Pengorbanan Orang Tua: Ibunda harus Jual Tivi agar Salahudin Rafi bisa Lanjutkan Pendidikan di STPI

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 22/Jul/2021 09:43 WIB
Saat wisuda, Ibunda Rafi, Hj. Itje Amelia Abdurahcman, mengalungkan samir ke putranya di tengah tatapan mata ribuan orang. Mata ibu dan anak itu berkaca-kaca. Saat wisuda, Ibunda Rafi, Hj. Itje Amelia Abdurahcman, mengalungkan samir ke putranya di tengah tatapan mata ribuan orang. Mata ibu dan anak itu berkaca-kaca.

 

Salahudin Rafi bersama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

MAJALENGKA (BeritaTrans.com) - Sejarah selalu mempertontonkan kisah-kisah pengorbanan orang tua untuk anak-anaknya. Tak hanya tangis, darah dan nyawa pun kadang direlakan.

Berikut ini kisah tentang Salahudin Rafi dan ibundanya, yang dapat menjadi teladan bagi kita.

Salahudin Rafi merupakan Direktur Utama PT Bandarudara Internasional Jawa Barat (PT BIJB) yang mengelola Bandara Kertajati, Majalengka. 

Alumni Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tangerang tahun 1989 ini pernah dua kali menjabat sebagai Direktur Pengembangan Kebandarudaraan dan Teknologi PT Angkasa Pura II

Dia orang pertama di angkatan itu yang berhasil menjabat direksi di PT Angkasa Pura (AP) II.

Adanya Rafi menjadi salah satu dari begitu banyak bukti bahwa STPI (kini Politeknik Penerbangan Indonesia) bukan hanya menghasilkan pilot andal, tapi juga profesional kebandarudaraan di Tanah Air.

Padahal untuk masuk menjadi taruna STIP bukan urusan gampang. Butuh fisik dan kecerdasan prima. Belum lagi mesti menyediakan dana untuk berbagai kebutuhan selama kuliah.

Banyak yang belum tahu, untuk menjadi taruna di sekolah di kawasan Curug, Tangerang, itu, orangtua Rafi harus merelakan menjual TV. Akibatnya, keluarga harus ke tetangga untuk menonton televisi.

"Justru itulah yang memotivasi saya untuk terus fight dan sampai seperti sekarang. Saya masuk STPI harus sukses, kasihan ibu dan adik harus menjual TV untuk biaya sekolah. Itulah pemicu semangat untuk berhasil lulus dari STPI," kenang Raffi dalam perbincangan dengan Beritatrans.com dan Aksi.id.

Tahun 1987, dia lulus STM Penerbangan di Halim, Jakarta Timur. Selanjutnya mencari keberuntungan ikut bimbingan test masuk ke STPI. Akhirnya dia bisa menembus dinding tebal STPI Curug dan mengambil jurusan Aerodrom Aviation. Jurusan yang belum aku kenal sebelumnya, ujarnya.

Saat itu, dia diwajibkan membayar Rp180.000, dengan rincian Rp80.000 untuk biaya administrasi dan sisanya dikembalikan saat wisuda dari STPI. Dasar dari keluarga pas-pasan, uang simpanan tidak ada.

Akhirnya ibu dan adik-adik sepakat menjual TV satu-satunya di rumah dan laku Rp200.000. Hasil penjualan TV itulah bekal sekolah ke STPI. Uang Rp180.000 untuk biaya sekolah dan Rp20.000 untuk ongkos naik kendaraan ke Curug.

"Saat iitulah muncul dalam pikiran harus sukses dan menjadi yang terbaik agar orang tua tidak kecewa," aku Rafi.

Perjuangan di STPI barulah dimulai. Saat awal masuk kampus dan ikut Ospek menjadi cobaan pertama.

"Oleh senior dipaksa melewati ujian berat termasuk test fisik seperti scott jump, push up dan lainnya. Saya tak kuat dan sering dihukum. Pusing dan hampir putus asa. Tapi, kalau ingat wajah ibu dan adik-adik yang merelakan menjual TV untuk sekolah, kembali bangkit semangat ini. Saya harus berhasil dan tidak boleh lembek," cetus Rafi

Cobaan datang silih berganti, termasuk pengalaman pisah dari orang tua. Meski mereka tinggal di Kebayoran Jakarta, tapi Rafi belum pernah pisah dari mereka.

Pengalaman pertama hidup di asrama STPI dengan peraturan dan tata tertib keras, menjadi beban tersendiri. Karena tekad awal harus berhasil, semua berhasil saya lalui, terang Rafi.

Sejak belajar di STPI prestasi Rafi tak mengecewakan. Sampai semester III rangking I tapi di smester IV justru minta diturunkan menjadi rangking III.

Alasannya sederhana, lulusan terbaik yang mengalungkan samir Menteri Perhubungan. "Sedangkan saya ingin samir dikalungkan ibu sendiri," tuturnya.

Rekayasa pun dilakukan dan disepakati rangking diturunkan, papar Rafi. Cita-cita itu terlaksana. Saat wisuda, Ibunda Rafi, Hj. Itje Amelia Abdurahcman, mengalungkan samir ke putranya di tengah tatapan mata ribuan orang. Mata ibu dan anak itu berkaca-kaca.

Rafi segera menyium tengkuk tangan ibunda dan bersimpuh.Rafi amat menyadari begitu besar pengorbanan orangtua dan keluarga terutama ibunda, terhadap dirinya. "Mereka sangat sayang kepada saya. Rela melakukan apapun untuk saya dengan luar biasa," tuturnya.

Lulus dari STPI, dia bekerja di Ditjen Perhubungan Udara mulai calon pegawai (capeg), sampai ditempatkan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Dia kembali melanjutkan belajar untuk meraih sarjana di Universitas Suryadarma Jakarta. Berhasil lulus sebagai insinyur (Ir) jurusan teknik sipil. Sedangkan gelar MBA dari ITB Bandung murni beasiswa dari AP II dan hampir tak mengeluarkan biaya dari kantong sendiri apalagi orang tua.

Rafi kini tidak hanya menjadi Dirut BIJB, tetapi juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Bandara Indonesia (IABI) dan Ketua Umum Ikatan Alumni STPI (IAC).

Sebagai ketua IAC.

Menjadi dosen di STPI/PPI.

Bersama mahasiswa ITL Trisakti.

Dia juga menjadi dosen di Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti sejak tahun 2015. Selain itu, dosen di Politeknik Penerbangan Indonesia.

Karier cemerlang Rafi diyakini karena adanya kekuatan besar yang mendorongnya.  "Saya menjadi seperti ini insya Allah karena Allah ridho dengan doa-doa dan pengorbanan orang tua," ujarnya.

Lalu apa pesan ibunda, yang paling berkesan di hati Rafi? "Perbaiki ibadahmu, maka Allah akan urus semua urusan duniamu," ungkap Rafi.  Ibundanya  wafat pada Februari 2020.

Sebelum ibunda wafat, Rafi sempat mengajak menunaikan ibadah umroh dan haji ke Tanah Suci. "Ini bukan mengganti Tivi, yang dulu dijual. Jasa mami nggak mungkin dapat dibalas sampai kapan pun," ujarnya.

Dia menuturkan terus bakti kepada orang tua adalah sebagian kecil dari balas jasa. "Orang tua adalah pintu terbaik kita memasuki surga," tegasnya.

Dia berpesan bahagiakan orang tua semasa hidup. Jangan pernah menyakiti hati mereka. "Dan diakan terus," tutupnya.

(awe).