Najla Bouden Ramadhane jadi Perempuan Pertama Perdana Menteri Tunisia dan Dunia Arab

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 30/Sep/2021 05:20 WIB


TUNIS (BeritaTrans.com) - Presiden Tunisia Kaies Saied hari Rabu (29/9) mengumumkan Najla Bouden Ramadhane, seorang profesor berusia 63 tahun, untuk memimpin pemerintahan transisi setelah kepala negara memecat perdana menteri sebelumnya dan menskors parlemen.

“Prioritasnya adalah memberantas korupsi, dan menyudahi kekacauan yang terjadi di banyak institusi. Ada perempuan dan laki-laki jujur yang bekerja siang dan malam, tetapi ada juga yang justru bekerja untuk hal yang berlawanan, yaitu berupaya menjatuhkan pemerintah,” ujar Saied.

Najla Ramadhane, yang merupakan profesor di sebuah sekolah teknik bergengsi, menjadi perdana menteri perempuan pertama di Tunisia dan salah seorang perempuan pertama di dunia Arab yang memegang posisi senior itu.Demonstran membawa bendera dan spanduk selama protes terhadap perebutan kekuasaan pemerintahan oleh Presiden Tunisia Kais Saied, di Tunis, Tunisia, 26 September 2021. (Foto: REUTERS/Zoubeir Souissi)

Presiden Kais Saied menunjuk Ramadhane dalam keputusan yang mengejutkan, dan memerintahkannya untuk sesegera mungkin membuat kabinet baru, demikian menurut pernyataan dari kantor presiden.

Tunisia tidak memiliki kepala pemerintahan dan berada dalam pergolakan setelah presiden membekukan parlemen negara itu dan merebut kekuasaan eksekutif pada 25 Juli lalu. Langkah itu terutama mengesampingkan Partai Ennahdha – partai Islam yang mendominasi parlemen.

Presiden Tunisia Kais SaiedPresiden Tunisia Kais Saied

Para pengecam mengkritisi langkah presiden itu sebagai kudeta yang mengancam demokrasi Tunisia yang baru seumur jagung.

Presiden Kais Saied mengatakan ia justru bertindak untuk menyelamatkan negara itu, di tengah kerusuhan karena masalah keuangan dan cara pemerintah menangani pandemi virus corona.

Belum jelas berapa besar kekuasaan Ramadhane. Pekan lalu Presiden Kais Saied mengeluarkan dekrit presiden yang memperkuat kekuasaannya yang sudah hampir total. Ia juga mengumumkan rencana pembentukan pemerintahan transisi dan aturan pemilu yang baru.

Massa Minta Presiden Mengundurkan Diri

Sebelumnya ribuan demonstran, Minggu (26/9), berkumpul di ibu kota Tunisia untuk memprotes perebutan kekuasaan Presiden Kais Saied, menyerukannya untuk segera mengundurkan diri.

Saied minggu ini mengesampingkan sebagian besar konstitusi tahun 2014, memberikan dirinya kekuatan untuk memerintah dengan dekrit dua bulan setelah ia memecat perdana menteri, menangguhkan parlemen dan mengambil alih otoritas eksekutif.

“Rakyat menginginkan diakhirinya kudeta,” teriak massa di Habib Bourguiba Ave, lokasi utama demonstrasi yang mengakhiri kepemimpinan Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011. “Mundur!” teriak massa.Unjuk rasa berlangsung di depan Parlemen Tunisia setelah Presiden Kais Saied membubarkan parlemen dan memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi pada 25 Juli, di Tunis, Ibu Kota Tunisia, 26 Juli 2021. (Foto: Fethi Belaid/AFP)

​​​​​​Polisi bertahan di sekitar lokasi demonstrasi dan membangun barikade-barikade.

Krisis ini telah membahayakan demokrasi yang dibangun di Tunisia dalam revolusi tahun 2011 yang memicu demonstrasi Arab Spring dan memperlambat upaya mengatasi ancaman mendesak terhadpa keuangan publik.

Saied mengatakan tindakannya – yang oleh lawan-lawan politiknya disebut sebagai kudeta – diperlukan untuk mengatasi krisis kelumpuhan politik ini, stagnasi politik dan respons yang buruk terhadap perebakan COVID-19. Ia berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak dasar dan tidak akan menjadi diktator.