Ledakan Maut di Pelabuhan Beirut, Keluarga Korban Demo Penyelidikan Berlarut-larut

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 24/Nov/2021 20:14 WIB
Foto:istimewa Foto:istimewa

JAKARTA (BeritaTrans.com) - BBC mendapat informasi bahwa PBB berkali-kali mengabaikan permohonan dari keluarga korban ledakan di Pelabuhan Beirut, Lebanon, yang menyebabkan 219 orang meninggal dunia pada 4 Agustus 2020. Mereka mengirim surat untuk meminta informasi guna membantu penyelidikan resmi dalam peristiwa itu.

Baca Juga:
Dahsyatnya Ledakan Beirut, Guncang Lapisan Atas Atmosfer Bumi

Di antara keluarga korban yang mencari keadilan itu adalah Ariana Papazian, sebagaimana dilaporkan oleh wartawan BBC untuk Timur Tengah, Anna Foster

Ketika Ariana, seorang warga Beirut, menggambarkan kematian ibunya Delia, ia menceritakannya dengan jelas dan tenang.

Ariana ingat semuanya. Suara, dan keheningan yang terjadi sesudahnya. Ia juga masih ingat bagaimana ia membelai rambut ibunya, dan kata-kata yang ia ucapkan ketika berusaha mati-matian untuk membangunkan ibunya.

Ariana baru berusia 16 tahun ketika terjadi ledakan, dan ia mencari jawaban mengapa sang ibu tercinta meninggal dunia.

"Saya merasa ibu tidak berarti apa-apa, hidup ibu saya tak ada harganya. Kesehatan saya sendiri tak punya artinya. Seperti kami bukan manusia."

Penyelidikan resmi tentang ledakan dahsyat itu seharusnya menguak kebenaran. Tetapi penyelidikan mandek.

Penyelidikan dihentikan beberapa kali karena para petinggi yang dipanggil untuk dimintai keterangan mengajukan komplain. Protes menentang ketua hakim, Tarek Bitar, sehingga menyebabkan bentrokan berakibat tujuh orang meninggal dunia.

Sengketa itu memecah belah kabinet Lebanon, yang belum pernah mengadakan pertemuan selama satu bulan terakhir padahal negara itu memerlukan kepemimpinan kuat untuk bisa keluar dari krisis saat ini.

Kecaman dunia muncul terhadap kurangnya kemajuan itu. Namun organisasi yang seharusnya dapat membantu, yakni PBB, justru mengabaikan permintaan bantuan, menurut keterangan yang dihimpun PBB.

Satu pekan sesudah ledakan, PBB menyerukan "penyelidikan segera dan independen yang mewujudkan keadilan dan akuntabilitas".

Tetapi BBC mendapat informasi bahwa ketika para keluarga korban meninggal dunia meminta informasi guna membantu jalannya penyelidikan, PBB tidak membalas surat mereka.

Ada dua hal yang diminta. Pertama, semua citra satelit yang dimiliki oleh anggota PBB pada hari ledakan.

Kedua, keterangan mengenai apakah Unifil (Pasukan Interim PBB di Lebanon) memeriksa MV Rhosus - kapal yang mengangkut barang yang menyebabkan ledakan - pada 2013, sebelum kapal tiba di Pelabuhan Beirut.

Peneliti organisasi Human Rights Watch di Lebanon, Aya Majzoub, menjelaskan mengapa citra satelit itu amat diperlukan.

"Sampai hari ini kami tidak tahu apa yang menyebabkan ledakan, kami tidak tahu apakah itu adalah ulah internasional, kami tidak tahu apakah ledakan disebabkan kelalain, kami tidak tahu sama sekali," jelasnya.

"Oleh karena itu, citra satelit pelabuhan pada hari itu sangat penting dalam upaya mencari jawaban atas berbagai pertanyaan mengapa terjadi ledakan."

Pekan lalu Rusia mengatakan lembaga antariksa Roscosmos siap menyerahkan foto-foto dari lokasi ledakan, memenuhi permintaan Presiden Lebanon, Michel Aoun.

Surat pertama dari keluarga korban ledakan dikirim oleh Asosiasi Pengacara Beirut pada tanggal 26 Oktober 2020.

Selang tiga pekan berikutnya dikirim surat lanjutan dengan penekanan "sudah lebih dari 100 hari berlalu sejak ledakan, hingga sekarang tak satu pun anggota atau Unifil mengirim foto atau memberi informasi".

Surat ketiga tertanggal 17 Maret 2021, berbunyi: "Tujuh bulan telah berlalu sejak ledakan dan lima bulan sesudah surat kami, dan malangnya surat-surat kami tetap tidak dibalas dan tidak ditanggapi. Lebanon adalah anggota pendiri PBB dan sedang meminta bantuan."

 

'Kurang dukungan'

Ramzi Haykal, seorang pengacara senior di Lebanon dan anggota Asosiasi Pengacara Beirut, menyuarakan tekadnya.

"Saya beri tahu sesuatu ya, kami adalah pejuang" tegasnya. "Menurut hukum, kami adalah pejuang. Dan kami akan terus berjuang, karena kami bertanggung jawab atas 1.800 orang yang meminta kami mewakili mereka mencari keadilan."

Peneliti organisasi Human Rights Watch di Lebanon, Aya Majzoub memandang respons PBB itu tidak memadai.

"Saya yakin sekretaris jenderal dibanjiri surat dan permohonan, tetapi mengecewakan dengan kurangnya kerja sama dengan pihak berwenang Lebanon. Juga kurangnya penyelidikan internasional terhadap ledakan ini, ada banyak lagi yang dapat dilakukan oleh masyarakat internasional yang tidak dilakukannya sekarang."

Kantor Sekjen PBB mengatakan organisasi dunia itu berkomitmen mendukung rakyat Lebanon dan telah memobilisasi membantu para korban.

Tetapi kantor Sekjen PBB tidak menjelaskan mengapa surat-surat itu diabaikan saja, meskipun informasi yang diminta amat diperlukan dalam penyelidikan dan dalam mengungkap kebenaran. Dikatakan kantor Sekjen PBB hanya memberikan perhatian pada surat-surat dari pejabat resmi.

Keluarga dan penyintas ledakan yakin mereka layak mendapat perlakuan lebih baik, dan juga yakin bahwa salah satu ledakan terbesar dalam sejarah itu seharusnya diselidiki sebagaimana mestinya.(amt/sumber:bbc.com)