Oleh : Bondan
JAKARTA (BeritaTrans.com) - Pada awal abad ke-20, Thomas Edison menemukan sebuah baterai dengan kemampuan unik menghasilkan hidrogen. Sekarang, 120 tahun kemudian, baterai itu baru menjadi populer.
Para pejalan kaki di jalanan West Orange, New Jersey, terkaget-kaget saat sebuah mobil listrik melesat melewati mereka.
Baca Juga:
Suhu Panas Bikin Lemah, Kenali Jenis-Jenis Baterai Mobil Listrik
Mobil itu menderu di atas jalanan berkerikil. Dari luar, tampak ruang interiornya lapang, yang cukup mengejutkan bagi sebagian orang.
Ia melaju dua kali lebih cepat dari mobil-mobil konvensional yang disalipnya, meninggalkan debu-debu beterbangan di permukaan jalan.
Baca Juga:
Calon Mobil Listrik Sejuta Umat Tiba di Indonesia, Lebih Baru dan Berkelas dari Wuling Air EV
Kuda-kuda yang menarik kereta di jalanan itu mungkin merasa terganggu dengan kepulan debu tadi.
Adegan ini terjadi di awal tahun 1900-an, dan sang pengendara mobil adalah Thomas Edison. Mobil listrik bukan hal baru di wilayah itu, tapi sebagian besar masih mengandalkan baterai timbal-asam yang berat dan tidak praktis.
Baca Juga:
Ultra Fast Charging, Stasiun Pengisi Daya Mobil Listrik Hadir di Plaza IndonesiaI
Edison melengkapi mobilnya dengan sejenis baterai baru yang, ia harap, suatu saat nanti bisa dipakai sebagai bahan bakar kendaraan di seluruh negeri: baterai nikel-besi.
Ia membangun temuannya dari hasil kerja penemu Swedia, Ernst Waldemar Jungner, yang pertama kali mematenkan baterai nikel-besi pada 1899. Edison menyempurnakan baterai itu untuk digunakan di mobil.
Edison mengklaim baterai nikel-besi sangat tangguh, dan bisa diisi dua kali lebih cepat daripada baterai timbal-asam.
Dia bahkan membuat kesepakatan dengan Ford Motors untuk memproduksi kendaraan listrik yang diyakini akan lebih efisien ini.
Memang, masih ada beberapa masalah dengan penggunaan baterai nikel-besi. Ukurannya lebih besar dari baterai timbal-asam yang lebih umum digunakan, dan harganya lebih mahal.
Juga, ketika diisi, baterai ini akan melepaskan hidrogen, yang dianggap mengganggu dan bisa berbahaya.
Sayang, pada saat Edison berhasil membuat prototipe yang lebih baik, mobil-mobil listrik mulai tergantikan oleh mobil berbahan bakar fosil yang dapat menempuh jarak lebih jauh sebelum harus diisi ulang.
Kesepakatan yang dibuatnya dengan Ford Motors berantakan, meski baterai Edison terus digunakan di beberapa hal khusus, seperti untuk sistem persinyalan kereta api, yang tak masalah dengan ukuran besarnya.
Lebih dari seabad kemudian, para insinyur menemukan kembali nilai baterai nikel-besi, yang mereka sebut sebagai berlian yang masih kasar.
Sekarang, baterai ini diteliti sebagai jawaban dari tantangan panjang pencarian sumber energi terbarukan: sebuah alternatif dari sumber energi alami yang sifatnya terputus-putus seperti angin dan matahari.
Hidrogen, produk sampingan yang dulu dianggap membahayakan, justru bisa menjadi salah satu hal paling berguna tentang baterai ini.
Mari kita percepat kisah ini ke 2010. Sebuah tim riset dari Delft University of Technology di Belanda menemukan penggunaan baterai nikel-besi berdasarkan hidrogen yang diproduksinya.
Saat listrik melewati baterai kala diisi ulang, ia mengalami reaksi kimia yang melepaskan hidrogen dan oksigen. Tim tersebut menemukan bahwa reaksi ini mirip dengan proses yang dipakai untuk memisahkan hidrogen dari air, yang dikenal sebagai elektrolisis.
"Bagi saya, proses kimianya sama," kata Fokko Mulder, pemimpin tim riset Delft University.
Reaksi pemisahan air ini merupakan salah satu cara memproduksi hidrogen menjadi bahan bakar — bahan bakar yang sepenuhnya bersih, bila energi yang dipakai untuk menciptakan reaksi kimia tersebut juga energi bersih.
Mulder dan timnya tahu bahwa elektrode dalam baterai nikel-besi mampu memisahkan diri dari air, namun mereka terkejut saat mendapati elektroda tersebut memiliki energi lebih tinggi daripada sebelum hidrogen diproduksi.
Dengan kata lain, baterai ini akan bekerja dengan lebih baik bila digunakan sebagai elektrolisis juga.
Mereka juga terkejut melihat seberapa baik elektrode di baterai ini menahan elektrolisis, yang dapat membebani dan merusak baterai tradisional pada umumnya.
"Dan, tentu saja, kami cukup puas karena efisiensi energinya tampak bagus," ujar Mulder, mengacu pada level 80-90%.
Mulder menyebut penemuan ini "battolyser", dan mereka berharap temuan mereka bisa memecahkan dua tantangan utama energi terbarukan: penyimpanan energi dan produksi bahan bakar bersih.
