Kisah Inspiratif Kopral Haryanto, Berawal dari Sopir Batalion Kini Sukses jadi Pengusaha Bus

  • Oleh : Redaksi

Minggu, 06/Mar/2022 16:17 WIB
Kopral Haryanto (kiri) saat mendapat kunjungan Ketua PPAD Doni Monardo di garasi PO bus di Kudus. Foto: inews.id. Kopral Haryanto (kiri) saat mendapat kunjungan Ketua PPAD Doni Monardo di garasi PO bus di Kudus. Foto: inews.id.

KUDUS (BeritaTrans.com) - Pensiun dari anggota Tentara Nasional Indonesia(TNI), Kopral Haryanto kini sukses menjadi pengusaha bus. Tak tanggung-tanggung, ada ribuan bus yang terparkir di PO bus miliknya.

Saat dikunjungi rombongan Persatuan Purnawirawan Angkat Darat (PPAD) yang dipimpin langsung ketuanya, Doni Munardo, Haryanto menceritakan perjalanannya sejak masih nol sampai dengan sekarang.

Baca Juga:
Laksamana Budayawan dan Ketum Dharma Pertiwi Saksikan Opera Wayang Orang ASMARADANA

Kunjungan ke Haryanto itu merupakan kelanjutan dari kunjungan rombongan PPAD ke PT Djarum Kudus.  “Akhirnya, agenda di Kudus yang semula hanya ke pabrik Djarum ditambah satu agenda lagi ke sini,” kata Sekjen DPP PPAD, Mayjen TNI Purn Komarudin Simanjunta di garasi PO Haryanto Jalan Lingkar Timur, Krasak, Ngembal Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.

Dalam kunjungan rombongan PPAD pada Sabtu (5/3/2022) itu, suasana sibuk tampak di garasi PO Bus Haryanto. Sebuah backdrop terpasang menutup sebagian layar wayang kulit di panggung berukuran 8 x 12 meter. Poster berisi kalimat sambutan selamat datang kepada Ketua Umum PPAD, Doni Monardoterpasang di sana.

Baca Juga:
Potret 4 Kakak Adik Sama-Sama Jadi Perwira TNI-Polri, Sukses di Matra Masing-Masing

Ada foto Haryanto dengan seragam TNI AD di bagian kiri, dan foto Doni Monardo dalam balutan PDL Kopassus lengkap dengan baret merahnya.

Seperangkat gamelan (alat musik pentatonis) yang dipandu alat-alat musik diatonis seperti gitar dan organ, tersedia di panggung. Keterangan dari salah seorang karyawan di situ, panggung dan alat-alat musik itu praktis tidak pernah dibongkar.

Hampir setiap malam di panggung itu diadakan latihan, mulai dari latihan campursari, gamelan, pedalangan, dan lain-lain.  Pagi itu, Haryanto tampak mengenakan stelan safari dan berkopiah. Dia mengatur langsung penataan meja-kursi, serta tata hidangan di meja-meja bundar yang tersedia. 

Sesekali dia terlihat berkomunikasi dengan Brigjen TNI Purn Edison, pengurus pusat PPAD yang berperan sebagai tim aju. Datang lebih awal, mendahului kedatangan rombongan Ketum PPAD.

Sebagai pensiunan Kopral, Haryanto mengaku senang mendapat kunjungan dari Letjen TNI Doni Monardo dan rombongan. Selain mengaku sangat terhormat, Haryanto juga sangat senang bisa bertemu langsung dengan Letjen TNI Doni Monardo. “Beliau orang besar. Saya banyak mendengar tentang beliau,” katanya.

Di sela-sela menunggu kedatangan Doni dan rombongan, Haryanto menyempatkan diri bercerita tentang perjalanannya, sampai jadi raja bus seperti sekarang ini.

"Saya anak orang kampung. Orang tua saya hanya buruh tani. Sesekali kerja sambilan di pasar Kudus. Saya anak keenam dari sebelas bersaudara,” kata Haryanto, mengawali cerita perjalanannya sebelum jadi pengusaha bus..

Di tengah keterbatasan ekonomi, orang tua terbiasa mendidik Haryanto dengan cukup keras. Sejak kecil ia sudah menjadi penggembala sapi milik tetangga, me-ngarit rumput untuk dijual sebagai pakan ternak, atau berjualan es. Semua ia lakukan untuk menambah penghasilan keluarga.

Lulus SD, dia lanjut ke SMP, hingga akhirnya ke STM. Nah, sampai di sini ia merasa tidak cocok. Belum ada bayangan masa depan seperti apa yang kelak ia lalui. 

Bertekad bisa mengubah nasib, ia tinggalkan Kudus menuju Serpong, Kabupaten Tangerang (sekarang Kota Tangerang Selatan). Di Tangerang, ia menumpang di rumah kerabat dan teman yang lebih dulu merantau.

