indonesia Siapkan 2 Langkah Hukum Kasus Tumpahan Minyak Akibat Ledakan Kilang Montara di Perairan Timor

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 02/Apr/2022 22:08 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Pemerintah menyiapkan dua langkah hukum terkait kelanjutan peradilan kasus tumpahan minyak akibat ledakan kilang Montara yang mencemari perairan Timor pada 2009.

Diketahui tumpahan minyak milik perusahaan Thailand, PTTEP itu mencemari perairan Timor yang berdampak pada hajat kehidupan nelayan di 13 Kabupaten di Nusa Tenggara Timur.

Baca Juga:
Dampak Buruk UU Minerba dan UU Cipta Kerja Terhadap Lingkungan Kian Terasa

"Pertama adalah gugatan domestik melalui pengadilan Indonesia, dan yang kedua adalah melalui peradilan internasional, atau arbitrase internasional," ujar Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Cahyo R Muhzar dalam Forum Merdeka Barat 9, yang disiarkan langsung melalui akun Youtube FMB9_IKP, Jumat (1/4).

Cahyo menjelaskan, gugatan dalam negeri terhadap perusahaan eksplorasi asal Thailand itu akan dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Baca Juga:
Perizinan Penambangan Diambil Alih Pusat, Ganjar Sebut Itu Bagus: Usahanya cepat banget, tapi di daerah kami yang pusing

Sementara gugatan internasional yang dipimpin oleh Kementerian Hukum dan HAM sudah berlangsung dan dimenangkan oleh Indonesia pada 2021.

Proses hukum tersebut masih berproses dengan pengajuan banding dari PTTEP Australasia yang persidangannya akan digelar pada Juni 2021.

Proses hukum tersebut masih berproses dengan pengajuan banding dari PTTEP Australasia yang persidangannya akan digelar pada Juni 2022.

Adapun pemerintah secara tegas akan segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk payung hukum gugatan dalam negeri tersebut.

Cahyo menekankan, kemenangan gugatan class action yang dilakukan warga NTT sejatinya merupakan bukti admissibility test.

Dalam arti sebuah tes bahwa suatu perkara yang sudah terjadi selama beberapa waktu yang lama, masih admissible, masih dapat diterima.

"Maka kita sudah mencapai suatu kemenangan besar, artinya bahwa kasus ini masih bisa dihadirkan di pengadilan," ujarnya.

Dia juga menyebut masa kedaluwarsa kasus yang biasanya dihadirkan dan diterima Pengadilan Federal Australia di rentang tiga tahun sejak kasus terjadi.

Namun dalam kenyataannya, terang Cahyo, bukti bahwa ada kenyataan lingkungan rusak itu dibuktikan di pengadilan Australia di Sydney. Menurutnya, ini menjadi kemenangan besar yang sangat disayangkan jika tidak dikawal hingga tuntas.

"Karena sebetulnya pada saat itu sudah memasuki tahap penghitungan. Paling tidak kita punya satu modal bahwa kasus ini admissible untuk diajukan," ujarnya.

Cahyo juga menepis aksi hukum di peradilan internasional itu akan mengganggu hubungan bilateral RI dengan Australia. Sebab apapun keputusan yang diterbitkan pengadilan nanti, tentunya diambil berdasarkan bukti-bukti serta argumentasi hukum yang sama.

"Jadi kita nanti jangan terbawa oleh polemik, ini mengganggu hubungan Indonesia-Australia, tidak-tidak. Sebab ada contoh waktu kita sengketa di Mahkamah Internasional terkait dengan sengketa Pulau Sipadan Ligitan juga tidak ada hubungan yang rusak antara Indonesia dengan Malaysia," tegasnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Doheng mengatakan apa yang dilakukan pemerintah saat ini merupakan bentuk political will yang serius untuk rakyat Indonesia.

Ke depan, pihaknya berharap langkah ini disertai dengan soliditas seluruh elemen terkait, mulai dari Kementerian LHK, Kemenkumham, dan seluruh warga NTT.

"Solid untuk mendukung memenangkan class action oleh para nelayan di NTT. Nah ini kita dukung, apa yang yang dituntut oleh petani dari sekitar Rp5-6 triliun perkiraaannya," ujar Alue Doheng.

Seperti diketahui, PTTEP merupakan perusahaan yang dinyatakan bersalah dalam kasus tumpahan minyak Montara pada 2009. Tumpahan minyak telah membuat 13 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami kerusakan lingkungan. Para nelayan dan petani rumput laut kehilangan pekerjaannya.

