AirNav Luncurkan Sistem Pemanduan Baru Fase I, Optimalkan Kualitas Ruang Udara Papua

  • Oleh : Naomy

Kamis, 15/Mei/2025 13:22 WIB
Peluncuran Sistem Pemanduan di Papua Peluncuran Sistem Pemanduan di Papua

JAYAPURA (BeritaTrans.com) – Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau AirNav Indonesia meluncurkan sistem pelayanan pemanduan pesawat udara terbaru, untuk mendongrak dan mengoptimalkan kualitas pelayanan pemanduan pesawat di wilayah ruang udara Papua, Kamis (15/5/2025). 

Upaya ini diyakini akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan layanan pemanduan pesawat di wilayah tersebut.

Baca Juga:
Penerbangan Sempat Terdampak Asap Tebal di Daerah Pergudangan Tangerang, Airnav: Kini Sudah Normal

Direktur Operasi AirNav Indonesia Setio Anggoro menyebutkan, tujuan dari peningkatan pelayanan ini adalah untuk menciptakan ruang udara nasional yang seamless, dengan menyeragamkan pelayanan dari pendekatan prosedural (non-surveillance) menjadi berbasis surveillance, yang didukung penerapan tekonologi yang sesuai dengan kebutuhan.

”Dampak yang ingin kita capai adalah meningkatnya kualitas keselamatan, kapasitas, dan efisiensi layanan penerbangan. Khususnya pada ruang udara Biak, Sorong, dan Timika, yang kini dikelola secara terpusat oleh Jayapura APP,” jelas Setio. 

Baca Juga:
Pergerakan Lalin Pesawat Diproyeksikan Naik 5%, AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Udara Selama Angkutan Lebaran

Peresmian Peningkatan Pelayanan Surveilance Wilayah Papua di Unit Jayapura (Fase I) yang digelar di Kantor AirNav Indonesia Cabang Sentani, Jayapura, tersebut, hadir Bupati Jayapura Yunus Wonda, Direktur Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan Syamsu Rizal yang didampingi pejabat Otoritas Bandar Udara Wilayah IX dan Wilayah X Papua, serta Komandan Pangkalan Udara TNI AU Silas Papare Marsekal Madya TNI Mokh Mukhson dan pejabat terkait lainnya.

Setio memaparkan, program ini merupakan bagian dari implementasi Roadmap Operasi 2022–2026, yang sejalan dengan amanat Rencana Investasi Jangka Panjang (RIJP) perusahaan, serta guna mendukung realisasi Global Air Navigation Plan (GANP) yang diinisiasi ICAO. 

Baca Juga:
Terima Kewenangan Baru dari Kemenhub, Dirut Airnav: Ini Wujud Kepercayan Pemerintah

Salah satu inisiatif utama dalam RIJP tersebut adalah Peningkatan Pelayanan Surveillance pada ruang udara lapis bawah (lower airspace). 

”Ini adalah bentuk komitmen kami untuk menghadirkan pelayanan navigasi penerbangan yang andal, modern, dan memenuhi standar keselamatan penerbangan, sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012,” ungkapnya.

Menurutnya, melalui pengimplementasian pelayanan surveillance tersebut, sedikitnya ada lima perubahan signifikan yang diharapkan akan diperoleh. 

Pertama adalah terjadinya peningkatan akurasi dalam proses pemanduan yang berdampak terhadap peningkatan kualitas keselamatan penerbangan. 

Karena melalui pelayanan berbasis surveillance memungkinkan pengawasan langsung terhadap posisi pesawat melalui radar atau ADS-B secara real-time, sehingga meningkatkan akurasi dalam pemantauan dan menjaga tingkat keselamatan penerbangan.

Dampak kedua adalah terjadinya efisiensi pengelolaan lalu lintas udara. 

”Karena dengan data yang tersedia secara langsung, petugas pengendali lalu lintas udara atau Air Traffic Controller (ATC) dapat mengelola pergerakan pesawat secara lebih dinamis dan responsif, baik dalam pengaturan jalur, ketinggian, maupun kecepatan pesawat,” ujar dia.

Kemudian dampak lain yang diharapkan adalah tereduksinya waktu dan biaya operasional penerbangan bagi maskapai. 

Kondisi tersebut sebagai akibat dari pengurangan waktu tunggu dan manuver holding, pesawat dapat mencapai tujuan lebih cepat, menghemat bahan bakar, dan mengurangi beban operasional maskapai.

Dampak lain adalah respons terhadap kondisi darurat yang lebih baik. ATC dapat segera mengambil tindakan mitigasi atau pencegahan karena memiliki data posisi pesawat yang akurat dan terkini. 

Tak kalah penting, menurut Setio, peningkatan pelayanan ini juga sejatinya akan mengoptimalisasikan kapasitas ruang udara. 

"Hal itu karena pelayanan berbasis surveillance memungkinkan ATC untuk memberikan separasi antar pesawat berbasis jarak, misalnya 5 NM atau sekitar 2–3 menit," tutur dia.

Sedangkan melalui pemanduan non-surveillance, dibutuhkan separasi waktu antara 10–15 menit. Ini berarti akan lebih banyak pesawat yang dapat dilayani di ruang udara yang sama.

"Ini sebuah kemajuan yang sangat penting untuk mengantisipasi pertumbuhan lalu lintas udara di masa mendatang,” imbuh Setio.

Peralihan pelayanan penerbangan di wilayah udara Papua, dari pendekatan non-surveillance menjadi surveillance ini, merupakan langkah besar dalam mewujudkan ruang udara Indonesia yang terintegrasi, efisien, dan aman. 

Khususnya di wilayah timur Indonesia yang memiliki peran strategis dalam konektivitas nasional. 

”Inisiatif ini tidak hanya mencerminkan peningkatan teknologi dan kapabilitas operasional kami, tetapi juga menjadi bentuk nyata komitmen AirNav dalam mendukung pengembangan ekonomi dan pariwisata di Papua dan sekitarnya,” tutupnya. (omy)