Oleh : Naomy
JAKARTA (BeritaTrans.com) - Fenomena truk kelebihan dimensi dan muatan atau Over Dimension Overloading (ODOL) masih menjadi momok dalam sistem transportasi jalan raya di Indonesia.
Di balik kecelakaan demi kecelakaan yang terjadi, seperti yang baru-baru ini di Purworejo, tersimpan rangkaian persoalan kompleks yang mencerminkan betapa belum tertatanya sistem perlintasan logistik nasional.
Baca Juga:
Kemenhub Gelar Diskusi Bersama Asosiasi Pengemudi Angkutan Barang
Satu hal yang mengemuka yakni pembenahan ODOL tidak bisa lagi dilakukan sepotong-sepotong.
Diperlukan roadmap komprehensif dari hulu ke hilir, dengan payung hukum dan sistem kelembagaan yang saling terintegrasi.
Baca Juga:
Menhub Pahami Aspirasi Pengemudi Truk Terkait Kendaraan ODOL
Tanpa roadmap jelas, ODOL akan terus menjadi lingkaran setan yang merusak infrastruktur, membahayakan nyawa, dan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha.
Permasalahan ODOL bukan hanya tentang kendaraan yang kelebihan muatan atau dimensi.
Baca Juga:
Tangani ODOL, Ditjen Hubdat Dorong Integrasi Data dan Pemanfaatan WIM
Masalah ini menyentuh seluruh rantai kebijakan, mulai dari Revisi Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), Uji KIR dan Karoseri, Jembatan Timbang dan Weigh in Motion (WIM) hingga Sumber Daya Manusia (SDM) dan Penegakan Hukum.
Pakar Transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti Suripno sebelumnya mengungkapkan, kebijakan zero ODOL tidak bisa dirumuskan sepihak namun harus dilakukan secara komprehensif.
Dia mengatakan, dalam merumuskan kebijakan Zero ODOL harus ada terlebih dulu manajemen ODOL yang mengadopsi manajemen keselamatan.
"Jadi, perlu dilakukan kembali pembahasan-pembahasan dengan semua stakeholder terkait untuk menyamakan persepsi sekaligus merumuskan kesepakatan bersama," tutur mantan Direktur Keselamatan Transportasi Darat Kementerian Perhubungan (kemenhub).
Menurutnya, ada tiga rumusan yang diusulkan Institut Transportasi & Logistik Trisakti yang harus dibahas lagi terkait kebijakan Zero ODOL ini.
Pertama, mengenai pengertian manajemen keselamatan yang kemudian diadopsi dalam seluruh usaha dan pemangku kepentingan untuk meminimalkan pelanggaran ODOL.
Kedua, harus ada pembahasan mengenai dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan zero ODOL terhadap pelaku usaha dan masyarakat.
Ketiga, diperlukan badan koordinasi untuk pembinaan LLAJ termasuk ODOL.
"Jadi harus ada penataan ulang terkait kebijakan Zero ODOL ini yang dimulai dari hulunya," ujar dia.
Hingga kini dikatakannya, Kemenhub belum melakukan hal itu. Dia mencontohkan akses para pengemudi truk menuju Pelabuhan Tanjung Priok yang sangat sulit sehingga sangat merugikan, baik dalam hal waktu dan biaya operasionalnya.
"Karena itu, penanganannya harus dimulai dari hulu sampai pada operasionalnya," ungkapnya.
Beberapa waktu lalu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga meminta pemerintah mengajak semua stakeholder duduk bersama dalam membahas masalah truk ODOL.
Ketua Bidang Perhubungan dan Logistik Apindo Carmelita Hartoto mengatakan, berarti ada keseriusan pemerintah untuk membereskan fenomena yang telah terjadi puluhan tahun ini.
Dia juga berharap Apindo juga diundang karena selama ini pembahasan ODOL ini hanya dilakukan oleh Kemenhub saja dan belum pernah dibahas secara bersama dengan pihak terkait lainnya.
Apindo sudah memiliki roadmap yang akan disampaikan kepada pemerintah saat membahas ODOL nanti.
"Nanti, kita baru akan memaparkan roadmap yang sudah kita siapkan bersama akademisi jika ada pembahasan bersama dengan para stakeholder," ungkapnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Bidang Angkutan Darat dan Kereta Api Ian Sudiana mengatakan, zero ODOL sulit diterapkan tanpa adanya pembenahan di berbagai infrastruktur.
"Misalnya penambahan ruas jalan, meningkatkan jumlah jalan nasional, menaikkan kapasitas daya dukung jalan, dan memperbaiki moda transportasi alternatif," ujarnya.
Dalam kondisi idealnya, kalau kita memang benar-benar mau menerapkan Zero ODOL ini, pemerintah harus memperbaiki infrastrukturnya terlebih dahulu. Kalau itu tidak diperbaiki, Zero ODOL akan sulit untuk dilaksanakan.
Dia mengungkapkan, pemerintah harus menaruh perhatian pada penambahan ruas jalan, meningkatkan jumlah jalan nasional, menaikkan kapasitas daya dukung jalan, dan lain-lain agar akses logistik menjadi lebih baik.