Tak jauh dari tempat tinggalnya, terdapat Markas Batalion Artileri Pertahanan Udara 1/Purwa Bajra Cakti (Yon Arhanud 1/Rajawali). Itu merupakan batalion artileri pertahanan udara di bawah komando Divisi Infanteri 1/Kostrad. Batalion itu, seketika membuat Haryanto terngiang cita-cita masa kecilnya untuk menjadi tentara dan mengenakan seragam loreng.

Kenangan masa kanak-kanak itu, membawa Haryanto membulatkan niat untuk melamar masuk TNI AD tahun 1979. “Alhamdulillah saya lolos, lalu memulai pendidikan Secata di Gombong, Kebumen,” katanya.

Lima bulan mengikuti Secata (Sekolah Calon Taruna), Haryanto lulus dan berhak menyandang pangkat Prajurit Dua (Prada). Selama lima bulan di Secata, ia bersama prajurit siswa lain digembleng menjadi prajurit tangguh dan pantang menyerah.

Setelah lulus, kata dia, di tempat-tugaskan di Batalion Artileri Pertahanan Udara I/Rajawali Serpong. Sebuah batalion yang mengemban peran, fungsi, dan tugas pokok memberikan perlindungan udara terhadap objek vital maupun titik rawan. Di batalion itu, Haryanto ditugaskan sebagai pengemudi. Ya, sopir batalion.

"Saya dididik jadi pengemudi. Tugas saya mengangkut alat-alat berat, meriam, beras untuk logistik dan perminyakan. (Gaji tahun 1979) Sekitar Rp18.000 per bulan,” ujar Haryanto.

Sebagai pengemudi batalion, yang sudah pasti selalu bergelut dengan kendaraan bermotor, dimanfaatkan Haryanto untuk belajar berbagai hal tentang otomotif. Alhasil, pengetahuan tentang seluk-beluk kendaraan bermotor pun dia kuasai.

Memanfaatkan jam kosong di luar dinas, Haryanto mulai berpikir tentang mencari tambahan penghasilan. Satu-satunya pekerjaan yang kuasai dengan baik adalah mengemudi. Maka, ia pun bekerja sambilan sebagai sopir angkot. 

Dengan gaji prajurit ditambah penghasilan tambahan sebagai sopir angkot, tahun 1982 Haryanto memberanikan diri membangun rumah tangga. Dia meminang wanita pujaan hati, Suheni (pasangan ini dikaruniai tiga putra dan tujuh cucu). 

Hj Suheni meninggal dunia 22 April 2014. Selang beberapa tahun kemudian Haryanto menikahi Nurhana, (sinden dan penyanyi campursari kondang).

Usai menikah, lazim jika kebutuhan sehari-hari bertambah. Dengan gaji tentara serta tambahan sebagai sopir angkot, tak jarang ia harus gali lubang utang, sekadar bisa membayar sewa kontrakan yang berukuran 3x4 meter.

Himpitan ekonomi, justru melecut tekad Haryanto untuk bekerja lebih gigih. Nabung, jadi 'jalan ninja' Haryanto untuk bisa memenuhi kebutuhan itu. “Saya mulai bisa menabung. Kadang sepuluh ribu per hari, kadang lebih, kadang kurang, tergantung rezeki yang saya dapat,” ujarnya.

Tahun 1984, tabungannya mendekati satu juta rupiah. Bulat hati ia mencicil satu unit mobil angkutan kota (angkot) warna biru muda berikut izin trayeknya. Trayek R-03-A melayani jalur Pasar Anyar – Serpong. 

Dia bahkan masih ingat betul jalur yang biasa ia lalui, mulai dari Pasar Anyar - Stasiun Tangerang-Jl TMP Veteran -Jl Mohammad Yamin-Cikokol - Jl MH Thamrin -Kebon Nanas-Jl Serpong Raya Pakulonan-Jl Pahlawan Seribu-Jl Kapten Soebianto Djodjohadikusumo - Cilenggang - Kramat Tajug-Asrama Polsek Serpong – Jl Raya Serpong-Pasar Serpong dan berakhir di Stasiun Serpong.

“Tapi waktu itu jalannya belum sebagus sekarang. Masih banyak kebun karet. Lubang jalan di sana-sini," ujarnya.

Demi pundi-pundi rumah tangga, ia bahkan menambah jam kerja sebagai sopir. Suheni yang mengatur keuangan, termasuk tradisi menabung. Tak heran jika Haryanto bisa menambah jumlah angkot dari hasil tabungannya. “Penghasilan tambahan juga kami dapat dari mengageni (jadi agen) tiket bus antarkota,” kata lelaki kelahiran Kudus, 17 Desember 1959 ini.

Ketekunan dan kerja kerasnya terbayar lunas dengan peningkatan penghasilan serta aset yang dimiliki. Jumlah angkot dari satu, tambah dua, tiga, empat, lima hingga tembus angka seratus unit. Hampir semua trayek ia punya. Bahkan, masih di sekitar tahun 90-an ia sudah membuka showroom khusus angkot. “Cukup laris, tiap bulan bisa menjual 20 sampai 30 unit,” katanya senang.

