Seni Belajar Sabar dan Tabah dari Naik Kereta di Jepang

  • Oleh : Redaksi

Senin, 26/Jul/2021 23:25 WIB
Gaman - kesabaran dan ketekunan - adalah tugas yang diharapkan dan dilihat sebagai tanda kedewasaan. (GETTY IMAGES) Gaman - kesabaran dan ketekunan - adalah tugas yang diharapkan dan dilihat sebagai tanda kedewasaan. (GETTY IMAGES)

Tokyo (BeritaTrans.com) - Hari-hari kerja di Tokyo umumnya dimulai dengan perjalanan melalui sistem kereta bawah tanah tersibuk di dunia. Setiap hari sekitar 20 juta orang naik kereta di ibu kota Jepang itu.

Ini adalah momen yang menegangkan karena para penumpang yang terburu-buru bergegas ke segala arah.

Baca Juga:
Meningkat Lagi, 44 Ribu Penumpang KA Tiba di Daop 1 Jakarta

Di peron, semua orang berbaris dalam formasi ketat di samping pintu kereta agar tidak menghalangi penumpang yang turun. Mereka lalu bergegas masuk meski dalam gerakan lambat yang dipaksakan kerumunan.

Mereka yang berdesakan di dalam gerbong menemukan cara bertahan yang hampir mustahil dilakukan: kaki mereka terkadang tidak menyentuh tanah.

Baca Juga:
Masuki H2+8 Lebaran, Jumlah Penumpang Datang ke Jakarta Masih Tinggi

Namun, bahkan di kereta yang penuh sesak ini, kepasrahan dan keheningan menguasai orang-orang di dalamnya.

Tingkah laku yang tenang dan teratur cenderung menjadi ciri dari kerumunan terbesar di Jepang.

Baca Juga:
KAI: Lebih 3.6 Juta Tiket Kereta Api Mudik Lebaran hingga Arus Balik Terjual, Ini Rinciannya!

Orang-orang dari luar negeri sering terkejut oleh kesediaan orang untuk menunggu transportasi dengan sabar.

Keterkejutan itu juga muncul saat melihat warga Jepang menanti peluncuran produk tertentu, termasuk bantuan terkait gempa bumi dan tsunami Fukushima yang dahsyat.

Namun upaya yang cukup besar dilakukan untuk mempertahankan tatanan tingkah laku ini. Di Jepang, upaya ini dikenal dengan istilah 'gaman'.

Girls walking passed a destroyed house

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

'Gaman' dapat merujuk pada ketahanan dalam menghadapi krisis, seperti gempa bumi dan tsunami 2011, tapi juga dapat merujuk pada masalah sehari-hari yang lebih kecil.

 

Bertahan di masa-masa sulit

Sederhananya, ini adalah gagasan bahwa seseorang harus menunjukkan kesabaran dan ketekunan ketika menghadapi situasi yang tidak terduga atau sulit. Dan oleh karenanya, dia menjaga ikatan sosial yang harmonis.

Konsep ini menyiratkan tingkat pengendalian diri. Anda mengerem perasaan untuk menghindari konfrontasi. Ini adalah tugas yang diharapkan dan dilihat sebagai tanda kedewasaan.

David Slater, profesor ilmu antropologi dan direktur Institut Budaya Perbandingan di Universitas Sophia Tokyo, menggambarkan 'gaman' sebagai seperangkat strategi untuk menghadapi peristiwa yang berada di luar kendali manusia.

"Individu mengembangkan kemampuan dalam diri mereka untuk bertahan dan menerima hal-hal yang tidak terduga, buruk atau sulit untuk dilalui," katanya.

Pada dasarnya, menurut Noriko Odagiri, seorang profesor psikologi klinis di Tokyo International University, orang Jepang menghargai sikap tidak banyak bicara dan menekan perasaan negatif terhadap orang lain.

woman working

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

"Khusus untuk perempuan, kami dididik untuk gaman sebanyak-banyaknya".