Tumpahan minyak dengan volume lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor selama 74 hari. Tumpahan minyak itu juga berdampak hingga ke pesisir Indonesia, dalam hal ini perairan Timor.

Pada Maret 2021, gugatan class action dari 15 ribu lebih korban tumpahan minyak dimenangkan di Pengadilan Federal Australia. Gugatan itu menyatakan PTTEP sebagai pihak yang bertanggung jawab dan bersalah dalam kasus tumpahan minyak Montara. PTTEP mengajukan banding, sidang akan berlanjut pada Juni 2022.

Kegiatan FMB9 juga bisa diikuti secara langsung di kanal youtube FMB9ID_IKP. Nantikan update informasi akurat, data valid dengan narasumber tepercaya di FMB9ID_ (Twitter), FMB9.ID (Instagram), FMB9.ID (Facebook).

Nelayan Belum Terima Ganti Rugi

Gugatan class action 15 ribu lebih petani rumput laut dan nelayan NTT atas kasus tumpahan minyak  berhasil dimenangkan Pengadilan Federal Australia di Sydney pada Maret 2021 kemarin. Namun, nyatanya hingga kini para nelayan tak kunjung mendapatkan ganti rugi.

Kasus tumpahan minyak yang terjadi pada 2009 telah membuat kerusakan yang sangat signifikan pada lingkungan pantai dan laut di 13 kabupaten yang ada di Nusa Tenggara Timur. Akhirnya, para nelayan dan petani rumput laut kehilangan pekerjaannya.

Kini menurut Ketua Satgas Penanganan Kasus Tumpahan Minyak Montara, Purbaya Yudhi Sadewa, PTT Exploration and Production (PTTEP) yang dinyatakan bersalah dalam kasus ini sampai saat ini enggan membayar ganti rugi ke pengadilan.

Dia bilang dalam putusan pengadilan perusahaan diberikan dua opsi keputusan berupa membayar ganti rugi ataupun membuka ruang negosiasi dengan para petani korban tumpahan minyak Montara.

Namun, Purbaya mengaku dalam mediasi yang dilakukan perusahaan tidak melakukannya sepenuh hati dan terus-menerus berkelit untuk membayar ganti rugi kepada para petani rumput dan nelayan NTT.

"Kita mediasi itu, rupanya kalau orang berdosa males juga negosiasinya, muter-muter aja dia. Dia tahu, dia harus bayar-banyak. Padahal kalau bisa ngirit ya ngirit," ungkap Purbaya dalam diskusi virtual FMB 9, Jumat (1/4/2022).

"Dia pikir dia mau main-main dengan kita, dia pakai berbagai jalur lah. Namun dia salah, yang mau dimainkan Menko Maritim nggak bisa lah," tegasnya.

Luhut: Nggak Ada Kompromi

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah akan terus mengejar persoalan tumpahan minyak akibat ledakan Kilang minyak Montara milik perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP) yang terjadi pada 2009 lalu. Bahkan Luhut tak segan-segan meminta Pemerintah Australia untuk transparan mengenai kasus ini.

"Saya kira sikap kita tegas kita gak mau kompromi soal ini. Kesalahan dibuat oleh PTTEP dia harus bayar," kata Luhut dalam diskusi optimalisasi penyelesaian kasus Montara, Jumat (1/4/2022).

Dalam menuntaskan kasus ini, pemerintah berencana untuk mengajukan gugatan di dalam negeri maupun luar negeri. Pasalnya, dampak yang ditimbulkan dari kasus tumpahan minyak tersebut sampai saat ini masih dirasakan oleh masyarakat, terutama di Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Kupang yang tercemar akibat tumpahan tersebut.

"Jadi tugas saya sebagai Menteri dibayar oleh pajak rakyat. Saya harus melakukan tugas saya untuk membela kepentingan rakyat Indonesia. Betapa hancurnya rumput laut yang jadi mata pencaharian harus dihitung belum kerusakan tubuh manusia yang memakan ikan terkontaminasi. kita akan fight at all cost," ujar Luhut.

Adapun, Presiden Joko Widodo, kata Luhut juga telah menginstruksikan untuk penyelesaian kasus ini. Bahkan pemerintah juga telah menyiapkan peraturan presiden yang dapat menggugat PTTEP Australasia di dalam negeri.

Gugatan dalam negeri nantinya akan dipimpin langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan gugatan internasional akan dipimpin langsung oleh Kementerian Hukum dan HAM.

"Kelak jika Perpres ini keluar dalam rangka pembentukan task force Montara kami akan segera mengeksekusi hal hal tersebut di lapangan," ujarnya.

Sumber: cnnindonesia.com, detik.com dan cnbcindonesia.com.