Oleh : Naomy
JAKARTA (BeritaTrans.com) - Keselamatan penerbangan merupakan hal paling penting dalam operasional transportasi udara.
Seiring dengan perkembangan teknologi, potensi penggunaan unmanned aircraft system (UAS) atau remotely-piloted aircraft system (RPAS) atau lebih kita kenal sebagai Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak (drone), sangat erat kaitannya dengan keselamatan penerbangan.
Baca Juga:
Dorong Integrasi Transportasi di Jatim, Baketrans Gelar Sosialisasi Kebijakan bersama Komisi V DPR
Berkenaan dengan hal tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbanghub) bersama dengan Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) menggelar seminar nasional dengan topik “Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Indonesia”, Jumat (8/10/2021).
Sebelumnya, Balitbanghub dan UI telah melakukan penelitian dan kaji rencana pembuatan peratura tersebut.
Baca Juga:
Baketrans Bahas Langkah Penekanan Angka Kecelakaan Bus Pariwisata Melalui FGD
Kepala Badan Litbang Perhubungan, Umar Aris menyampaikan, penggunaan pesawat udara tanpa awak telah digunakan untuk berbagai kegiatan.
Sebelumnya hanya digunakan sebatas hobi namun saat ini berkembang pesat hingga mengarah ke transportasi.
Baca Juga:
Baketrans Bareng Komisi V DPR Bahas Kesiapan Angleb 2023
"Diperlukan persiapan yang sangat matang dalam memberikan ruang bagi pesawat tanpa awak untuk beroperasi di udara," ujar Umar.
Dari beragam jenis pengkategorian dan klasifikasi pesawat tanpa awak menimbulkan tingkat risiko yang berbeda-beda.
Namun masih banyak para penerbang atau operator yang belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap peraturan pengoperasian pesawat tanpa awak.
Menurutnya, untuk mengantisipasi adanya risiko tersebut, maka integrasi pesawat tanpa awak dalam operasi penerbangan dan ruang udara harus memenuhi lima aspek utama.
Antara lain meliputi keselamatan, keamanan, lalu lintas udara, sosio-ekonomi, dan regulasi. Sebagai salah satu aspek prioritas, regulasi memegang peranan penting dalam menjamin berlangsungnya operasi pesawat tanpa awak yang selamat, tertib dan lancar.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Udara, Capt. Novyanto Widadi menyampaikan, pihaknya bersama DRC FHUI telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang berdasarkan kebutuhan untuk pengaturan lebih lanjut sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan.
“Dengan adanya kajian yang dihasilkan oleh Balitbanghub dan DRC FHUI diharapkan dapat menciptakan sistem peraturan yang komprehensif dan harmonis di Indonesia serta menjawab tantangan-tantangan yang hadir pada masa kini maupun pada masa yang mendatang,” ungkap Capt. Novy.
Menurut Hikmahanto, Guru Besar FHUI dalam RPP ini perlu diperhatikan beberapa aspek mulai dari sertifikasi personel, licensing operator/pengendali Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak, penggunaan Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak sebagai sarana angkutan niaga, serta pengaturan mengenai tanggung jawab yang muncul sebagai akibat dari penyalahgunaannyam
Mulai dari tanggung jawab pidana, perdata, maupun administratif. Dalam hal ini, pertimbangan-pertimbangan atas aspek keselamatan transportasi, privasi perorangan, serta pertahanan dan keamanan perlu dipertimbangkan.
“Berdasarkan RPP yang telah disusun perlu adanya peraturan turunan seperti manajemen lalu lintas udara, pengaturan ruang udara, tata cara dan prosedur pendaftaran dan registrasi, kriteria standar kalaikudaraan, tata cara, prasyarat, dan prosedur persetujuan rancang bangun, sertifikasi tipe, sertifikasi kelaikudaraan dan kelaikudaraan berkelanjutan, sertifikasi operator hingga sanksi,” tuturnya.
Pembicara lainnya Direktur Operasi Sumber Daya, Kemenkominfo, Dwi Handoko membahas penggunaan spektrum frekuensi radio untuk pengoperasian pesawat tanpa awak.
Sistem drone direncanakan akan digunakan pada non-segregated airspace.
Selain itu terdapat beberapa jenis frekuensi untuk pesawat tanpa awak seperti frekuensi untuk komunikasi dengan air traffic control, frekuensi radio untuk command and control, frekuensi untuk sense and avoid, frekuensi radio untuk Payload.
“Komunikasi merupakan kunci dari sistem pesawat udara tanpa awak karena dikendalikan secara remote dan safety of fight adalah faktor utama sistem pesawat udara tanpa dalam civil air traffic," kata Dwi.
Frekuensi yang digunakan haruslah frekuensi yang juga memiliki level yang sama dengan level frekuensi untuk penerbangan.
Dia menambahkan bahwa pita frekuensi untuk UAS telah dibahas secara internasional sejak tahun 2007 melalui International Telecommunication Union (ITU).
Pita frekuensi sistem pesawat udara tanpa awak dikategorikan sebagai pita untuk bergerak penerbangan atau bergerak satelit penerbangan dan termasuk ke dalam pita frekuensi keselamatan.
Alokasi frekuensi untuk pesawat udara tanpa awak ditetapkan dalam Sidang Konferensi Komunikasi Radio ITU tahun 2012 adalah 5030-5091 MHz untuk LOS (AM(R)S) dan BLOS (AMS(R)S) dan Pita frekuensi Radio sistem pesawat udara tanpa awak di Indonesia mengikuti alokasi pita frekuensi radio yang ditetapkan oleh ITU.
Dengan dihasilkannya kajian mengenai pengoperasian sistem pesawat udara tanpa awak di Indonesia, diharapkan dapat menjadi sumbangsih positif pagi pembentukan regulasi serta peraturan di kemudian hari terkait drone ini.
Turut hadir dalam Seminar Nasional hari ini, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Andri Gunawan Wibisana, perwakilan Direktorat Impor Kementerian Perdagangan, Iman Kustiaman, dan Tim Advokasi Penelitian Kemenhub Umiyatun Hayati Triastuti. (omy)