Hak Ulayat dan Janji Investasi di Bandar Antariksa Biak

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 17/Apr/2021 00:01 WIB
Suku Asmat menari saat festival budaya di distrik suku Agat, di Papua, 13 Oktober 2009. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin) Suku Asmat menari saat festival budaya di distrik suku Agat, di Papua, 13 Oktober 2009. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin)

Jakarta (BeritaTrans.com) - Bandar antariksa di Biak adalah cita-cita yang berumur lebih dari 40 tahun bagi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Penolakan masyarakat adat Warbon setahun terakhir menjadi ganjalan. Mereka mengklaim ada pemaksaan.

LAPAN mulai mantap memilih Biak sebagai bandar antariksa pada awal 1980. Lokasi yang mereka pilih, secara administratif waktu itu berada di Desa Andei, sedang saat ini disebut sebagai Desa Saukobye.

Baca Juga:
Pesawat SAM Air Tergelincir saat Mendarat di Beoga Papua

Setelah survei, LAPAN kemudian mengundang warga dan memaparkan rencana mereka untuk menggunakan tanah adat itu. Sayangnya, seperti dituturkan Manfun Kawasa Byak atau Kepala Suku Byak, Apolos Sroyer, pendekatan yang dilakukan pemerintah menggunakan model Orde Baru.

Apolos Sroyer (kanan) memberikan keterangan terkait sikap masyarakat adat terhadap pembangunan Bandar Antariksa di Biak, 8 April lalu. Foto: Courtesy/Apolos S)

Baca Juga:
Pengembangan Lapangan Terbang Krayan Diperbatasan Kaltara

Apolos Sroyer (kanan) memberikan keterangan terkait sikap masyarakat adat terhadap pembangunan Bandar Antariksa di Biak, 8 April lalu. Foto: Courtesy/Apolos S)

 

“Tanah ini diserahkan karena ditipu dengan nanti nonton tivi, nanti dikasih rumah, nanti dikasih air. Itu kan penipuan model-model birokrasi dan kita sudah tahu lama, dan itu tidak akan pernah menyelesaikan. Kok tanah kami dipakai, kemudian kami dikorbankan di atas tanah itu untuk kepentingan orang lain, bagaimana itu,” kata Apolos kepada VOA.

Penyerahan dengan Pemaksaan

Lembaga adat Kainkain Karkara Byak (KKB) menyusun catatan terkait bagaimana proses pengambilalihan tanah itu dilakukan. Menurut lembaga yang dipimpin Apolos Sroyer ini, pada 1980 ketika mengumpulkan warga, tidak pernah ada penjelasan mengenai apa itu LAPAN, apa itu bandar antariksa, dan soal-soal terkait satelit. Camat sebagai perwakilan pemerintah ketika itu hanya mengatakan bahwa warga harus merelakan tanahnya untuk program pembangunan.

Ketika itu, warga meminta ganti rugi Rp1 miliar karena tanah adat yang akan dipakai mencapai 100 hektar atau satu juta meter persegi. Camat dan pihak Komando Rayon Militer (Koramil) menilai angka itu terlalu tinggi. Bahkan, menurut catatan KKB, ada ancaman kepada warga, jika tidak menyerahkan tanahnya, mereka akan dikaitkan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tentu saja itu menakutkan, karena tentara ketika itu sedang gencar melakukan penumpasan OPM di kawasan Biak, dalam operasi yang berlangsung mulai 1968 hingga 1982.

KKB menyatakan pada 19 Juli 1980, seorang tentara memberikan uang Rp15 juta sebagai ganti rugi, jauh dari angka Rp1 miliar yang diminta. Ancaman terkait OPM dan soal pembangunan kembali diungkit. Empat belas tahun kemudian, pada 9 Februari 1994, sebuah pertemuan kembali digelar, tetapi keberatan warga soal ganti rugi tetap tidak didengarkan. Pada 21 Agustus 2002, warga akhirnya tahu sudah ada surat pelepasan tanah.

Susana di Pasar Wamena, Papua (VOA/Alam Burhanan).

Susana di Pasar Wamena, Papua (VOA/Alam Burhanan).

 

“Tempat yang dimaksud ini, kalau satu juta meter atau seratus hektar, itu kampung-kampung disitu dipindahkan. Lokasi yang dimaksud ini ada di dalam kampung-kampung masyarakat adat itu,” tambah Apolos Jumat (16/4).

LAPAN sendiri memperoleh dukungan pemerintah daerah untuk membangun bandar antariksa di kawasan ini. Namun, Apolos mengingatkan bahwa pada Februari 2020, bupati Biak sudah mendengar secara langsung penolakan warga atas proyek tersebut.

