Perkara Tragedi Tumpahan Minyak akibat Pipa Pertamina Patah Terkena Jangkar Kapal MV Ever Judger Masih di Tingkat Banding

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 08/Apr/2021 09:31 WIB


Samarinda (BeritaTrans.com) - Tragedi tumpahan minyak dan kebakaran di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, sudah tiga tahun berlalu sejak 31 Maret 2018.

Peristiwa itu dipicu pipa bawah laut milik PT Pertamina (Persero) bergeser hingga patah karena tarikan jangkar Kapal MV Ever Judger bermuatan 74.000 ton batu bara yang melintas di areal itu.

Baca Juga:
Kantongi Kontrak Rp 740,15 Miliar, Kapal PIS Siap Berlayar di 26 Rute Internasional

Jangkar kapal dengan bobot 82.000 ton itu, menyeret  pipa hingga bergeser 120 meter dari titik awal. Seketika tumpahan minyak memenuhi lautan.

Sebab, pipa itu sedang ada aliri minyak mentah yang dipompa dari Terminal lawe-lawe, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) menuju Kilang Balikpapan.

Baca Juga:
KNKT dan KLHK Investigasi Kebakaran Kapal MT Kristin di NTB

Total minyak yang tumpah pada kejadian itu ditaksir mencapai 40.000 barrel dengan areal lautan yang tercemar sekitar 7.000 hektar dari panjang pantai di sisi Balikpapan dan PPU sekitar 60 kilometer, menurut laporan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sementara hasil analisis citra satelit oleh Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) pada 1 April 2018, luasan lautan yang tercemar mencapai 12.987,2 hektar.

Baca Juga:
Demi Keselamatan dan Keamanan Pelayaran, Kemenhub Verifikasi Rekomendasi DTT Pertamina di Muara Karang

Peristiwa itu menewaskan lima orang, terdiri dari ABK Kapal MV Ever Judger karena tersambar api. 

Selain ABK, ada juga nelayan yang memancing diduga terjebak saat api membesar dan tak bisa menyelematkan diri.

Dampak pascakejadian, nelayan yang berada di pesisir Balikpapan dan PPU tak bisa melaut.

Seekor pesut juga ditemukan mati tubuh berlumur minyak.

Polda Kaltim menetapkan dua tersangka atas peristiwa tersebut yakni nahkoda Kapal MV Ever Judger dan petugas kontrol pipa PT Pertamina di area Teluk Balikpapan. Keduanya dianggap lalai saat menjalankan tugas.

Gugatan warga sipil

Satu bulan setelah kejadian, Koalisi Masyarakat Peduli Tumpahan Minyak (Kompak) mengajukan gugatan warga sipil (citizen lawsuit) di Pengadilan Negeri Balikappan.

Gugatan itu ditujukan ke Gubernur Kaltim, Wali Kota Balikpapan, Bupati PPU, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Perhubungan dan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP).

Enam tergugat itu, menurut Kompak, lalai dalam melaksanakan kewajiban hukumnya dan bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Sejumlah tuntutan Kompak disampaikan dalam gugatan tersebut.

Pada, Selasa (18/8/2020), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan mengabulkan sebagian tuntutan Kompak.

Seperti meminta Gubernur Kaltim, melanjutkan penyusunan Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) serta memastikan alokasi wilayah tangkap bagi nelayan tradisional.

Kemudian, hakim juga mengabulkan tuntatan perda mengenai sistem informasi lingkungan hidup yang mencakup sistem peringatan dini yang dibuat Gubernur Kaltim, Wali Kota Balikpapan dan Bupati PPU.

 

Pemkab PPU hanya sedang menyusun Perda tersebut jauh sebelum putusan sehingga hakim meminta untuk melanjutkan.

Selain itu, hakim juga memerintahkan Menteri LHK menerbitkan Permen tentang sistem informasi lingkungan hidup sebagai peringatan dini jika ada potensi ancaman dan peraturan tentang penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan fungsi lingkungan hidup.

Selain Menteri LHK, hakim juga memerintahkan Menteri Perhubungan (menhub) untuk menyusun prosedur penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut atau protap tier 3.

Lakukan banding ke Pengadilan Tinggi Kaltim

Tak puas karena hanya sebagian tuntutan dikabulkan, para penggugat Kompak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kaltim, pada 2 September 2020.

Salah satu penggugat, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang menilai hal-hal yang dikabulkan majelis hakim tidak jadi tuntutan pokok, hanya berkaitan dengan pembentukan kebijakan berupa peraturan perundang-undangan.

“Yang sebenarnya itu menjadi kewajiban dan kewenangan para tergugat. Jadi tanpa putusan pengadilan pun, mestinya semua yang diperintahkan majelis hakim itu, dilaksanakan karena itu tugas mereka sebagai pejabat,” ungkap Rupang kepada Kompas.com, Rabu (7/4/2021).

Justru, hal yang strategis, kata Rupang, sebagaimana tuntutan mereka tak dikabulkan.

Misalnya, tuntutan mengenai pemulihan lingkungan, audit lingkungan, penegakan hukum, serta hal-hal lain dalam rangka pencegahan dan antisipasi terhadap potensi bencana yang sama.

Selain itu, penggugat juga meminta para tergugat meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat, juga mempublikasikan setiap upaya dan hasil dari tindakan tersebut.

“Sebab, dalam kurun waktu tiga tahun ini menyisakan derita lingkungan dan ancaman bagi nelayan tradisional, namun masih belum ada tindak lanjut dari segala permasalahan yang timbul akibat tragedi ini,” tegas Rupang.

Aksi di Pengadilan Tinggi Kaltim

Tepat, Rabu (31/3/2021) lalu, Rupang dkk tergabung dalam Kompak menggelar aksi di Pengadilan Tinggi (PT) Kaltim, Jalan M Yamin, Samarinda.

Mereka meminta agar hakim PT Kaltim bisa memutus perkara banding itu dengan seadil-adilnya.

Direktur Walhi Kaltim, Yohana Tiko juga tergabung dalam Kompak mengatakan aksi massa tersebut sebagai peringatan peringatan tragedy tumpahan minyak di Balikpapan.

“Bahwa aksi kami itu mengingatkan Pengadilan Tinggi Kaltim, bahwa masyarakat pesisir dan nelayan tradisional di Teluk Balikpapan belum lupa akan tragedi 3 tahun lalu dan masih menantikan keadilan ditegakkan lewat putusan banding,” ungkap Tiko.

Selain menggelar orasi dan teatrikal, Kompak juga meminta agar tuntutan mereka dikabulkan PT Kaltim, sebagai bentuk perlindungan negara atas keselamatan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional di perairan Teluk Balikpapan.

Direktur Pokja 30 Kaltim Buyung Marajo juga bagian dari Kompak menambahkan aksi tersebut tidak mengintervensi hakim.

“Sifatnya hanya mengingatkan saja, bahwa proses hukumnya sudah terlalu lama. Sementara masyarakat yang terkena dampak butuh kepastian hukum,” kata Buyung.

(lia/sumber:kompas.com)