Boeing 737 Max Bermasalah Lagi, Masihkah Layak Diterbangkan?

  • Oleh : Redaksi

Senin, 08/Mar/2021 00:03 WIB


BOEING 737 Max telah mengudara lagi. Menyusul keputusan Otoritas Penerbangan Amerika Serikat (FAA) otoritas penerbangan Eropa, Inggris, Kanada, Brasil, Australia dan Arab Saudi ikut mengizinkan pesawat itu beroperasi lagi.

China belum memberikan izin terbang kembali pesawat Boeing 737 Max dengan mempertimbangkan masih adanya masalah keamanan utama.

Wakil kepala regulator penerbangan negara China, Dong Zhiyi pada Senin (1/3/2021) mengatakan China belum dapat mengikuti beberapa negara lain yang telah mengizinkan pesawat Boeing 737 terbang lagi.

Melansir Al Jazeera pada Senin (1/3/2021), Dong Zhiyi mengatakan bahwa China masih akan melakukan peninjauan akhir terhadap pesawat Boeing 737 Max, setelah masalah ditanganin sepenuhnya.

Dong Zhiyi mengatakan dalam konferensi pers di Beijing bahwa pihak berwenang Cihna telah "berkomunikasi sepenuhnya" dengan Boeing dan Adminstrasi Penerbangan Federal.

China adalah pasar penting bagi pesawat Boeing dan Max. Namun, China adalah negara pertama yang memberlakukan larangan penerbangan pesawat seri tersebut.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia akan mengizinkan Boeing 737 Max terbang kembali setelah melalui sejumlah tahapan termasuk dikeluarkannya izin untuk kembali beroperasi oleh regulator penerbangan sipil Amerika Serikat, Federal Aviation Administration, (FAA).

Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati mengatakan hal itu ketika ditanya kapan pesawat Boeing jenis itu dapat terbang kembali, setelah diizinkan di Brasil.

Pesawat Boeing 737 Max dilarang terbang di seluruh dunia sejak Maret 2019, menyusul dua kecelakaan mematikan yang menewaskan 346 orang di Indonesia dan Ethiopia.

"Indonesia akan mengizinkan B737 Max terbang kembali setelah FAA mengeluarkan Return to Service (izin operasi kembali, RTS) dan operator Indonesia mengerjakan perintah kelaikan terbang, Airworthiness Directives, (AD) atau modifikasi terkait MCAS," kata Adita, 10 Desember 2020.

"Selain itu juga sudah melaksanakan pelatihan pilot dan simulator terkait modifikasi tersebut," tambahnya.

2 Kasus Pesawat Boeing 737 Max Mati Mesin 

Di tengah sejumlah negara telah mengizinkan Boeing 737 Max kembali terbang, terjadi setidaknya dua kali kasus mesin pesawat tersebut saat melayani penerbangan.

American Airlines Co, Jumat (5/3), mengatakan bahwa penerbangan Boeing 737 MAX menuju Bandara Internasional Newark Liberty New Jersey sempat dalam keadaan darurat setelah kapten mematikan satu mesinnya. Tindakan itu dilakukan karena kemungkinan adanya masalah mekanis.

Meski demikian, maskapai itu mengatakan penerbangan 2555 Amerika dari Miami dengan 95 penumpang dan enam awak mendarat dengan selamat di Newark tanpa insiden.

Reuters melaporkan masalah yang mungkin terjadi pada penerbangan itu terkait dengan tekanan oli mesin atau indikator volume dan tidak terkait dengan sistem MCAS. Maskapai mengatakan dua kecelakaan fatal 737 MAX pada 2018 dan 2019 -yang mendorong pesawat dilarang terbang selama 20 bulan- diduga berkaitan dengan sistem itu.

Boeing Co mengatakan telah mengetahui hal tersebut dan Administrasi Penerbangan Federal (FAA) mengatakan akan menyelidikinya.

American Airlines adalah maskapai penerbangan AS pertama yang melanjutkan penerbangan 737 MAX mulai akhir tahun lalu, menyusul persetujuan FAA untuk pembaruan keselamatan Boeing.

Sebeluknya maskapai penerbangan Air Canada merilis  Boeing 737-8 MAX yang sedang dalam perjalanan dari Arizona menuju ke Montreal dengan tiga awak di dalamnya, mengalami masalah mesin yang memaksa pilot mengalihkan pesawat ke Tucson, Arizona, demikian pernyataan maskapai itu dalam pernyataan tertulis hari Jumat (25/12).

Tak lama setelah lepas landas, pilot menerima “indikasi mesin” dan “memutuskan untuk mematikan satu mesin,” ujar seorang juru bicara Air Canada.