"Anda akan mendengar diskusi tentang baterai di satu sisi, dan hidrogen di sisi lain," ujar Mulder. "Selalu ada semacam persaingan di antara keduanya, tapi pada dasarnya Anda membutuhkan keduanya."
Salah satu tantangan terbesar sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari adalah tak dapat diprediksi dan terbatas waktu.
Dengan tenaga surya, misalnya, Anda harus memiliki simpanan daya yang diproduksi selama siang hari dan musim panas, tapi pada malam hari dan musim dingin, pasokannya menyusut.
Baterai konvensional, seperti yang berbahan litium, dapat menyimpan energi dalam jangka pendek. Tapi saat mereka terisi penuh, mereka harus melepaskan kelebihannya atau mereka menjadi terlalu panas dan rusak.
Battolyser nikel-besi, di sisi lain, akan tetap stabil saat terisi penuh, dan di titik itu ia beralih membuat hidrogen.
"Baterai nikel-besi tangguh, mampu bertahan dari pengisian yang kurang atau berlebihan lebih baik dari baterai lain," kata John Barton, rekan peneliti di Sekolah Teknik Mesin, Listrik dan Manufaktur, Universitas Loughborough di Inggris, yang juga meneliti battolyser.
"Dengan produksi hidrogen, battolysermampu menambah simpanan daya selama berhari-hari bahkan saat pergantian musim."
Battolyser adalah salah satu cara untuk menyeimbangkan kurva suplai dan permintaan dari sumber energi terbarukan seperti angin dan surya. Foto: BBCIndonesia.com.
Selain memproduksi hidrogen, baterai nikel-besi juga mempunyai sifat berguna lainnya. Yang utama, ia sangat mudah dirawat. Baterai ini juga awet, seperti yang telah dibuktikan oleh Edison dengan mobil listriknya. Beberapa bahkan bisa bertahan hingga 40 tahun.
Logam yang dibutuhkan untuk membuat baterai — nikel dan besi — juga lebih umum dari, katakanlah, kobalt yang digunakan untuk membuat baterai konvensional.
Ini berarti, battolyser dapat membantu membuat energi terbarukan lebih menguntungkan.
Seperti industri lainnya, harga energi terbarukan berfluktuasi berdasarkan penawaran dan permintaan. Pada hari-hari yang cerah, bisa jadi ada banyak energi surya yang menyebabkan surplus dan penurunan harga jual. Battolyser dapat membuat kurva lebih simbang.
"Saat harga listrik naik, Anda bisa melepaskan baterai. Namun saat harga listrik rendah, Anda bisa mengisi daya baterai dan membuat hidrogen," ujar Mulder.
Dalam hal ini, battolyser tidak sendiri. Elektrolisis alkali tradisional yang digabungkan dengan baterai juga bisa melakukan fungsi yang sama, dan jamak digunakan di industri penghasil hidrogen.
Dan meski hidrogen adalah produk langsung dari battolyser, sejumlah zat berguna lainnya dapat dihasilkan dari baterai tersebut, seperti amonia atau metanol, yang lebih mudah disimpan dan dipindahkan.
Saat ini battolyser terbesar yang ada memiliki daya 15kW/15kWh, memiliki kapasitas baterai yang cukup besar dan simpanan hidrogen untuk memberi daya pada 1,5 rumah tangga.
Battolyser yang lebih besar dengan daya 30kW/30kWh terdapat di pembangkit listrik Magnum di Eemshaven, Belanda, yang menyediakan daya cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tersebut.
Setelah menjalani pengujian ketat di sana, battolyser akan diproduksi lebih banyak dan didistribusikan pada produsen energi terbarukan, seperti pembangkit tenaga surya dan angin.
Pada akhirnya, battolyser diharapkan mampu mencapai daya skala gigawatt — atau setara dengan daya yang dihasilkan sekitar 400 turbin angin.
Barton juga melihat peranan battolyseryang lebih kecil, yang bisa dipakai untuk menyediakan energi bagi komunitas yang hidup di wilayah terpencil dan tak punya jaringan listrik utama.
Laboratorium Thomas Edison di New Jersey adalah tempat kelahiran berbagai penemuannya. Foto: BBCIndonesia.com.
Fakta bahwa elektroda battolyser terbuat dari logam yang cukup umum dan murah membuat semuanya mungkin lebih mudah. Tak seperti litium, nikel dan besi tak membutuhkan banyak air saat ditambang. Kedua logam ini juga tak dihubung-hubungkan dengan kerusakan lingkungan.
Tetap saja, Mulder dan Barton melihat akan ada kesulitan dalam hal efisiensi dan kapasitas.
"Battolyser sangat butuh peningkatan kapasitas daya sebagai baterai, atau pengurangan resistensi internal," kata Barton. Semakin tinggi resistansi internal, maka semakin rendah efisiensi sebuah baterai.
Meningkatkan kedua hal itu adalah sesuatu yang sedang dikerjakan oleh tim Mulder.
Sebagian besar potensi battolysersesungguhnya tersembunyi di depan mata selama ini, sejak Thomas Edison pertama kali bereksperimen dengan baterai nikel-besi pada pergantian abad ke-20.
Edison mungkin salah karena meyakini baterainya akan mampu menggantikan kendaraan lain di jalanan. Tapi baterai nikel-besi mungkin memiliki peran besar dalam menggantikan bahan bakar fosil, dengan membantu mempercepat transisi menuju energi terbarukan. (BBCIndonesia.com)