara Kereta Gantung tidak memungkinkan untuk itu," ujar Jumardi. 

Lintasan Segmen II yang menggunakan Kereta Gantung lebih melayani wisatawan yang sudah stay di Puncak yang menginginkan wisata lanjut ke wilayah sekitar Puncak.

Selain Kereta AGT memang terdapat jenis moda berbasis rel lain yang memiliki kemampuan mengangkut orang secara massal dengan barang bawaan, yaitu monorail dan LRT. 

Namun LRT jauh lebih membutuhkan ruang dan biaya yang lebih besar, sementara monorail memiliki keterbatasan pasokan karena secara global tidak cukup banyak pengguna teknologi ini sehingga jaminan keberlanjutan suku cadang juga kurang terjamin. 

"Untuk saat ini di dunia internasional Kereta AGT merupakan moda berbasis rel yang paling banyak digunakan untuk angkutan perkotaan sekaligus wisata. Teknologinya juga terus berkembang sehingga lebih terjamin kelangsungan pasokannya," kata Jumardi.

Membutuhkan Biaya Besar

Salah satu konsekuensi yang timbul jika harus membangun moda transportasi massal berbasis rel di Puncak dituturkannya, adalah biaya yang cukup besar. 

Kajian yang dilakukan BPTJ menyebut pembangunan moda berbasis rel menuju Kawasan Puncak dengan kombinasi Kereta AGT dan Kereta Gantung membutuhkan biaya tak kurang dari Rp7,31 triliun. 

Jumlah tersebut terbagi atas pembiayaan pembangunan Kereta AGT sebesar Rp6,32 triliun dan Kereta Gantung hampir Rp1 triliun. 

"Jumlah sebesar itu belum termasuk pembebasan lahan yang diperkirakan membutuhkan sebesar Rp693 miliar," imbuh Jumardi.

Hal itu karena bentuk kajian awal ini adalah Outline Business Case maka sudah muncul perhitungan awal kemungkinan proyek dapat melibatkan investasi swasta dengan skema KPBU.

Kajian kata dia, telah pula menghitung biaya operasional baik sarana maupun prasarana, potensi pendapatan utama (fare revenue) dan pendapatan tambahan (non fare revenue) serta kelayakan ekonomi, keuangan maupun nilai value for money. 

Hasilnya opsi melibatkan investasi swasta untuk pembangunan Kereta AGT dan Kereta Gantung di Puncak melalui Kerja sama Pemerintah - Badan Usaha (KPBU) paling memungkinkan apabila disertai dukungan  Pemerintah yang diperkuat. 

Bentuk dukungan Pemerintah yang diperkuat misalnya menyangkut pembebasan tanah, penyediaan tambahan prasarana pendukung, subsidi tarif hingga jaminan terhadap resiko terminasi perjanjian.

"Hasil kajian awal ini sudah kami sosialisasikan pekan kemarin kepada segenap stakeholder baik kelembagaan pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan penanganan permasalahan Kawasan Puncak, " kata Jumardi. 

Terkait bagaimana kelanjutan opsi pembangunan transportasi massal berbasis rel di Kawasan Puncak masih perlu proses pendalaman baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. 

Aspek yang perlu perhatian mendalam selain besarnya kebutuhan pembiayaan juga penanganan permasalahan dampak sosial dan koordinasi antar kelembagaan.

"Saya kira pembangunan transportasi massal berbasis rel hanya salah satu jenis pendekatan yang mungkin dilakukan. Untuk mengatasi masalah kemacetan Kawasan Puncak tetap perlu dikembangkan berbagai pendekatan lain," tutup Jumardi. (omy)