Insiden itu terjadi pada hari Selasa (22/12/2020).

Situs berita penerbangan Belgia, Aviation24.be melaporkan awak pesawat menerima pesan adanya tekanan rendah hidrolik mesin kiri dan menyatakan keadaan darurat PAN PAN sebelum mengalihkan pesawat.

“Pesawat modern itu dirancang untuk beroperasi dengan satu mesin dan awak kami telah dilatih untuk operasi semacam itu,” tambah pernyataan Air Canada.

Kekhawatiran

Munculnya dua kasus itu mendorong kita untuk mengingat kembali pengakuan mantan orang dalam perusahaan pesawat terbang Boeing, yang menyampaikan kekhawatiran baru soal keselamatan 737 Max, setelah tak dioperasikan menyusul dua kecelakaan fatal, salah satunya di Indonesia. Dua kecelakaan ini menewaskan 346 orang.

Berbicara kepada BBC, mantan manajer produksi Boeing 737 di Seattle, Amerika Serikat Ed Pierson, meyakini masalah yang ada terkait dengan "kemungkinan cacat pada pesawat yang tidak diselidiki secara menyeluruh".

Pierson mengaitkannya dengan kondisi produksi di fasilitas pembuatan 737 ketika itu, yang ia gambarkan "pesawat dibuat terlalu cepat dan beban kerja staf terlalu tinggi".

"Saya khawatir bahwa ada potensi cacat di pesawat yang terkait dengan proses ketika pesawat diproduksi dan saya meyakini cacat-cacat ini berpotensi menyebabkan tragedi di masa depan," kata Pierson.

"Itulah sebabnya saya mendorong agar ada investigasi di fasilitas pembuatan [pesawat]," tambahnya.

Ia mengatakan semua peringatan yang ia keluarkan sebelum kecelakaan Boeing 737 Max milik Lion Air dan kecelakaan pesawat dengan model serupa yang dioperasikan oleh Ethiopian Airlines, yang terkait dengan tentang kualitas produksi "telah menjadi kenyataan".

Ia menyatakan "ada banyak pertanyaan yang belum terjawab".

Boeing sudah membantah kaitan antara dua kecelakaan fatal dan kondisi di fasilitas pembuatan pesawat.

Dituding Kongkalikong dengan FAA, Boeing Tak Tepat Uji Pilot

Sebelumnya pejabat Boeing dinilai  “secara tidak tepat” menguji pilot selama usaha sertifikasi ulang setelah dua pesawat Boeing 737 MAX yang jatuh dan menewaskan 346 orang, demikian menurut sebuah laporan kongres panjang yang dirilis hari Jumat (18/12/2020).

Laporan dari Staf Fraksi Republik di Komite Perdagangan Senat mengatakan, pengetesan sistem keselamatan kunci dari MCAS yang terkait dengan kejatuhan pesawat 737 MAX ke itu bertentangan dengan protokol yang benar.

Komite menyimpulkan FAA dan pejabat Boeing “telah menetapkan hasil sebelumnya guna mempertegas asumsi faktor manusia terkait dengan waktu reaksi pilot. Tampaknya dalam hal ini, FAA dan Boeing berusaha menutup-nutupi informasi penting yang mungkin menjadi penyebab tragedi jatuhnya Boeing 737 MAX.”

Laporan itu mengutip keterangan pelapor rahasia (whistleblower) yang menuduh pejabat Boeing mendorong pilot penguji untuk “ingat, dan langsung ke sistem kendali pada kokpit (pickle switch),” sebelum latihan yang menyebabkan reaksi pilot dalam hitungan 4 detik, sementara pilot lainnya dalam uji terpisah bereaksi selama 16 detik.

Keterangan ini diperkuat selama wawancara staf FAA, demikian ditambahkan oleh komite.

Berbagai laporan memperoleh temuan Boeing gagal dalam mempertimbangkan bagaimana pilot merespons secara memadai pada situasi darurat di kokpit dalam pengembangan 737 MAX.

Sementara kegagalan Boeing sendiri yang mengarah ke kecelakaan 737 Max telah diselidiki secara menyeluruh dan didokumentasikan dengan baik, laporan Senat baru adalah salah satu pandangan paling spesifik terhadap masalah di dalam regulator yang seharusnya menjaga perusahaan tetap terkendali.

"Temuan kami meresahkan," ungkap Senator Roger Wicker, yang mengetuai komite dalam sebuah pernyataan.