 

Upaya menanamkan tingkah laku ini dimulai sejak dini. Anak-anak di Jepang mempelajarinya dengan mencontoh orang tua mereka.

Kesabaran dan ketekunan juga merupakan bagian dari pendidikan, mulai dari sekolah dasar. "Khusus perempuan, kami dididik untuk melakukan 'gaman' sebanyak-banyaknya," kata Odagiri.

'Gaman' dapat bermanifestasi dalam jangka panjang, seperti bertahan dalam pekerjaan yang tidak menyenangkan, menoleransi rekan kerja yang menyebalkan.

Dalam jangka pendek, sikap yang bisa diambil dari ajaran ini adalah mengabaikan penumpang kereta yang berisik atau orang yang tak menghargai antrean.

Yoshie Takabayashi (33 tahun) adalah seorang pengrajin perak di Tokyo sebelum dia menikah, pindah ke Kanazawa dan memiliki anak.

Saat ditanya tentang kapan dia mengaplikasikan 'gaman', Takabayashi merujuk kehidupannya usai melahirkan dan fakta bahwa dia tidak bisa lagi melakukan beberapa hal yang dulu dia nikmati.

Takabayashi juga menyebut orang yang kerap merundungnya di tempat kerja, yang harus dia puji agar mendapatkan pelatihan penting, menghindari masalah, dan mempertahankan pekerjaannya.

"Ketika saya mengingat kembali waktu itu, bos saya bahkan tidak melakukan apa pun untuk membantu.

"Saya seharusnya berhenti. Tetapi orang tua saya, dan semua orang di sekitar saya yang juga baru mulai bekerja, terus mendorong saya untuk menjadi sukses.

"Saya tidak menyadari seberapa banyak upaya 'gaman' yang saya lakukan," katanya.

Crowded place in Japan

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Tingkah laku yang tenang dan teratur cenderung menjadi ciri dari kerumunan terbesar di Jepang

 

'Mempercantik gaman'

'Gaman' berasal dari ajaran Buddhis tentang memperbaiki diri sendiri sebelum secara bertahap dibentuk menjadi mekanisme ketekunan bagi individu yang mendambakan tempat dalam kelompok sosial.

Tingkah laku ini diasah selama ledakan ekonomi Jepang usai perang ketika upaya 'memajukan negara' berarti mengorbankan waktu bersama keluarga demi pekerjaan berjam-jam di kantor.

Beberapa orang melihat ketekunan gaya 'gaman' sebagai ciri khas Jepang.

"Ini adalah ciri khas orang Jepang, tapi memiliki poin baik dan buruk," kata Nobuo Komiya, kriminolog di Universitas Rissho di Tokyo.

Komiya percaya pengawasan timbal balik, pemantauan diri, dan harapan publik yang terkait dengan 'gaman' merupakan faktor penyebab rendahnya tingkat kejahatan di Jepang.

Di mana orang saling menjaga dan menghindari konflik, di sanalah setiap orang lebih berhati-hati dengan tindakan mereka.

Elderly laughing

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Beberapa anak muda memilih untuk tidak gaman, menghindari jalan yang diambil oleh generasi sebelumnya.

 

Tapi ini bukan hanya tentang dinamika kelompok.

"Penting untuk diingat gaman bermanfaat bagi individu," kata Komiya.

"Itu berarti mereka tidak dipecat dari pekerjaan atau bisa mendapatkan keuntungan dari melanjutkan hubungan dengan orang-orang di sekitar mereka."

Tapi 'gaman' juga memberikan tekanan pada individu.

"Kami mempercantik 'gaman'," kata Odagiri.

Banyak orang di Jepang mengharapkan orang lain untuk menebak bagaimana perasaan mereka, daripada mengekspresikan diri mereka secara langsung, dan terkadang tekanan dalam diri dapat meningkat.

"Terlalu banyak 'gaman' berdampak negatif pada kesehatan mental kita," katanya.

"Kadang-kadang ketika orang terlalu banyak berpikiran negatif, 'gaman' bisa berubah menjadi penyakit psikosomatis."