“Bupati itukan dilihat sebagai pemerintah, yang punya tanah itukan adat,” kata Apolos lagi sambil menekankan, bahwa masyarakat adat tidak terlibat dalam pembicaraan apapun.

Tanah Dinilai Sah

LAPAN mengakui, Biak sudah ada dalam rencana pengembangan sejak tahun 80-an, seperti dikatakan Humas lembaga ini, Jasyanto, kepada VOA.

“Bandar antariksa, masalah tempat untuk pemilihannya itu ada studinya, yang dikaji LAPAN bukan Biak saja, kita ada studi juga di Morotai, Enggano, tempat-tempat yang dekat dengan khatulistiwa. Biak salah satu yang dekat khatulistiwa. Dekat dengan garis orbit peluncuran,” ujar Jasyanto

Berada di sebelah utara pulau Papua, Biak adalah pulau tersendiri dengan luasan sedang. Berada di garis khatulistiwa, sisi utara pulau ini langsung menghadap ke Samudera Pasifik. LAPAN saat ini memiliki Balai Kendali Satelit di pulau itu, yang lokasinya berada tidak jauh dari Bandara Internasional Frans Kaisiepo.

Bupati Biak Herry Ario Naap. (Foto: Courtesy/Humas Biak)

Bupati Biak Herry Ario Naap. (Foto: Courtesy/Humas Biak)

 

Proses panjang sejak 1980, menurut Jasyanto, terjadi karena Indonesia baru memiliki Undang-Undang Keantariksaan, yaitu UU 21 pada 2013. Salah satu amanat dalam undang-undang itu adalah Indonesia harus memiliki tempat peluncuran roket untuk jarak lebih jauh, dan karena itu muncullah rencana pembangunan bandar antariksa ini. Meski, seperti dikatakan Jasyanto, belum ada target kapan proyek besar ini selesai, karena biaya yang begitu besar.

“Yang kita punya sekarang ada di Pamengpeuk, Jawa Barat, tetapi ini lebih untuk uji coba roket kecil saja. Kita mencoba mencari lebih besar dan ada di Biak. Kita juga sudah punya balai di sana, dan juga punya tanah di situ 1 juta meter persegi,” tambahnya.

Jasyanto memastikan pemerintah daerah mendukung proyek LAPAN ini. Komunikasi dengan masyarakat dan tokoh adat juga terus dibangun dan berjalan dengan baik. Terkait tanah 100 hektar yang dipersoalkan masyarakat adat, LAPAN memastikan telah memegang sertifikatnya.

“Kalau sudah ada sertifikat, berarti sudah ada penyerahan hak dari adat kepada pemerintah. Kalau tidak ada penyerahan hak, tentu tidak akan keluar sertifikatnya,” tegas Jasyanto.

Masyarakat adat Kombai saat penyelenggaraan Festival Pesta Ulat Sagu di Kampung Uni, Distrik Bomakia, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. (Courtesy: Yayasan EcoNusa)

Masyarakat adat Kombai saat penyelenggaraan Festival Pesta Ulat Sagu di Kampung Uni, Distrik Bomakia, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. (Courtesy: Yayasan EcoNusa)

Pemerintah Janjikan Investasi

Pemerintah Kabupaten Biak menggelar seminar dua hari untuk membahas pembangunan bandar antariksa ini pada 9-10 April 2021 lalu.

Menteri Riset dan Kepala Badan Riset Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa bandar antariksa ini akan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Menteri Riset dan Teknologi Kepala BRIN Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Menteri Riset dan Teknologi Kepala BRIN Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

 

“Bandar antariksa otomatis akan menjadi investasi skala besar di Indonesia, yang memberikan manfaat ekonomi bagi Biak, bagi Papua, bagi Indonesia, tetapi di sisi lain juga akan menjadi sumber inovasi, khususnya di bidang keantariksaan,” kata Bambang.

Dalam rekaman seminar yang dirilis Humas Kabupaten Biak, Bupati Herry Ario Naap bahkan mengajak masyarakat setempat mengapresiasi keputusan pemerintah ini.

“Sekian ribu pulau yang ada di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, kenapa Biak Numfor yang dipilih? Kenapa Biak Numfor yang ditetapkan untuk bandar antariksa?” kata Herry.

Herry mengakui, masyarakat Biak sendiri saat ini sedang berpolemik dengan kehadiran bandar antariksa. Dalam setiap perubahan, menurutnya pasti ada pro dan kontra.

“Kalau merugikan pasti ditolak. Kalau baik, kenapa ditolak,” ujarnya. 

(sumber:voaindonesia.com)