Australia Teliti Samudra Antartika untuk Cari Penyebab Tsunami

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 24/Nov/2021 14:45 WIB
Ilustrasi Lapisan es di Samudra Antartika. Foto: voaindonesia.com. Ilustrasi Lapisan es di Samudra Antartika. Foto: voaindonesia.com.

AUSTRALIA (BeritaTrans.com) - Kegiatan untuk mengambil data ilmiah dari dasar laut Samudra Selatan, sebelumnya dikenal sebagai Samudra Antartika, sedang dilakukan. Misi itu dapat menjelaskan apa yang memicu gempa bumi dan tsunami bawah laut.

Beberapa gempa bumi bawah laut paling dahsyat di dunia terjadi di bawah perairan Samudra Selatan yang ganas, tetapi para peneliti tidak tahu penyebabnya. Sensor suara dan gerak yang canggih dapat membantu membuka rahasia bagaimana lempeng tektonik – atau potongan kerak bumi – mulai bertabrakan, sebuah proses yang dikenal sebagai subduksi.

Selama setahun terakhir, 27 seismometer yang diletakkan di dasar laut telah membentuk teleskop raksasa yang menunjuk ke inti bumi. Peralatan itu sekarang diangkat.

Profesor Hrvoje Tkalčić, kepala ilmuwan dari Lembaga Penelitian Ilmu Bumi Universitas Nasional Australia berharap penelitian ini akan membantu menjelaskan bagaimana dan mengapa gempa bumi itu terjadi. “Kami tidak bisa memprediksi kapan tepatnya itu akan terjadi, seberapa besar itu akan terjadi. Tapi kami bisa lebih memahami mekanisme fisiknya dan kami juga bisa lebih memahami struktur bumi di daerah itu, dan penting untuk memprediksi aliran gelombang seismik dari pusat gempa ini ke titik lain di permukaan bumi, termasuk kemungkinan terjadinya tsunami.”

Para ilmuwan berharap penelitian ini akan memberi mereka pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana gempa bumi dan tsunami dapat mempengaruhi Australia dan Selandia Baru, yang terletak di dalam wilayah aktif seismik yang dikenal sebagai “Cincin Api Pasifik.”

Ekspedisi ini menjelajahi beberapa pegunungan bawah laut paling curam di dunia hingga kedalaman lebih dari 3,5 mil (5,6 kilometer) di daerah terpencil yang dikenal sebagai Macquarie Ridge, yang terletak di pertengahan Selandia Baru dan Antartika.

Para peneliti mengatakan teknik itu juga bisa diterapkan di lautan lain.

Studi internasional ini merupakan kerjasama berbagai institusi Australia, University of Cambridge dan California Institute of Technology.

Perjalanan tiga minggu itu dimulai di Wellington, Selandia Baru pada 10 November lalu. (dn/sumber: voaindonesia.com)