Pelabuhan Cirebon jadi Saksi Bangsawan Sumedang Bersama 24 Pengikut Naik Kapal Pergi Haji

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 26/Nov/2020 07:42 WIB
Pelabuhan Cirebon tempo dulu. Pelabuhan Cirebon tempo dulu.

CIREBON (BeritaTrana.com) - Guna menjadikan para ulama Sunda lebih mumpuni di bidang agama Islam, pada 1778 Bupati Cianjur Raden Enoh alias Aria Wiratanu VI dan Tumenggung Bogor sempat berencana mengirimkan beberapa ulama ke Mekkah.Namun upaya itu tak pernah terlaksana karena Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777—1780) sama sekali tak memberi izin. Itu jelas melukiskan suasana kekhawatiran dan kebijakan garis keras VOC terhadap isu kebangkitan Islam yang bisa menjadi ideologi perantara untuk melawan kolonialisme Barat, kata tsejarawan Henri  Chambert-Loir, sejak akhir 1600-an.

Sepetti dikutip historia.id, Loir menilai VOC sangat selektif memberikan izin kepada orang-orang muslim di Nusantara untuk pergi berhaji. Sebabnya: mereka khawatir orang-orang Nusantara terpengaruh ajaran perang sabil selama di tanah Arab tersebut.

Tak bisa dinafikan, jika pada awalnya hanya kaum priyayi Sunda (menak) yang bisa melaksanakan rukun Islam ke-5 itu. Selain tutur tinular (cerita lisan yang disampaikan secara turun temurun), memang ada beberapa catatan arsip yang mengisahkan perjalanan para menak Sunda ke tanah suci Makkah.

Sebut saja salah satunya adalah teks naskah Raden Demang Panji Nagara yang terdapat dalam katalogus van Ronkel.

Dikisahkan, tokoh utama dalam teks tersebut adalah seorang bangsawan Sumedang yang pergi menunaikan ibadah haji dengan diiringi 24 pengikutnya. Mereka berangkat dari Sumedang pada 27 Syawal 1268 (14 Agustus 1852) menuju Cirebon melalui Desa Tomo.

Dari Pelabuhan Cirebon, rombongan Raden Demang Panji Nagara lantas berlabuh ke Singapura melalui Muntok dan Riau.

Dari negeri jajahan Inggris itu, mereka lalu menumpang sebuah kapal Arab yang mengangkut sekitar 250 jemaah haji.

Dalam perjalanan menuju Jeddah, rombongan haji terlebih dahulu singgah di Malaka, Pulau Penang, Aceh, Alfiah, Kalikut, Kaliceri (India) dan Hudaidah (suatu kawasan di Laut Merah). Mereka baru sampai di Pelabuhan Jedah pada 10 Jumadilakhir 1269 (21 Maret 1853).

“Perjalanan itu memakan waktu tujuh bulan, tetapi bagian terbesar dihabiskan di berbagai persinggahan itu,” ungkap Loir.

Radeng Demang dan rombongan kemudian tinggal di Makkah selama 23 hari. Mereka kemudian berziarah ke Madinah yang ditempuh selama 15 hari dengan berkendaraan onta yang disewa dari orang-orang Badawi.

“Adapun aturannya itu jemaah-jemaah mesti keluar di dalam satu orang 11 pasmat (uang ringgit Spanyol) buat menyewa onta,” ungkap Raden Demang Panji Nagara seperti termaktub dalam buku yang ditulis Loir.

Tak lama di Madinah, rombongan orang-orang Sunda tersebut kembali ke Makkah dan bermukim di sana selama empat bulan. Pada 8-13 Zulhijah, mereka pun menunaikan ibadah haji.

Setelah selesai menunaikan ibadah haji dan bermukim lagi selama delapan bulan di kota suci, rombongan Raden Demang meninggalkan Makkah pada 7 Syaban 1270 (5 Mei 1854).

Begitu sampai di Pelabuhan Jeddah, mereka tidak langsung berlayar namun bermukim lagi di sana selama tiga minggu. Keberangkatan pulang ke rumah baru terlaksana pada 27 Syaban 1270 (25 Mei 1854) dengan menumpang sebuah kapal Arab yang menampung sekira 450 penumpang.

Kepulangan ke Pulau Jawa melewati rute Hudaidah, Mukha, Alfiah, Pulau Penang, Singapura dan Riau. Dari Riau, mereka mengganti kapal menuju Pulau Jawa dan sampai di Pelabuhan Cirebon pada 21 Syafar 1270 (13 November 1854).

Akhirnya dengan selamat, rombongan bangsawan Sumedang itu sampai ke rumah pada 3 Rabiulawal 1271 (24 November 1854).

Namun Loir mengeritik kisah yang ditulis Raden Demang itu mengandung beberapa hal membingungkan. Kendati sang empu cerita meminati detil praktis dan keakuratan angka, namun dia seringkali salah menyebut hari dan jam. Misalnya: Raden Demang kerap memakai tiga ungkapan berbeda (jam pukul 4 malam Isnin, pukul 4 hari Isnin dan pukul 4 malam) untuk jam 4 sore.

Kota Pelabuhan

Kota Cirebon sudah menjadi tujuan perdagangan dan jasa sejak lama. Hanya perlu sepuluh tahun setelah merdeka, untuk bisa menjadi kota berkembang. Yang kemudian menanggalkan status gemente menjadi kota besar. Pemaparan yang ditulis oleh Kepala Daerah Kota-Besar Bandung oleh RH Enofil, juga didukung J Mustofa. Yang ketika itu menjabat anggota DPRDS Kota-Besar Tjirebon.

Bahkan ketika itu sudah dirumuskan sebuah konektivitas dalam pengangkutan barang. Yang digadang-gadang menjadi penghubung pantura-priangan. Melalui jalur Kota Cirebon-Kadipaten melalui daerah Sumedang dengan daerah Priangan, yaitu Kota Bandung.

Yang menarik, dalam Lembaran Perajaan HUT ke-50 Kota Besar Tjirebon, disebutkan pula bahwa ketika itu sektor pariwisata sebetulnya sudah menggeliat. Meski baru sekadar ziarah. Dua tujuan utamanya ialah Makam Sunan Gunung Jati dan tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di keraton Cirebon.

Kemajuan Kota Besar Tjirebon ini juga diikuti dengan perubahan di kota pelabuhan lainnya, seperti Semarang dan Jakarta. Di usia ke-50 tahun, penduduk Karesidenan Cirebon mencapai 3,5 juta jiwa. Sedangkan Kota Besar Tjirebon berpenduduk 180 ribu.

Penghasilan bea cukai rata-rata Rp30 juta/bulan. Termasuk cukai tembakau. Sementara aktivitas ekspor impor menjadi lima besar kontributor utama perekonomian. Veem-Veem-bedrijf dan bank-bank sepanjang daerah pelabuhan adalam merupakan sektor-sekotr yang menguasai basis-basis ekonomi daerah.

Deretan toko-toko yang beraneka warna juga sudah hadir dan menjadi daya tarik, khususnya di sepanjang jalan Pasar Pagi, Karanggetas, Jagabayan, Pasuketan, Lemahwungkuk, Pasar Balong dan sebagainya. Sementara di Jl Pekalipan dan Pasar Kanoman dibanjiri toko-toko ikan asin.

Dapat disimpulkan perkembangan Kota Besar Tjirebon tidak lepas dari akses transportasi baik darat dan laut. 

sumber historia.id dan radarcirebon.com.