Ini Kesimpulan Hasil Investigasi KNKT dari Kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182

  • Oleh : Naomy

Jum'at, 11/Nov/2022 05:25 WIB
Pesawat Sriwijaya Air (dok) Pesawat Sriwijaya Air (dok)


JAKARTA (BeritaTrans.com) -- Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyimpulkan beberapa faktor yang berkontribusi dalam kecelakaan pesawat Sriwijaya Air dengan nomor registrasi PK-CLC yang telah diinvestigasi. 

Seperti diketahui, pesawat dengan nomor penerbangan SJ 182 rute Jakarta-Pontianak tersebut jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021. 

Baca Juga:
AirAsia Diskusi Keselamatan Penerbangan Bareng KNKT dan INACA

Kepala Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo menjelaskan, faktor yang berkontribusi dalam kecelakaan tersebut saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. 

"Faktor pertama yakni adanya tahapan perbaikan sistem autothrottle atau pengatur tenaga mesin pesawat yang telah dilakukan namun belum mencapai bagian mekanikal," ungkapnya di Jakarta, Kamis (10/11/2022). 

Baca Juga:
KNKT: Sepanjang 2023, Kecelakaan Moda Penerbangan Mendominasi

Bila perbaikan autothrottle bisa sampai ke mekanikal maka diprediksi tidak terjadi kecelakaan pada pesawat itu.

Faktor kontribusi kedua yaitu thrust lever atau tuas dorong kanan tidak mundur sesuai permintaan autopilot. 

Baca Juga:
KNKT: Transportasi Udara Sumbang Angka Kecelakaan Tertinggi yang Diinvestigasi

Hal tersebut terjadi karena hambatan pada sistem mekanikal sehingga tuas dorong kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadi asimetri. 

Ketiga yaitu keterlambatan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTSM), yang berfungsi menonaktifkan autothrottle pada saat asimetri terjadi. 

"Ini disebabkan karena flight spoiler memberikan nilai yang lebih rendah berakibat asimetri yang lebih besar," kata Nurcahyo. 

Faktor keempat yaitu kepercayaan pilot pada otomatisasi dan konfirmasinya bias dimungkinkan mengakibatkan kurangnya monitoring. 

"Ini sehingga tidak disadarinya adanya asimetri dan penyimpanan arah penerbangan," ucapnya. 

Kondisi tersebut menyebabkan adanya faktor kontribusi kelima yakni pesawat berbelok ke kiri dari yang seharusnya ke kanan. 

Sementara itu, kemudi justru miring ke kanan. Lalu dengan kurangnya monitoring menimbulkan asumsi pesawat berbelok ke kanan sehingga pemulihan yang dilakukan pilot tidak sesuai. 

Faktor kontribusi keenam yaitu belum adanya aturan dan panduan mengenai Upset Prevention and Recovery Training (UPRT) yang mempengaruhi proses pelatihan oleh maskapai. 

"Padahal training tersebut menurutnya dibutuhkan untuk menjamin kemampuan dan pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan kondisi upset secara efektif dan tepat waktu," imbuhnya. (omy)