Mahkamah Konstitusi perintahkan DPR dan pemerintah perbaiki UU Cipta Kerja karena `Bertentangan dengan UUD 1945`

  • Oleh : Redaksi

Jum'at, 26/Nov/2021 07:37 WIB
foto:istimewa/antara.com foto:istimewa/antara.com

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Mahkamah Konstitusi memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Jika tidak diperbaiki, UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali.

Demikian amar putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar melalui kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Kamis (25/11).

Majelis Hakim MK dalam putusannya menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan'," kata Ketua MK Anwar Usman sebagaimana dikutip kantor berita Antara.

Anwar Usman juga menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR, melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut.

Apabila dalam periode tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen dan semua UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali.

"Dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan [UU Cipta Kerja], undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ucap Anwar Usman.

Selain itu, pemerintah juga dilarang membuat peraturan pelaksana baru turunan dari UU Cipta Kerja selama dua tahun ke depan.

"Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ucap Anwar.

 

Bagaimana Respon Pemerintah?

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan memperbaiki UU Cipta Kerja setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan undang-undang itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

"Setelah mengikuti sidang MK, pemerintah menghormati dan mematuhi putusan daripada MK serta akan melaksanakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan putusan MK yang dimaksud," kata Airlangga dalam konferensi pers melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (25/11).

Dia juga mengatakan pemerintah akan menyiapkan perbaikan undang-undang sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi.

 

Dinilai Kontraproduktif

Semenjak Presiden Joko Widodo mengungkapkan rencana untuk membuat UU Cipta Kerja, telah ada kritikan terhadap tujuan dan rancangannya, UU yang kerap dijuluki ' Omnibus Law' dinilai "terlalu kapitalistik dan neoliberalistik" serta "kurang transparan dan kurang melibatkan pekerja dan civil society."

Upaya pemerintah dalam perampingan aturan demi menyederhanakan ijin investasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru dinilai kontraproduktif oleh pengamat ekonomi.

Rangkaian demonstrasi mahasiswa yang menentang Omnibus Law pun berlangsung di sejumlah daerah.

Rapat paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, walaupun terus mendapat penolakan dari berbagai kelompok buruh dan sejumlah pihak lainnya.

Terdapat total XII bab dalam UU tersebut antara lain peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM; kemudahan berusaha; kebijakan fiskal nasional; dukungan riset dan inovasi.

 

Bagaimana perjalanan pembahasan RUU Cipta Kerja?

Diawali pernyataan Presiden Joko Widodo, dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019, yang isinya mengatakan bahwa pemerintah akan membuat Omnibus Law, bergulir proses pembahasannya, seperti dilaporkan Koran Tempo (05/10 dan 13/10), serta Majalah Tempo (18/10):

  • 16 Desember 2019: Pemerintah membentuk satuan tugas omnibus law yang dipimpin Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri, Rosan Roeslani.
  • 13 Januari 2020: Unjuk rasa oleh kelompok buruh menolak RUU Cipta Lapangan Kerja.
  • 15 Januari: Presiden Jokowi ingin agar naskah akademik omnibus law Cipta Kerja selesai sebelum 100 hari masa kerja Kabinet Indonesia Maju.
  • 20 Januari: Puluhan ribu buruh berdemonstrasi menolak omnibus law di gedung DPR.
  • 22 Januari: DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja masuk Program Legislasi Nasional prioritas 2020.
  • 7 Februari 2020: Pemerintah menyerahkan draf Omnibus Law ke DPR. Nama RUU itu berubah menjadi Cipta Kerja.
  • 4 Maret 2020: Sejumlah ormas sipil menolak undangan Kantor Staf Presiden untuk membahas RUU Cipta Kerja. Dan, mahasiswa berunjuk rasa di gedung DPR dan di beberapa daerah.
  • 9 Maret 2020: Mahasiswa gelar unjuk rasa menolak omnibus law di Jalan Gejayan, Yogyakarta.
  • 2 April 2020: DPR menyetujui pembahasan RUU Cipta Kerja dalam sidang paripurna.
  • 14 April 2020: Pemerintah dan DPR menggelar rapat pertama.
  • 22 April 2020: Tiga pemimpin organisasi serikat buruh menemui Presiden Jokowi di Istana Negara.
  • 24 April 2020: Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan.
  • 24 April-10 Oktober 2020: DPR menggelar 64 rapat membahas RUU ini.
  • 2 Agustus 2020: Tim teknis tripartit yang beranggotakan unsur pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha yang dibentuk Kemenaker merampungkan pembahasan kluster ketenagakerjaan.
  • 3 Oktober 2020: Pemerintah dan DPR sepakat membawa RUU Cipta Kerja ke sidang paripurna 8 Oktober 2020.
  • 5 Oktober 2020: Rapat paripurna DPR dimajukan. UU Cipta Kerja disahkan. Beredar naskah setebal 905 halaman.
  • 6-8 Oktober 2020: Puluhan ribu buruh, mahasiswa dan masyarakat sipil berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.
  • 7 Oktober 2020: Badan Legislasi DPR mengotak-atik sejumlah pasal.
  • 8 Oktober 2020: Badan Legislasi DPR masih mengubah sejumlah pasal.
  • 9 Oktober 2020: Presiden Jokowi merespons pengesahan omnibus law dan meminta pihak yang tidak puas mengugat ke MK.
  • 12 Oktober 2020: Naskah omnibus law beredar dua kali, setebal 1.035 halaman dan 812 halaman.
  • 13 Oktober 2020: Sekjen DPR mengkonfirmasi naskah final UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman. Unjuk rasa anti-UU Cipta Kerja berakhir ricuh.
  • 14 Oktober 2020: Sekjen DPR mengirimkan naskah final UU Cipta Kerja setebal 812 halaman ke Istana.(amt/sumber:bbc.com)