Saat ini ditambahkan dia, masih terdapat masalah status dan fungsi jalan yang membuat perlintasan truk melewati jalan yang statusnya berbeda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).
"Makanya, agar bisa dilewati truk-truk yang berukuran besar, pemerintah perlu meningkatkan jumlah jalan-jalan nasional dan daya dukung jalannya," ucapnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menilai bahwa permasalahan ODOL bakal sulit untuk dibenahi tanpa roadmap yang jelas.
Pemerintah juga tidak pernah menyampaikan peta jalan yang konkrit kepada pihak terkait guna membenahi permasalahan yang ada.
"Dampaknya dari hulu ke hilir, seperti para pengusaha truk, para pemberi jasanya, para sopir truk, dan dampak terhadap perekonomian seperti biaya logistik yang semakin mahal dan inflasi serta penambahan jumlah truk di jalan. Apa itu semua sudah dipikirkan pemerintah solusinya bagaimana," kata Ketua Umum DPP Aptrindo, Gemilang Tarigan.
Dia juga meminta pemerintah segera meningkatkan daya dukung jalan atau muatan sumbu terberat (MST) di jalur-jalur logistik nasional. Dia mengungkapkan bahwa daya angkut kendaraan Indonesia sudah ketinggalan sehingga perlu untuk ditingkatkan.
Dia mengatakan, daya dukung jalan Indonesia merupakan yang paling buncit di antara negara dunia, termasuk di ASEAN.
"Misalnya saja di Eropa dimana MST telah mencapai 11 sampai 13 ton. Sedangkan rata-rata negara di Asia Tenggara juga sudah mencapai 11 ton," tuturnya.
Sementara di Indonesia daya dukung jalan terhadap angkutan masih 8 sampai 10 ton.
Gemilang bilang, MST yang kecil ini membuat angkutan logistik terpaksa menaikan muatan melebihi kapasitas agar tidak memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat terutama kelas bawah.
"Jadi memang MST kita masih di bawah sehingga perlu dinaikan. Kalau sudah naik baru diperketat pengawasannya, kalau naiknya sekarang ya ekonomi nya bakal menjerit," katanya.
Anggota Dewan Pakar Gerindra sekaligus praktisi transportasi dan logistik, Bambang Haryo Soekartono menilai perlu adanya pembenahan terhadap SDM dan perangkat di jembatan timbang.
Menurutnya, bila itu belum dilakukan maka akan sulit bagi pemerintah untuk menerapkan zero ODOL.
Dia mengungkapkan kalau jumlah SDM di jembatan timbang sangat kurang dan peralatannya juga banyak yang sudah rusak. Dari total 141 jembatan timbang di seluruh Indonesia, sampai dengan sekarang ini hanya 25 jembatan timbang yang dibuka.
Haryo menyampaikan, puluhan jembatan timbang itupun tidak beroperasi 24 jam tetapi hanya delapan jam saja.
Sebabnya, penambahan SDM dan perbaikan jembatan timbang harus dibenahi terlebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan zero ODOL.
"Kalau belum, dan tidak memiliki personil yang cukup, ya memang sulit kalau mau menerapkan Zero ODOL ini," imbuh dia.
Plt Ketua Subkomite Lalu Lintas Angkutan Jalan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan menyarankan pemerintah untuk segera mendirikan sekolah pengemudi khusus bagi sopir bus dan truk.
Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi kecelakaan lalu lintas yang sering kali disebabkan oleh kelalaian sopir yang tidak menguasai kendaraan dengan baik.
"Seharusnya ada sekolah pengemudi yang khusus mengajarkan keterampilan mengemudi dengan sistem yang lebih profesional dan terstruktur," kata Wildan.
Dia mengatakan, salah satu penyebab tingginya angka kecelakaan di jalan raya adalah kurangnya pendidikan dan pelatihan memadai bagi pengemudi truk dan bus.
Menurutnya, pengemudi truk dan bus di Indonesia seringkali mengandalkan pembelajaran otodidak dari sesama pengemudi, yang berisiko mengabaikan pemahaman tentang teknologi kendaraan yang mereka kendalikan.
Dia mengungkapkan bahwa Indonesia sudah lebih dari 20 tahun tidak memiliki sekolah mengemudi khusus untuk bus dan truk.
Padahal, sambung dia, kendaraan-kendaraan ini dilengkapi dengan teknologi yang semakin canggih seperti sistem rem hidrolik, pneumatik, dan bahkan kendaraan listrik.
KNKT menyarankan pemerintah untuk segera mengambil langkah dalam membentuk sekolah pengemudi yang sesuai dengan perkembangan teknologi otomotif yang ada, serta memperhatikan amanah Pasal 77 (ayat 4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Wildan mengingatkan pentingnya penegakan hukum terhadap truk ODOL dan juga edukasi yang lebih intensif bagi para pengemudi untuk menciptakan kondisi yang lebih aman di jalan raya.
"Dengan pendidikan yang lebih baik, pengemudi akan lebih memahami risiko yang mereka hadapi dan dapat mengoperasikan kendaraan dengan lebih aman," tutupnya. (omy)