"Laporan tersebut merinci sejumlah contoh signifikan penyimpangan dalam pengawasan keselamatan penerbangan dan kepemimpinan yang gagal di FAA. Jelas bahwa badan tersebut membutuhkan pengawasan yang konsisten untuk memastikan pekerjaan mereka untuk melindungi publik yang terbang dilaksanakan sepenuhnya dan benar," jelasnya.

Dalam sebuah pernyataan, FAA mengatakan bahwa pihaknya "dengan hati-hati meninjau dokumen yang diakui Komite berisi sejumlah tuduhan yang tidak berdasar."

"Bekerja sama dengan regulator internasional lainnya, FAA melakukan peninjauan menyeluruh dan disengaja terhadap 737 MAX," lanjut pernyataan FAA.

"Kami yakin bahwa masalah keselamatan yang berperan dalam kecelakaan tragis yang melibatkan Lion Air 610 dan Ethiopian Airlines 302 telah ditangani melalui perubahan desain yang diperlukan dan disetujui secara independen oleh FAA dan mitranya."

Boeing mengatakan dalam pernyataan yang telah disiapkan bahwa pihaknya "menganggap serius temuan Komite tersebut dan akan terus meninjau laporan tersebut secara penuh."

"Boeing berkomitmen untuk meningkatkan keselamatan penerbangan, memperkuat budaya keselamatan kami, dan membangun kembali kepercayaan dengan pelanggan kami, regulator, dan masyarakat penerbangan," tulis perusahaan itu.

"Kami mengetahui laporan Komite dan telah menggunakan banyak referensi di masa lalu untuk meningkatkan praktik dan pengawasan kami," kata juru bicara Southwest Airlines dalam sebuah pernyataan.

"Semua pesawat yang berlaku menjalani inspeksi visual, dan Southwest menyelesaikan inspeksi fisik, dari ujung ke ujung, pada masing-masing pesawat yang dimiliki sebelum Januari 2020 - sepenuhnya memenuhi permintaan FAA," lanjut pernyataan Southwest.

"Tindakan kami tidak berasal dari dugaan masalah keselamatan dengan pesawat, tetapi merupakan upaya untuk merekonsiliasi dan melakukan validasi catatan dan perbaikan sebelumnya." Perusahaan tidak memiliki "perubahan" pada rencananya untuk mengembalikan 737 Max ke layanan pada kuartal pertama tahun depan.

737 Max terburu-buru melalui pengembangannya, sehingga Boeing dapat mengimbangi saingannya Airbus yang secara mengejutkan mengumumkan pesawat yang lebih hemat bahan bakar pada 2011. Alih-alih mengembangkan pesawat baru dari awal, Boeing memodifikasi 737 NG dengan yang lebih besar dan mesin yang lebih hemat bahan bakar.

Penempatan mesin tersebut membuat pesawat rentan terhadap "kemacetan" (stall) dalam situasi lepas landas tertentu, sehingga Boeing melengkapi pesawat dengan perangkat lunak yang secara otomatis akan menurunkan hidung pesawat untuk mencegah hal ini terjadi.

Boeing tidak memberi tahu regulator atau pelanggan tentang perangkat lunak tersebut, dalam upaya untuk mengurangi pelatihan penerbangan yang mahal. Hal ini membuat pilot Lion Air 610 pada 2018 dan Ethiopian Airlines 302 pada 2019 harus berjuang, dan akhirnya kalah, perangkat lunak yang mereka tidak tahu malah berfungsi melawan mereka.

Perangkat lunak tersebut, yang dikenal sebagai Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), adalah fokus utama dari pengujian sertifikasi ulang setelah kasus dua kecelakaan tersebut, terutama dalam simulator yang dimaksudkan untuk membuat ulang kondisi tabrakan.

Masalahnya, secara umum, yang ditemukan Komite Perdagangan adalah bahwa proses pengujian ini sarat dengan masalahnya sendiri. Beberapa penyelidik FAA meninggalkan tes lebih awal, sementara yang lain dilakukan di simulator yang tidak dilengkapi dengan perangkat lunak yang sama yang menghancurkan penerbangan 737 Max, yang berarti hasilnya tidak berarti.

Dalam satu tes FAA tertentu yang dilakukan pada simulator yang tepat, pelapor mengatakan pejabat Boeing hadir dan memberi tahu pilot uji kapan harus menekan tombol yang mematikan MCAS.

Ketika tindakan ini dilaporkan oleh pelapor, mereka sering diabaikan atau dibalas, menurut laporan itu.

Larang Terbang Selamanya!