Karier militer Suharyanto berjalan relatif mulus. Sejak masuk batalion tahun 1979 dengan pangkat Prajurit Dua (Prada) hingga tahun 2002, Haryanto sudah berpangkat kopral kepala. 

Di militer, pangkat itu masuk kategori Tamtama Kepala. Lima kenaikan pangkat telah ia lalui, mulai dari Prajurit Dua (Prada), Prajurit Satu (Pratu), Prajurit Kepala (Praka), Kopral Dua (Kopda), Kopral Satu (Koptu), dan Kopral Kepala (Kopka).

Usia pengabdian Haryanto tercatat 23 tahun. Sesuai UU No 2 tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata RI, ia sudah bisa mengakhiri masa dinas keprajuritan, sesuai pasal 32 ayat (1) : Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang telah mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan selama 20 tahun dapat diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan untuk menjalani masa pensiun.

Haryanto pun memilih pensiun, meski masih ada kesempatan mengabdi sampai usia 48 tahun, sesuai UU yang berlaku waktu itu. “Karena pengabdian saya sudah melampaui batas 20 tahun, maka saya sudah bisa mengajukan pensiun. Uang pensiun saya waktu itu Rp80.000 per bulan,” ujarnya.

Haryanto tetap menghargai setiap rupiah yang ia terima dari pengabdiannya sebagai prajurit TNI. Sekalipun, sebagai pengusaha ratusan angkot, penghasilannya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan. 

Bersamaan tahun pensiun, Haryanto merambah bisnis angkutan bus. “Saya dapat kepercayaan kredit dari BRI sebesar Rp3 miliar. Uang itu saya pakai untuk membeli enam unit bus dengan nama PO Haryanto. Logonya Menara Kudus,” ujarnya.

Awalnya, dia hanya mengoperasikan bus non-AC alias kelas ekonomi. Rutenya pun relatif pendek, yakni Cimone (Tangerang) -Cikarang (Bekasi) menempuh jarak 89 km.

“Di usaha bus, saya juga mengalami jatuh-bangun. Hingga saat ini trayek PO Haryanto melayani hampir semua kota besar di Jawa dan beberapa kota di Sumatera. Armada kami sudah lebih 250 unit bus. Bisa dibilang, merajai,” ujar Haryanto.

Saking banyaknya armada, pool PO Haryanto tidak hanya di Tangerang dan Kudus, tetapi juga di sejumlah kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Haryanto bahkan sudah mengembangkan sayap bisnisnya ke usaha restoran dan SPBU.

Beberapa saat kemudian, bincang-bincang tersebut harus terputus. Seseorang dengan setengah berlari, mengabarkan bahwa Doni Monardo dan rombongan sudah hampir tiba. 

Saat memberi sambutan selamat datang, Haryanto mengisahkan secara singkat riwayat usaha yang ia rintis. Satu hal yang ia tambahkan adalah bagaimana ia menerapkan kewajiban salat lima waktu bagi karyawannya dengan disiplin. Dia mengelola bisnisnya dengan manajemen langit. Artinya, mengamalkan perintah Tuhan dalam praktik manajemen.

Tidak hanya perintah salat dan kewajiban bus berhenti di jam-jam salat, Haryanto juga memotong dan memisahkan langsung 2,5 persen dari setiap penjualan tiket yang diperuntukkan bagi kaum duafa.  

Terakhir, dia mengucapkan terima kasih kepada pengurus pusat PPAD yang berkenan melakukan kunjungan ke garasinya. “Kami siap bekerja sama dan membantu PPAD,” ujar Kopka Purn H. Haryanto.

Sementara, Ketua Umum PPAD Doni Monardo memuji dan mengapresiasi kerja keras Haryanto hingga menjadi pengusaha sukses. Tak lupa Doni mengucapkan terima kasih serta rasa bangga dan salut dengan sikap terbuka Haryanto menerima para purnawirawan yang ingin bekerja di perusahaannya. 

Dia mengatakan, yang disebut pahlawan hari ini dan yang akan datang adalah seorang yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. “Jadi, di mata saya, pak Haryanto adalah seorang pahlawan,” kata Doni.

Doni juga meminta Kabid Ekonomi Mayjen TNI Purn Wiyarto menjajagi kerjasama antara PPAD dan perusahaan milik Haryanto. “Kalau perlu PPAD mengajukan hak kelola fasilitas rest area yang ada di Trans Sumatera, dan pengelolaannya kita kerja samakan dengan pak Haryanto,” ujar Doni.

“Dengan berbagai peluang yang ada, saya berharap semakin banyak pak Haryanto bisa menyediakan lapangan kerja bagi para purnawirawan dan anak bangsa yang lain. Saya berdoa semoga pak Haryanto senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang,” ujarnya. (dn/sumber: inews.id)