Bank Dunia Peringatkan Krisis Utang Negara Berkembang: Bisa Membuat Segalanya Mejadi Lebih Buruk

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 17/Feb/2022 22:17 WIB


WASHINGTON DC (BeritaTrans.com) - Ekonomi negara berkembang paling terpukul oleh resesi ekonomi global akibat pandemi corona. Utang yang membengkak bisa membuat segalanya menjadi lebih buruk, kata laporan terbaru Bank Dunia.

Beberapa negara termiskin di dunia menghadapi krisis utang serius yang akan sangat mempersulit upaya pemulihan dari resesi akibat pandemi COVID-19, kata laporan terbaru Bank Dunia yang dirilis hari Selasa (15/2). Lebih dari 70 negara berpenghasilan rendah menghadapi pembayaran utang tambahan hampir $11 miliar tahun ini, meningkat 45% dari 2020 setelah terjadi kenaikan tajam dalam pinjaman tahun lalu.

Namun, laporan Bank Dunia itu mengatakan ada satu masalah mendasar dalam masalah utang yang dihadapi oleh negara berkembang, yaitu masalah utang "tersembunyi" atau tidak transparan. Sehingga deteksi risiko keuangan lambat atau bahkan salah dan akhirnya memukul akses ke pembiayaan untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan usaha kecil.

Laporan tahunan Bank Dunia biasanya berfokus pada satu aspek spesifik dari pembangunan ekonomi global di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah. Laporan tahun 2022 berjudul "Keuangan Untuk Pemulihan yang Adil" dan berfokus pada masalah utang.

Laporan itu menyebutkan, selain tantangan meningkatnya utang negara, sistem pembiayaan yang tidak stabil di negara berkembang membuat mereka lebih rentan terhadap masalah keuangan lain, seperti kenaikan inflasi dan suku bunga.

Kredit untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan usaha kecil

"Krisis ekonomi, inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi akan meluas karena kerapuhan keuangan," kata Presiden Bank Dunia David Malpass memperingatkan. "Kondisi keuangan global yang lebih ketat dan pasar utang domestik yang dangkal di banyak negara berkembang menekan investasi swasta dan menghambat pemulihan."

Perhatian khusus Bank Dunia ditujukan pada masalah risiko utang yang tersembunyi. Pandemi telah mengekspos berbagai kelemahan  besar, seperti kurangnya transparansi dalam melaporkan pinjaman bermasalah, dan manajemen aset yang tertunda-tunda, kata laporan itu.

Meskipun ada penurunan besar dalam pendapatan rumah tangga dan pendapatan bisnis yang disebabkan oleh pandemi, bagian keseluruhan dari pinjaman bermasalah tidak meningkat di banyak negara, tulis Bank Dunia.

"Ini mungkin karena kebijakan terlambat dan standar akuntansi yang longgar telah menutupi risiko tersembunyi yang signifikan," laporan itu memperingatkan.

Inti dari rekomendasi Bank Dunia adalah pentingnya mempertahankan kredit untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan usaha kecil.

"Rumah tangga dan usaha kecil memiliki risiko terbesar terputus dari kredit, namun akses ke kredit bisa meningkatkan ketahanan rumah tangga berpenghasilan rendah, dan memungkinkan usaha kecil untuk menghindarii penutupan, tetap Yang paling rentan akan terkena dampak paling parah

Laporan terbaru Bank Dunia juga menyoroti risiko yang dihadapi oleh kelompok-kelompok usaha kecil jika akses ke kredit ditutup.Menurut Bank Dunia, 50% rumah tangga akan berjuang untuk mempertahankan tingkat konsumsi dasar lebih dari tiga bulan, sementara rata-rata bisnis mengatakan mereka hanya memiliki cukup cadangan untuk menutupi biaya operasi selama dua bulan.

"Sudah waktunya untuk memprioritaskan tindakan awal yang disesuaikan untuk mendukung sistem keuangan yang sehat yang dapat memberikan pertumbuhan kredit yang dibutuhkan untuk mendorong pemulihan. Jika tidak, mereka yang paling rentan yang akan terkena dampak paling parah," kata Carmen Reinhart, kepala ekonom di Bank Dunia.