Sebelumnya Ralph Nader, pengacara sekaligus aktivis perlindungan konsumen terkemukan di Amerika Serikat, menegaskan  pesawat jenis Boeing 737 Max harus dilarang terbang selamanya atau secara permanen karena memiliki cacat desain,

Nader, seperti diwartakan Bloomberg pekan lalu, mengatakan mesin berukuran besar yang terpasang pada sayap-sayap Boeing 737 Max memiliki cacat secara desain dan karenanya akan sangat membahayakan jika dioperasikan kembali.

"Boeing 737 Max harus dilarang terbang. Ini bukan masalah peranti lunak. Ini soal cacat desain struktural: mesin-mesinnya terlalu besar untuk badan pesawat yang tradisional," kata Nader dalam sebuah diskusi bertajuk keselamatan penerbangan di Washington DC, AS.

Nader mengatakan Boeing 737 Max sebenarnya adalah pesawat dari tahun 1960an yang diberi mesin baru, bukannya pesawat baru yang didesain benar-benar dari nol oleh rakasasa penerbangan asal AS tersebut.

Mesin-mesin baru yang lebih besar itu - yang dipasang lebih tinggi ketimbang pada varian lawas Boeing 737 - mengubah cara pesawat tersebut terbang dalam kondisi tertetu.

Alhasil Boeing harus meng-install sistem penerbangan otomatis pada 737 Max. Tetapi cacat pada sistem komputer tersebut justru menyebabkan dua kecelakaan beruntun di Indonesia dan Ethiophia baru-baru ini dan menyebabkan 346 orang tewas. Salah satu korban tewas adalah cucu Nader sendiri.

Boeing Didenda Rp34,97 Triliun

Boeing setuju membayar denda USD 2,5 miliar atau Rp 34,97 triliun (Rp13.990) setelah mencapai kesepakatan dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) atas dua kecelakaan pesawat 737 Max yang terlibat dalam dua kecelakaan pesawat yang merenggut 346 nyawa.

Jaksa penuntut menyatakan Boeing dengan sengaja “menyesatkan” the Federal Aviation Administration (FAA) untuk evaluasi keselamatan pesawat. Boeing mengakui dua pilot teknis penerbangan 737 Max “menyesatkan”   FAA tentang kemampuan sistem kontrol penerbangan di pesawat, atau perangkat lunak yang kemudian terlibat dalam dua kecelakaan itu.

Adapun denda Boeing tersebut terdiri dari denda pidana USD 243,6 juta, USD 500 juta untuk anggota keluarga korban kecelakaan, dan USD 1,77 mliar untuk pelanggan maskapai.

Perusahaan mengatakan sudah memperhitungkan sebagian besar biaya tersebut pada kuartal sebelumnya. Pihaknya berharap tarik dana USD 743,6 juta berasal dari pendapatan kuartal IV 2020 untuk menutupi sisanya.

"Kecelakaan tragis Lion Air JT 610 dan penerbangan Ethiiopian Airlines mengungkap perilaku curang dan menipu karyawan, salah satu produsen pesawat komersial terkemuka dunia. Karyawan Boeing memilih jalur keuntungan dari pada keterusterangan dengan menyembunyikan informasi material dari FAA mengenai pengoperasian pesawat 737 Max dan terlibat dalam upaya untuk menutupi penipuan mereka,” ujar Penjabat Asisten Jaksa Agung David P.Burs dari Divisi Kriminal Departemen Kehakiman, seperti dilansir dari CNBC, ditulis Minggu, (10/1/2021).

Kecelakaan tersebut menjerumuskan Boeing ke dalam krisis terburuknya yang telah merugikan sekitar USD 20 miliar. Selain itu memicu larangan terbang di seluruh dunia atas pesawat terlarisnya tersebut selama hampir dua tahun. Kecelakaan tersebut juga mendorong berbagai penyelidikan kepada Boeing.

Dua investigasi kongres yang memberatkan setelah kecelakaan menemukan penyimpangan manajemen, desain, dan peraturan dalam pengembangan dan sertifikasi 737 Max. Hal ini menyebabkan undang-undang baru yang disahkan tahun lalu untuk mereformasi sertifikat pesawat, dan memberikan kontrol lebih besar untuk proses ke FAA.

Pengacara yang mewakili anggota keluarga korban di Ethiopian Airlines nomor penerbangan 302 menyatakan mereka berniat untuk melanjutkan gugatan mereka terhadap Boeing.

"Perjanjian ini termasuk dana penerima korban kecelakaan, tidak ada hubungannya dengan proses pengadilan perdata terhadap Boeing, yang kami rencanakan untuk dituntut sepenuhnya untuk memastikan keluarga menerima keadilan yang layak mereka terima,” ujar dia.