Oleh : Redaksi
WONOSOBO (BeritaTrans.com) - Berada di kawasan dataran tinggi, wilayah Kabupaten Wonosobo memiliki pemandangan alam pegunungan yang indah. Di masa lalu, pernah ada jalur kereta apiyang meliak-liuk di kawasan pegunungan itu. Namun kini jalur itu telah mati sehingga hanya menyisakan bekas-bekasnya saja.
Salah satu peninggalan dari perkeretaapian di Wonosobo adalah stasiun kereta api yang menjadi tempat dimulainya jalur itu menuju ke arah barat. Kini halaman stasiun mati itu telah dimanfaatkan sebagai terminal bus menuju Dieng. Sementara bangunannya, menjadi cagar budaya yang tidak digunakan.
Para saksi sejarah di Wonosobo menceritakan kembali kenangan kejayaan Stasiun Kereta ApiWonosobo. Bahkan mereka bercerita seperti apa pengalaman yang dirasakan sebagai pelaku sejarah yang sehari-hari menyambung hidup di stasiun itu.
Mujihad masih ingat betul saat Stasiun Wonosobo masih melayani kereta api.
Waktu itu ada dua kali keberangkatan kereta api dalam sehari dari Wonosobo ke Purwokerto. Dalam sekali perjalanan, kereta api itu membawa dua kereta penumpang dan sisanya gerbong barang.
“Kenangan saya, waktu kereta api masih beroperasi, dulu ada banyak anak-anak yang ikut naik kereta saat masih langsir. Mereka senang bisa ikut naik walau cuma langsir bolak-balik,” kata Mujihad dikutip dari kanal YouTube Official Wonosobo WEB TV.
Sama halnya Mujihad, Harsten Besari, petugas Stasiun Wonosobo tahun 1964, masih ingat kenangannya saat menjadi petugas keuangan di stasiun itu. Harsten bercerita, stasiun dan jalur kereta api Wonosobo-Purwokerto telah dibangun sejak tahun 1917 dan mulai digunakan pada tahun 1942, lalu berhenti beroperasi pada tahun 1978.
Pada awalnya, kereta api yang beroperasi di lintas ini menggunakan tenaga uap batu bara. Pada tahun 1977 tenaga kereta uap tersebut diubah menjadi tenaga diesel. Perusahaan yang menaunginya juga sempat beberapa kali berganti nama.
“Djawatan Kereta Api, terus Perusahaan Djawatan Kereta Api, terus PNKA, Perumka, baru PT KAI,” kata Harsten.
Harsten bercerita, saat stasiun itu masih aktif, kereta api pertama berangkat dari Wonosobo ke Purwokerto jam 4 pagi. Lalu kereta api yang berangkat dari Purwokerto sampai stasiun itu jam 7 pagi. Kereta api itu kemudian berangkat kembali ke Purwokerto jam 2 siang. Lalu kereta api kedua yang datang dari Purwokerto tiba di Wonosobo jam 7 malam.
Karena jadwal keberangkatan kereta api itu cukup pagi, Harsten harus berangkat dari rumahnya di Selokromo ke stasiun jam 2 pagi. Perjalanan itu ia tempuh dengan berjalan kaki. Baru ia kembali pulang sekitar jam 2 siang.
“Di tengah jalan itu saya sering lihat orang nakal bawa pedang di aspalan, ada orang juga tiduran di tengah jalan. Saya dulu juga pernah hampir dibegal,” kata pria berdarah campuran Indonesia-Belanda itu.
Pada kesempatan itu, Harsten juga mengajak tim Official Wonosobo WEB TV berkeliling di lingkungan sekitar stasiun. Kini, bangunan utama stasiun telah berubah fungsi sebagai ruko-ruko jualan.
Walau begitu, masih banyak peninggalan-peninggalan yang masih tersisa seperti bangunan depo lokomotif, loket penjualan tiket, rumah sinyal, rumah dinas, pesanggrahan, emplasemen stasiun yang telah menjadi terminal, serta gudang-gudang penyimpanan barang.
“Yang menempati rumah dinas ini sebagian besar adalah keluarganya. Dia anak atau cucu dari petugas,” ujar Harsten saat ditanya mengenai penggunaan rumah dinas itu saat ini. (dn/sumber: merdeka.com)