Perubahan Iklim: Masyarakat Adat Inupiat, Saksi Hidup Mencairnya Lapisan Es di Kutub Utara, `Kamilah yang Akan Punah`

  • Oleh : Redaksi

Selasa, 28/Des/2021 07:10 WIB
foto:istimewa/Naturepl.com/Tony Wu/WWF foto:istimewa/Naturepl.com/Tony Wu/WWF

ALASKA (BeritaTrans.com) - Di pesisir pantai yang terpencil di barat laut Alaska, sebuah pondok kayu berdiri menghadapi badai yang semakin kuat dan air laut yang mulai naik.

Kabin itu dibangun 20 tahun yang lalu oleh Ross Schaeffer, anggota komunitas adat Iñupiat di Kota Kotzebue, atau Qikiqtaġruk dalam bahasa Iñupiaq yang digunakan komunitas adat setempat di Alaska.

Baca Juga:
Indonesia - Timor Leste Kerja Sama Bikin Komitmen Jaga Keberlanjutan Ekosistem Laut

Kotzebue adalah satu-satunya yang memiliki lapangan terbang di kawasan itu.

Kota ini merupakan rumah bagi 3.000 penduduk, jumlah yang terbilang sedikit untuk ukuran kota. Tapi, di bagian dunia yang dingin ini, kota itu dianggap sebagai pusat aktivitas warga.

Baca Juga:
Pengelolaan Logistik Sampah untuk Pemberdayaan Masyarakat

Untuk menghindari 'keramaian' kota, Ross acap kali melarikan diri ke kabinnya di musim semi ketika kota tujuan wisata Sadie Creek yang berdekatan dengan Kotzebue penuh sesak dan memutus peradaban di sekitarnya.

"Ini adalah tempat yang sangat indah," kata Ross.

Baca Juga:
Warisi Sanitasi yang Layak Bagi Masyarakat, FIFGROUP Resmikan Kampung Sehat STBM di Lebak Bulus, Jakarta

Tapi tahun lalu, Ross terpaksa menaikkan kabin sekitar 60 cm lebih tinggi, untuk melindunginya dari lautan yang terus mengamuk.

Terletak di dataran ringkih yang sebagian besar terdiri dari batu-batu kerikil, lokasi retret ini rentan terhadap ombak yang kuat.

"Dalam beberapa tahun, lautan itu mungkin akan mengambilnya," kata Ross.

Properti lain di daerah itu berisiko mengalami nasib yang sama, tambahnya.

Bagaimanapun, kehancuran sudah terjadi.

Ross telah menyaksikan bagaimana puing-puing rumah, yang dulu aman, tergeletak berserakan di pantai - dihantam dengan keras oleh gelombang laut.

'Erosi besar-besaran'

Baik Ross maupun saudaranya Bobby, yang juga tinggal di Kotzebue, dapat melihat bahwa dunia mereka berubah.

Perubahan iklim mencairkan es yang mereka andalkan untuk bepergian dan berburu. Kondisi ini juga telah mengubah garis pantai dan merugikan satwa liar setempat.

Selama ratusan tahun, orang Iñupiat beradaptasi untuk hidup dalam kondisi yang keras. Namun banyak dari mereka kini merasakan apa yang dialami Ross dan Bobby.

Mereka khawatir dengan kecepatan perubahan iklim saat ini yang mencengangkan, dan apa yang mungkin berisiko terjadi di komunitas mereka sebagai dampak dari perubahan iklim tersebut.

Mereka khawatir tentang apa lagi yang akan hilang.

Kakak beradik ini lahir tepat setelah Perang Dunia Kedua - Ross pada tahun 1947, Bobby pada tahun 1949.

Mereka adalah bagian dari 12 saudara, dua di antaranya telah meninggal pada usia muda.

Selama berpuluh-puluh tahun, mereka telah melacak perubahan di sekitar mereka dengan fokus terhadap detail yang mereka pelajari, sebagian, dari ayah mereka.

Ancaman pemanasan global, naiknya air laut telah mengganggu mereka berdua.

"Kami telah menyaksikan erosi besar-besaran dalam 50 tahun terakhir," kata Bobby.

Kayak beradik ini berkontribusi pada penelitian ilmiah yang diterbitkan tahun ini tentang bagaimana perubahan iklim memengaruhi aktivitas perburuan di daerah tersebut.

Arktika, wilayah kutub utara Bumi, memanas sekitar dua kali lebih cepat dari tempat lain.

Komunitas adat yang tinggal di sana, termasuk Iñupiat, dan komunitas adat Inuit di Kanada dan Greenland, mengalami perubahan besar di lingkungan mereka, yang pada gilirannya dapat mengguncang seluruh budaya dan cara hidup mereka.

Ada banyak bukti ilmiah bahwa perubahan iklim telah menyebabkan naiknya permukaan laut dan menipisnya es laut di Kutub Utara - tetapi masyarakat adat yang tinggal di sana menjadi saksi hidup atas kondisi itu.

Ross menjelaskan bagaimana bukti perubahan iklim di permukaan tanah terkadang hanya tampak jelas bagi mereka yang telah mengamati pantai selama bertahun-tahun.

Sebuah aliran air kini muncul di sebuah endapan pasir dekat Kotzebue, misalnya, katanya.

"Lautan telah mengambil alih."

Dan lautan yang dulu membeku di tepi pantai sekarang jauh lebih rentan retak dan pecah, karena jauh lebih tipis dari sebelumnya.

Untuk berburu, orang-orang Iñupiat seperti Ross dan Bobby sering melakukan perjalanan jauh melintasi es selama musim dingin.

Ini memungkinkan mereka berburu binatang seperti anjing laut berjanggut, yang disebut ugruk, misalnya.

Tapi laut di dekat kabin Ross telah berhenti membeku seperti biasanya.

