Di Side Event G20, Indonesia Angkat Isu Dekarbonasi Pelayaran

  • Oleh : Naomy

Jum'at, 28/Okt/2022 13:55 WIB
Side event G20 Side event G20

 

BALI (BeritaTrans.com) -  Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Arif Toha menjadi salah satu pembicara dalam acara G20 Side Event: International Conference on Shipping Decarbonization in Indonesia, yang diselenggarakan oleh Kemenko Bidang Maritim dan Investasi dan Otoritas Maritim Denmark, di Bali pada 27-28 Oktober 2022. 

Baca Juga:
Kemenhub Selesaikan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pelabuhan Pantoloan & Wani Pascagempa Bumi di Palu

Acara ini turut menghadirkan Director General of the Danish Maritime Authority, Andreas Nordseth dan dimoderatori oleh Asisten Deputi Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Ridha Yasser.

Dirjen Arif menyampaikan beberapa upaya pemerintah Indonesia yang telah dilakukan dalam mendukung dekarbonisasi pelabuhan dan bahan bakar rendah karbon untuk shipping dengan campuran e-amonia, hidrogen, dan biofuel, yang akan dimulai pada tahun 2036 .

Baca Juga:
Aplikasi Sehati Kini Layani Perizinan PB-UMKU

Indonesia terletak di lokasi yang strategis pada jalur perdagangan dunia di mana 90% perdagangan internasional dilakukan melalui laut, dan 40% di antaranya melewati perairan Indonesia yang berpotensi menimbulkan pencemaran air yang sangat tinggi dari kapal. 

Ada sekitar 1.241 pelabuhan di Indonesia yang aktif beroperasi dan berpotensi meningkatkan perekonomian yang berkelanjutan.

Baca Juga:
Pembangunan Sarpras Kenavigasian Disnav Benoa dengan Pembiayaan SBSN Sah Dimulai

"Kementerian Perhubungan terus mengoptimalkan pengembangan sektor transportasi laut yang berdaya saing, dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN), sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 432 Tahun 2017, saat ini terdapat 636 pelabuhan yang digunakan untuk melayani transportasi laut, 57 terminal yang merupakan bagian dari pelabuhan, dan 1.322 rencana lokasi pelabuhan," ujar Dirjen Arif.

Langkah-langkah wajib untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari pelayaran internasional telah dimulai sejak 1 Januari 2013, di antaranya semua kapal baru (di atas 400 gross ton) harus dirancang untuk mencapai Energy Efficiency Design Index (EEDI) di bawah patokan standar yang dipersyaratkan. 

Kemudian semua kapal wajib membawa dan menerapkan Ship Energy Efficiency Management Plan (SEEMP) untuk semua kapal dengan menggunakan Energy Efficiency Operational Indicator (EEOI) sebagai alat monitoring dan sebagai benchmarking.

Dirjen Arif menjelaskan,  terkait Gas Rumah Kaca, saat ini yang berlaku di IMO yaitu 2018 Initial IMO GHG Strategy, dengan target mengurangi emisi GRK sebesar 40% pada tahun 2030 dan 70% pada tahun 2050. IMO mengadopsi strategi awal pengurangan emisi GRK dari kapal, menetapkan visi yang menegaskan komitmen IMO untuk mengurangi emisi GRK dari pelayaran internasional dan menghapusnya secara bertahap.

"Sebagian negara menyatakan zero emission pada tahun 2050, namun terdapat beberapa negara juga yang menetapkan net zero emission pada tahun 2060 yaitu Indonesia, Rusia, China, Saudi Arabia, Ukraina, Sri Lanka, Nigeria dan Bahrain," ujarnya.

Dirjen Arif menegaskan bahwa Indonesia menggunakan bahan bakar rendah karbon untuk pelayaran dimulai pada tahun 2036 dengan campuran e-amonia, hydrogen dan biofuels.

Adapun upaya penurunan emisi GRK dalam rangka mencapai NZE 2060 yg saat ini dilakukan oleh subsektor transportasi laut adalah: penggunaan SBNP solarcell, melakukan efisiensi manajemen operasional pelabuhan yaitu dengan fasilitas Onshore Power Supply  (di Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, Balikpapan, Batam, Dumai, Cilacap, Banjarmasin, Kumai, Sampit, Benoa, Lembar, dan Kupang (21 Pelabuhan), melakukan modernisasi kapal penggunaan Bahan
Bakar Nabati (B30), melakukan konservasi energi di kapal dan pelabuhan, dan pengembangan ecoport melalui penggunaan EBT di pelabuhan (misal PLTS, LPJU solarcell).

"Selain itu Indonesia juga aktif menjalin kerja sama terkait dengan negara-negara lain dengan dukungan dari IMO Technical Cooperation Program, di antaranya Bluesolution, yang bertujuan dalam pengurangan emisi GRK melalui penggunaan teknologi," ungkapnya.

Perusahaan minyak nasional sendirir telah memulai produksi Low Sulfur Fuel Oil (LSFO) untuk bahan bakar armada Angkutan Laut Indonesia dan juga telah menyediakan LSFO untuk kegiatan pelayaran internasional di pelabuhan-pelabuhan besar Indonesia seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, Balikpapan, Batam dan Dumai. Selain itu Kilang Pertamina Internasional juga telah membuat inovasi dan produk baru yaitu LFSO dengan spesifikasi internasional dan lebih ramah lingkungan.

Dirjen Arif mengungkapkan, upaya yang dilakukan saat ini tidak luput dari tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam mewujudkan dekarbonisasi secara umum yaitu teknologi yang tersedia saat ini masih mahal.

"I mplementasi nya masih sulit secara teknologi dan kesediaan infrastruktur masih terbatas serta terbatasnya dasar hukum yang mengatur pengembangan teknologi," ungkapnya.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia dalam hal ini telah menyusun  sejumlah regulasi tentang penerapan Green Ship Strategies, yang meliputi: kewajiban penggunaan  bahan bakar rendah sulfur maksimal 0,50% m/m, kewajiban penggunaan scrubber untuk kapal dan menerapkan bahan bakar efisiensi energi mengurangi emisi karbon dioksida, peremajaan kapal mulai dari kapal milik negara, penggunaan alat bantu navigasi yang ramah lingkungan penggunaan energi matahari, dan kewajiban melaporkan konsumsi bahan bakar kapal untuk semua kapal berbendera Indonesia.

Berikut beberapa poin penting sebagai rencana mitigasi Dekarbonisasi oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut:

1 Rute Pendek dan Aman (Short Sea Shipping)
2 Penerapan Inaportnet dalam manajemen operasi kapal
3 Efisiensi Pengelolaan Operasional Pelabuhan, oleh:
- Sel surya AtoN
- Elektrifikasi Peralatan Bongkar Muat Pelabuhan
- Penggunaan sel surya dan lampu LED untuk fasilitas pelabuhan
4 Meningkatkan pemantauan Lingkungan Laut
5 Jasa Telekomunikasi Pelayaran (Pemberian Informasi Cuaca) melalui Vessel Traffic Service (VTS) dan Ship Reporting System (SRS)
6 Pengembangan Ecoport/pelabuhan hijau (green port) dengan penerapan Energi Terbarukan di pelabuhan
7 Pemeliharaan Kapal
8 Penerapan fasilitas listrik darat atau On Shore Power Supply (OPS)
9 Penggunaan bahan bakar rendah sulfur

"Efisiensi teknologi di sektor transportasi diproyeksikan 20-25% pada tahun 2060," tutupnya. (omy)