Meminta bantuan untuk kesehatan mental sering dianggap sebagai kegagalan, kata Odagiri.

Orang-orang diharapkan untuk mengelola diri mereka sendiri. Namun terkadang ini tidak berhasil dan menyebabkan ledakan kemarahan, yang dapat mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga atau di tempat kerja.

A couple walking in Japan

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Gaman juga bisa membuat wanita terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia.

 

'Gaman' juga bisa membuat perempuan terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia.

"Masyarakat kita mengharapkan perempuan untuk rendah hati atau tidak banyak bicara. Jadi terkadang perempuan berusaha untuk tidak mengungkapkan perasaan negatif, hanya 'gaman'," kata Odagiri.

Dan ketika mereka memutuskan untuk bercerai, banyak perempuan yang menemukan fakta bahwa mereka tidak bisa melakukan itu karena mereka telah mengesampingkan karir mereka demi keluarga dan tidak lagi mandiri secara finansial.

Komiya menghubungkan meningkatnya laporan pelecehan seksual baru-baru ini dan intimidasi dengan kehancuran struktur sosial yang memprioritaskan kelompok daripada pribadi.

"Orang Jepang mengatakan 'gaman' adalah kebajikan nasional, tapi sebenarnya itu adalah sarana untuk tetap berada dalam kelompok," kata Odagiri.

Sekarang orang merasa kecil kemungkinannya untuk dikecualikan jika mereka angkat bicara.

Kenapa melakukan 'gaman' pada era gig economy?

Masyarakat memang sedang berubah. Sekitar 30 tahun yang lalu, pekerjaan di Jepang berlaku seumur hidup.

Secara tradisional, laki-laki bekerja berjam-jam untuk mendapatkan senioritas di perusahaan tempat mereka menghabiskan seluruh karir mereka. Adapun perempuan biasanya ditempatkan di pekerjaan jalur non-promosi sebagai persiapan keluar dari karier demi membesarkan anak.

workers

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Gaman diasah selama ledakan ekonomi Jepang pasca perang ketika pekerjaan melibatkan pengorbanan waktu bersama keluarga selama berjam-jam di kantor.

 

Namun hari ini sistem pekerjaan seumur hidup sedang runtuh. Orang-orang memilih menunda pernikahan, lebih banyak perempuan kini bekerja, dan tingkat kelahiran berada pada tingkat terendah dalam sejarah.

Banyak anak muda bekerja dengan sistem kontrak sementara atau pekerjaan paruh waktu di mana 'gaman' tidak lagi memiliki makna.

"Mereka tidak melihat Anda sebagai anggota kelompok. Anda dipekerjakan dan dipecat, Anda memiliki kontrak, Anda dibayar per jam," kata Slater.

"Seluruh gagasan 'gaman' di Jepang benar-benar tidak adaptif. Anda akan mempertahankan pekerjaan Anda dengan diam, tapi semua nilai 'gaman' yang masuk akal untuk hubungan sosial yang koheren dan tidak lagi relevan."

Dan beberapa anak muda memilih untuk tidak menjalankan 'gaman,'. Mereka menghindari jalan yang diambil generasi sebelumnya.

Mami Matsunaga (39 tahun), bekerja di industri media fashion sebelum pindah dari Tokyo ke kawasan dekat pantai. Dia sekarang berselancar setiap hari dan mengajar cara pernapasan serta yoga dalam sesi retret maupun lokakarya di seluruh Jepang.

"Dalam budaya Jepang, harapan untuk 'gaman' memberi tekanan pada semua orang untuk melakukan hal yang sama dan menyisakan sedikit ruang untuk perbedaan," kata Matsunaga.

Ditanya apakah dia pernah bertahan di tempat kerja, dia menjawab: "Tidak, saya tidak melakukannya. Saya segera meninggalkan pekerjaan jika hal seperti itu perlu terjadi."

(sumber:bbcindonesia.com)

Tags :