Masalah lain, menurut laporan Bank Dunia adalah apa yang disebut "perusahaan zombie", yang menerima dana dari negara yang pada akhirnya akan sia-sia. Ada kekhawatiran terjadi gagal bayar di beberapa negara, termasuk Sri Lanka dan Ghana. Menurut Bank Dunia, sekitar 60% dari semua negara berpenghasilan rendah perlu merestrukturisasi utang mereka.

Dengan ancaman ekonomi lainnya seperti inflasi, laporan tersebut mendesak pembuat kebijakan di negara-negara terkait untuk mengambil tindakan sesegera mungkin demi mencegah krisis utang yang akan memperburuk prospek pemulihan pasca-pandemi. dalam bisnis, dan akhirnya tumbuh dan mendukung pemulihan," kata Bank Dunia.

Yang paling rentan akan terkena dampak paling parah

Laporan terbaru Bank Dunia juga menyoroti risiko yang dihadapi oleh kelompok-kelompok usaha kecil jika akses ke kredit ditutup.Menurut Bank Dunia, 50% rumah tangga akan berjuang untuk mempertahankan tingkat konsumsi dasar lebih dari tiga bulan, sementara rata-rata bisnis mengatakan mereka hanya memiliki cukup cadangan untuk menutupi biaya operasi selama dua bulan.

"Sudah waktunya untuk memprioritaskan tindakan awal yang disesuaikan untuk mendukung sistem keuangan yang sehat yang dapat memberikan pertumbuhan kredit yang dibutuhkan untuk mendorong pemulihan. Jika tidak, mereka yang paling rentan yang akan terkena dampak paling parah," kata Carmen Reinhart, kepala ekonom di Bank Dunia.

Masalah lain, menurut laporan Bank Dunia adalah apa yang disebut "perusahaan zombie", yang menerima dana dari negara yang pada akhirnya akan sia-sia. Ada kekhawatiran terjadi gagal bayar di beberapa negara, termasuk Sri Lanka dan Ghana. Menurut Bank Dunia, sekitar 60% dari semua negara berpenghasilan rendah perlu merestrukturisasi utang mereka.

Dengan ancaman ekonomi lainnya seperti inflasi, laporan tersebut mendesak pembuat kebijakan di negara-negara terkait untuk mengambil tindakan sesegera mungkin demi mencegah krisis utang yang akan memperburuk prospek pemulihan pasca-pandemi.

Desakan G20

Sementara itu, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 memulai pertemuan pada hari Kamis (17/02).

Forum G20 adalah forum multilateral strategis  negara-negara maju dan berkembang di dunia, termasuk Amerika Serikat, Cina, dan beberapa negara Eropa, mengadakan pembicaraan dalam format hybrid di Jakarta, Kamis (17/02).

Inflasi global yang meroket juga akan menjadi fokus pada pertemuan G20, karena bank sentral mulai mengetatkan suku bunga dan menarik stimulus besar-besaran yang diperkenalkan selama pandemi.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengakui inisiatif G20 untuk membantu negara-negara debitur "belum berjalan sangat cepat," dan Amerika Serikat "berharap untuk melihat lebih banyak partisipasi aktif" dari Cina.

Selama pandemi COVID-19, G20 menerapkan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang untuk membantu negara-negara yang meminjam banyak untuk menangani krisis kesehatan dan ekonomi, tetapi program itu berakhir pada Desember 2021.

G20 tahun lalu mengadopsi rencana Kerangka Kerja Bersama yang dimaksudkan untuk menawarkan jalan untuk merestrukturisasi beban utang yang besar, tetapi rencana ini masih penuh dengan ketidakpastian, dan hanya tiga negara - Chad, Ethiopia, dan Zambia - yang telah meminta negosiasi mengenai persyaratannya.

Bank Dunia dan IMF masing-masing telah memperingatkan konsekuensi yang mengerikan. Hambatan utama soal pengurangan utang adalah kurangnya informasi tentang jumlah utang kepada China, beberapa pemberi pinjaman lainnya, oleh perusahaan swasta dan juga pemerintah.