Mungkin hanya sekitar satu mil es yang sekarang memanjang keluar dari pantai, sesuatu yang dia gambarkan sebagai "tidak normal".

"Esnya seharusnya berada di seberang teluk," katanya.


Memakan korban jiwa

Dalam beberapa tahun terakhir, dia sering harus berhenti berburu di atas es karena tak ada lagi lapisan es atau lapisannya terlalu tipis untuk perjalanan yang aman.

Dia mengatakan, banyak kejadian warga dari desa-desa terdekat meninggal dunia karena jatuh dalam perjalanan mereka melintasi lapisan es yang tipis.

Meskipun bahan makanan tersedia di kota-kota besar di Alaska utara, kebanyakan orang bergantung pada perburuan dan perangkap untuk menopang kebutuhan makanan mereka sendiri.

Ross menyimpan daging buruan di kabin tepi lautnya. Sementara, Bobby terkenang betapa pentingnya berburu bagi ayah mereka.

"Kembali pada 1950-an, dia hidup hampir 100% dari makanan subsisten," jelasnya.

Namun pada tahun-tahun setelahnya, keluarga Schaeffer menyaksikan perubahan iklim telah memberikan tekanan pada binatang yang mereka kenal, seperti anjing laut.

Musim dingin 2018 hingga 2019 sangat buruk, terutama dalam hal jumlah salju di kawasan yang menjadi tempat anjing laut berkembang biak, kenang Bobby.

Itu artinya, hewan-hewan tersebut hanya memiliki sedikit salju untuk menggali sarang mereka.

"Itu sangat mempengaruhi mereka," katanya.

"Mereka membuat sarang di lapisan es tipis, sehingga rubah dan hewan di luar sana mencuri anak-anak mereka untuk dimakan."

Hilangnya lapisan es secara drastis dapat mengancam populasi anjing laut di berbagai bagian Kutub Utara, terlepas dari kenyataan bahwa mamalia yang sangat tangguh ini, sampai batas tertentu, dapat beradaptasi dengan perubahan habitatnya.

Ross juga khawatir tentang peningkatan limpasan air tawar ke lautan yang lebih deras dari hujan di musim semi dan musim panas.

Di sisi lain, teknik tradisional Iñupiat untuk memprediksi cuaca dikacaukan oleh perubahan nyata dalam cara angin bertiup.

"Sekarang kita memiliki banyak angin selatan dan tenggara," kata Ross.

Musim panas biasanya berlangsung selama empat bulan, kata Bobby. Kini, tambahnya, tampaknya berlangsung selama enam bulan.

Selama beberapa dekade terakhir, Bobby Schaeffer menyaksikan kampung halamannya berubah drastis.

​Akibatnya, air laut menghangat di sekitar Alaska.

Suhu udara bisa jauh di bawah nol saat ini, namun laut menolak untuk membeku.

"Seharusnya laut membeku saat suhu -20 hingga -30C tetapi tetap mencair," kata Ross, menjelaskan berapa lama ekspektasi tentang bagian laut mana yang akan membeku, dan kapan, telah berubah.

Perubahan ini mempengaruhi satwa liar setempat dalam banyak cara.

Suhu laut yang memanas mengubah pergerakan ikan, yang pada gilirannya berdampak pada hewan lain yang memakannya, termasuk kittiwake (sejenis camar).

Para ilmuwan telah mendokumentasikan perubahan ini di Alaska, tetapi bagi orang-orang yang menyaksikan secara langsung, seperti Ross, perubahan lanskap sudah jelas terjadi selama beberapa waktu.

Lokasi bersarang burung-burung telah bergeser dan mereka tampak semakin jauh untuk mencari makanan.

"Mereka pindah dari daerah yang lebih hangat," katanya.

"Pergi ke air yang lebih dalam."

Bobby ingat bagaimana ayahnya biasa memperhatikan prevalensi spesies tertentu yang berubah dari waktu ke waktu - seperti serangga tertentu yang belum pernah dia lihat sebelumnya mulai muncul di sekitar Kotzebue.

Ini adalah sesuatu yang mungkin berhubungan dengan banyak orang di seluruh dunia.

Beberapa satwa menjadi umum di tempat-tempat di mana mereka jarang jelajahi, sementara satwa yang lain sekarat.

Banyak spesies kupu-kupu menghilang di seluruh planet ini. Penurunan spesies tertentu seringkali dapat dikaitkan langsung dengan perubahan iklim.

Dunia yang digambarkan oleh Bobby dan Ross masih kaya dengan sumber daya dan komunitas mereka berupaya keras untuk mempertahankannya.

Tetapi situasi yang mereka gambarkan adalah situasi yang genting.

Pesatnya perubahan yang disaksikan oleh Bobby dan Ross adalah yang paling mengkhawatirkan mereka.

"Tidak ada yang berusaha untuk melihatnya sebagai keadaan darurat," kata Bobby.

"Ketika saya berbicara dengan anak-anak, saya membicarakan hal-hal ini."

Sulit untuk membayangkan bagaimana komunitas mereka akan bertahan di masa depan, tambahnya, meskipun dia menemukan kemungkinan yang menakutkan.

"Kamilah yang akan punah," katanya, mengacu pada Iñupiat.

Perubahan iklim "menakutkan semua orang kita di sini", kata Ross, yang menyebut bahwa apa pun yang dapat dilakukan dunia untuk memperlambat pelepasan gas rumah kaca dan mengendalikan perubahan iklim sangat penting.

"Kami benar-benar perlu berkonsentrasi untuk mengatasinya segera," tambahnya.

"Jika kita tidak fokus akan hal itu, kebanyakan dari kita tidak akan berada di sini 100 tahun dari sekarang.".(amt.bbc.com)

Tags :