Ini Sebab China Maju-Mundur Serbu Taiwan, Perkara Mikrocip hingga Ekonomi

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 16/Apr/2022 05:38 WIB
Foto:istimewa Foto:istimewa

Jakarta (BeritaTrans.com) -- Setelah Rusia memutuskan menginvasi Ukraina, Taiwan semakin waspada atas potensi China bakal menyerang pulau itu. Menurut Taiwan, China dapat memanfaatkan kekacauan ini untuk menginvasi mereka.

Beijing terus mengklaim Taipei sebagai bagian dari kedaulatannya. Negeri Tirai Bambu juga seringkali bersikap agresif, seperti mengirim pesawat dan kapal induk ke wilayah Taiwan.

Baca Juga:
Rekap Se-Indonesia Rampung, KPU Umumkan Pemenang Pemilu 2024

Akibat ancaman ini, Taiwan merilis pedoman pertahanan perang untuk warganya. Dalam panduan itu, militer Taiwan membeberkan sejumlah tips untuk berlindung kala perang, termasuk cara mencari bungker dan mempersiapkan peralatan gawat darurat.

Apa saja faktor yang bikin China seperti 'maju-mundur' untuk menyerbu Taiwan?

Baca Juga:
Tarawih Hari Pertama Ramadhan 1445 H di Mushola Alfajar Kota Kualasimpang

 

1. Status Taiwan Produsen Mikrocip Dunia

Baca Juga:
Semarakkan HUT Ke-67 Astra, FIFGROUP Gelar Kegiatan Donor Darah

Sebagaimana diberitakan Reuters, Taiwan memasok sebagian besar mikrocip dunia. Perusahaan Manufaktur Semikonduktor Taiwan (TSMC) bertanggung jawab atas 90 persen mikrocip dunia.

Keberadaan TSMC menjadi perebutan China dan Amerika Serikat. Bagi Washington, kemungkinan China menguasai TSMC bakal berdampak pada kemajuan teknologi militer dan teknologi AS.

Di kubu Beijing, bila negara itu memutuskan menginvasi Taiwan, tidak ada jaminan TSMC bakal dikuasai seacra utuh. Perusahaan itu bisa saja menjadi target pertempuran dan memutus pasokan suplai cip ke China.

Tak hanya itu, meski TSMC selamat dari gempuran, hampir pasti perusahaan tersebut diputus dari rantai pasokan global.

AS dan China berupaya melepas ketergantungan mereka atas mikrocip Taiwan ini. Washington sempat membujuk TSMC untuk membuka perusahaan manufaktur mikrocip di negara itu. AS juga siap mengeluarkan miliaran dolar untuk membangun industri cip ini.

Sementara itu, cip yang diproduksi Beijing masih tertinggal banyak dari Taiwan. Saking pentingnya cip ini bagi dunia, beberapa pakar menilai sektor tersebut merupakan 'tameng silikon' yang membuat China ragu melakukan invasi, pun memastikan dukungan AS.

"Kekhawatiran terbesar di Washington adalah kemungkinan Beijing menguasai kapasitas semikonduktor Taiwan," kata Analis Badan Intelijen Pusat AS, Martijn Rasser.

"Akan menjadi pukulan telak bagi ekonomi Amerika dan kemampuan militer AS di bidang platform (senjata)," kata Rasser.

Meski demikian, muncul penilaian mikrocip Taiwan tak cukup mencegah China untuk menginvasi pulau itu.

Menurut veteran Letnan Jenderal Korps Marinir AS, Wallace Gregson, masih dipertanyakan apakah industri mikrocip Taiwan ini dapat mencegah China serbu Taiwan.

Tak hanya itu, Presiden Xi Jinping sangat ingin membawa Taiwan ke dalam kendali Beijing.

"Dia [Xi] terlihat tak bisa berkompromi, apalagi mundur. Dia terikat dengan pencapaian itu," ujar Gregson.

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, juga memiliki pandangan yang sama.

"Xi Jinping berkomitmen tinggi menjadi pimpinan RRC satu-satunya yang berhasil mempersatukan Taiwan ke dalam RRC. Prestasi ini tak dapat dilakukan oleh dua pendahulunya yang legendaris, Mao Zedong dan Deng Xiaoping," tutur Rezasyah kala dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (13/4).

Selain itu, Rezasyah menilai China terus menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya.

"RRC senantiasa menganggap Taiwan sebagai propinsi yang nakal, dan kelak akan kembali ke pelukan Beijing, baik secara damai maupun perang," ujarnya lagi.

Meski demikian, China berani serbu Taiwan tentu dengan segala perhitungan. Di antaranya memastikan bahwa pasokan mikrocip untuk negaranya aman apabila Taiwan menyetop produksi cip tersebut.

 

2. Kepentingan Perekonomian China

Selain faktor produksi mikrocip, aspek perekonomian menjadi pertimbangan lain yang membuat China masih 'maju-mundur' menyerang Taiwan.

Profesor Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai China biasanya mementingkan ekonomi dalam mengambil suatu keputusan.

"China akan berpikir 1.000 kali untuk melakukan invasi ke Taiwan. Strategi China biasanya untuk melindungi kepentingan ekonominya. Selama jalan negosiasi masih bisa ditempuh, [China] akan melakukan jalan itu," ujar Yon saat diwawancara CNNIndonesia.com, Rabu (13/4).

"Invasi akan menjatuhkan citra China yang selama ini menentang pendekatan hard power dan tentu akan mendatangkan banyak kecaman dunia internasional," lanjutnya.

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, menilai China juga memiliki kepentingan perdagangan.

"Selama dia (China) masih menjadi pedagang dan merasa beruntung dari perdagangan yang dilakukan secara damai, tentunya China perhitungannya beda dari sebuah negara yang andalannya adalah sektor energi seperti Rusia. China itu jarang sekali melakukan tindakan-tindakan yang mengagetkan karena merasa nyaman untuk tetap berdagang," ujar Suzie kala dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (13/4).

Selain itu, Suzie menuturkan China bukanlah negara yang bakal menyerang terlebih dahulu.

"Kalau dilihat dari tabiat peperangannya, China itu jarang melakukan upaya penyerangan tanpa ada provokasi. Kalau dia diprovokasi, teritorinya dikaitkan, ada yang menyerang, tentu dia punya hak untuk menyerang balik," lanjutnya.(amt/sumber:cnnindonesia.com)