Uni Eropa Gagas Bikin Pasukan Gerak Cepat Berkekuatan 5.000 Tentara

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 23/Mar/2022 08:02 WIB


BRUSSELS (BeritaTrans.com) - Invasi Rusia ke Ukraina memicu Uni Eropa yang biasanya bergerak di bidang ekonomi untuk mewujudkan rencana pembentukan pasukan gerak cepat. Jerman tawarkan diri menyediakan pasukan inti.

Para menteri pertahanan dan menteri luar negeri Uni Eropa hari Senin (21/3) mengadopsi strategi keamanan baru yang disebut "Kompas Strategis."

Baca Juga:
Setelah Pidato di Singapura Terkait Perdamaian, Menhan Prabowo Terima Kunjungan Dubes Ukraina: Menurut Informasi Selang 5 Jam Kedubes Rusia Menyusul

Sebagai bagian dari strategi baru, Uni Eropa akan membentuk pasukan gerak cepat berkekuatan 5.000 tentara. Rencana ini sudah digagas sejak 2007, namun sejauh ini hanya ada di atas kertas. Sekarang, pasukan gerak cepat gabungan ini akan disiapkan untuk aktif tahun 2025.

Menteri Pertahanan Jerman Christina Lambrecht menjelang pertemuan kepada wartawan mengatakan, "militer Jerman dapat menawarkan pasukan inti."

Baca Juga:
Menhan Prabowo Beberkan 4 Pelajaran Penting dari Perang Rusia-Ukraina

"Langkah ini akan memberi Uni Eropa instrumen yang diperlukan untuk menjadi aktor pertahanan dan keamanan geopolitik yang nyata bersama dengan NATO," kata Menteri Luar Negeri Latvia Edgars Rinkevics di Twitter.

Mengapa UE perlu struktur keamanan?

Baca Juga:
Rusia Tuduh Pasukannya Diracuni Botulinum Oleh Ukraina

Uni Eropa biasanya bergerak di bidang integrasi ekonomi. Memang sejak lama sudah ada gagasan kerja sama sektor keamanan, namun selama ini tidak ditindaklanjuti. Rencana perombakan strategi keamanan muncul setelah penarikan pasukan AS dan NATO yang kacau dari Afghanistan, menyusul jatuhnya Kabul ke tangan Taliban pada 14 Agustus tahun lalu.

Meskipun secara teori konsep keamanan gabungan sudah ada dan menyediakan dua unit militer dengan sekitar 1.500 tentara untuk selalu siaga, namun pasukan itu belum pernah dikerahkan. Sekarang diputuskan untuk menambah kapasitas menjadi 5.000 tentara.

Menteri Pertahanan Austria Klaudia Tanner mengatakan: "Kita harus menjadi lebih cepat, khususnya karena kita menghadapi situasi yang menantang saat ini."

Bagaimana kebijakan pertahanan di UE dan Jerman saat ini?

Setelah Rusia menginvasi Ukraina 24 Februari lalu, Uni Eropa yang saat ini beranggotakan 27 negara terpaksa memikirkan kembali strategi pertahanannya. Selama ini, keamanan Un i Eropa bersandar pada kapasitas NATO dan militer masing-masing negara anggota, tanpa koordinasi bersama.

Uni Eropa telah berusaha untuk menciptakan kerjasama terstruktur permanen, yang dikenal dengan nama PESCO, namun dalam praktiknya banyak terjadi kesulitan koordinasi. Tidak semua negara anggota UE adalah anggota NATO, dan hampir seperempat anggota PESCO bukan anggota NATO.

Untuk menghadapi kenyataan baru perang di Eropa, Jerman telah mengumumkan akan meningkatkan anggaran militer sebesar 100 miliar euro setiap tahun untuk memperkuat Angkatan bersenjatanya, Bundeswehr. Ini menandai perubahan besar-besaran dalam kebijakan keamanan nasional Jerman pasca-Perang Dunia II.

Biden Kunjungi NATO

Presiden Amerika Serikat Joe Biden menambahkan Polandia sebagai negara yang akan dikunjunginya pekan ini, untuk pembicaraan mendesak dengan NATO dan sekutu Eropa, ketika pasukan Rusia terus melanjutkan invasi ke Ukraina.

Dia akan mengawali kunjungan ke Brussel kemudian ke Polandia pada Jumat (25/03) untuk bertemu dengan para pemimpin di sana, demikian pernyataan Sekretaris Pers Jen Psaki pada Minggu (20/03) malam.

Polandia adalah sekutu penting, lantaran telah menampung ribuan tentara AS dan menerima banyak pengungsi dari perang di Ukraina sekitar lebih dari dua juta orang.

Biden akan menuju ke Warsawa untuk melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Andrzej Duda yang dijadwalkan Sabtu (26/03) dengan agenda membahas upaya AS bersama sekutu menanggapi "krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia akibat dari perang Rusia yang tidak bisa dibenarkan dan tidak beralasan terhadap Ukraina,” kata Psaki.

Pada Senin (21/03), Biden akan membahas perang di Ukraina dengan para pemimpin Eropa. Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Italia Mario Draghi, dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson diperkirakan akan hadir dalam pertemuan tersebut, kata Gedung Putih, Minggu (20/03).

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken saat berada di Polandia beberapa waktu lalu menyempatkan diri menyebrang ke negara tetangga Ukraina untuk menunjukkan solidaritas bersama menteri luar negeri negara itu, Dmytro Kuleba.

Perjalanan Biden, termasuk bertemu dengan para pemimpin NATO pada Kamis (24/03) akan membahas upaya peningkatan pencegahan dan pertahanan blok itu sendiri untuk menghadapi Presiden Rusia Vladimir Putin.

Pertemuan itu dimaksudkan tidak hanya untuk menunjukkan "dukungan NATO kepada Ukraina, tetapi juga kesiapan kami untuk melindungi dan membela semua sekutu NATO,” kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan kepada CBS "Face the Nation” pada hari Minggu (20/03).

"Dan dengan mengirimkan pesan itu, kami mencegah eskalasi konflik menjadi perang penuh antara NATO dan Rusia,” kata Stoltenberg.

Anggota NATO garis depan di sayap timur aliansi juga meminta sistem pertahanan udara AS dan Inggris yang canggih untuk menjaga dari jenis serangan rudal dan udara yang dilakukan Rusia di Ukraina.

"Kita harus memperkuat sayap timur NATO kita. Kami telah membicarakan hal ini selama bertahun-tahun, tetapi sekarang saatnya untuk bertindak,” kata Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas kepada CNN.

Memperhatikan bahwa Rusia menembakkan rudal "dari jarak yang jauh sehingga mereka juga bisa mencapai Paris dari tempat mereka menembak sekarang,” Kallas mengatakan para pemimpin Eropa harus "memahami bahwa pertahanan ini adalah masalah kita bersama dan ini bukan diskusi teoretis, tetapi masalah dalam kehidupan nyata.”

Selain itu, Biden juga akan berpartisipasi dalam pertemuan puncak Dewan Eropa untuk membahas sanksi sekutu terhadap Rusia dan upaya kemanusiaan bagi jutaan orang Ukraina yang terlantar akibat serangan Rusia, kata Psaki.

Sumber: dw.com