Dukung Logistik Nasional, DTKJ: Tata Kelola Integrasi Transportasi Harus Dilakukan

  • Oleh : Fahmi

Kamis, 13/Okt/2022 12:36 WIB
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Haris Muhammadun. Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Haris Muhammadun.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Kota DKI Jakarta sudah keluar dari kota termacet di dunia. Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Haris Muhammadun dalam sebuah diskusi yang bertajuk Manajemen dan Rekayasa Transportasi Berkelanjutan untuk Peningkatan Logistik.

Dia menjelaskan, dari car oriented development menjadi Transit Oriented Development (TOD) dan hasilnya Jakarta sudah keluar dari kota termacet di dunia dan harus ada perbaikan tata kelola transportasi logistik nasional.

“Di tahun 2021 rangking kita menempati posisi ke 46 kota termacet di dunia. Artinya Jakarta sudah bertranformasi dari mulai perbaikan transportasi publik dan infrastruktur yang ada. Kita sudah mulai melaksanakan itu,” kata Haris dalam webinar, Rabu (12/10/2022).

Dia membahas lebih jauh mengenai sektor logistik nasional.

“Pada 2019 saat ini tol laut dijalankan, tetapi belum maksimal. Untuk itu, pada waktu itu disiapkan bagaimana kontainer bisa masuk ke desa,” urai Haris.

Dia juga mengatakan, pada tahun 2020, Presiden Joko Widodo merasa kecewa karena tol laut sudah dijalankan, akan tetapi biaya logistiknya masih mahal.

Alhasil, di tahun 2021, Kementerian Perhubungan merilis bahwa ternyata konektivitas transportasi dan kelancaran distribusi logistik itu saling berkaitan.

Kembali, dia melanjutkan, pada tahun 2018, posisi performance indeks Indonesia berada pada peringkat 56 dengan nilai 2,92 dan tertinggal dari Singapura (4,28), Malaysia (3,56), Thailand (3,40), dan Vietnam (3,11).

“Kita masih berada di bawah Singapura,. Malaysia, Thailand, Vietnam. Indonesia berada di urutan ke 56, dan haya unggul dari Philipina yang berada di urutan ke 75, Laos, Kamboja, dan lainnya,” ujarnya.

Sebetulnya pemerintah memiliki target untuk menurunkan biaya logistik hingga 18% dari produk domestik bruto pada 2024. Sebab jika dilihat, saat ini Indonesia berada di posisi ke 23,5% dari PDB dan itu juga diatasnya Thailand yang berada di 15%, China 14%, Malaysia 13%, dan Jepang 8%.

Untuk itu, sejumlah langkah perbaikan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan permofmance indeks tersebut yakni, pertama melakukan peningkatan kualitas sarana dan prasarana transportasi dan perdagangan. Kedua pembangunan penghubung baru. Ketiga peningkatan partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur perhubungan.

“Perbaikan kualitas sarana dan prasarana transportasi dapat dilakukan melalui peningkatan dan perbaikan sarana yang terdapat pada bandara, pelabuhan, jalan raya, kereta api, pergudangan dan fasilitas trans-loading, serta fasilitas ICT. Dalam hal pembangunan penghubung baru, Indonesia masih memerlukan banyak peningkatan,” papar Haris.

Kembali, Haris menyampaikan dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa pembagian kelas jalan itu terdapat kelas I, II, III dan kelas khusus. Ini tentunya butuh singkronisasi diantara UU Transportasi yang sudah diperbaharui.

Jika dilihat klasifikasi jalan berdasarkan kelasnya, posisi kelas II, III bisa dilewati muatan berat sebesar 8 ton, kemudian untuk kelas 1 bisa dilewati muatan 10 ton dan bahkan di kelas khusus bisa dilewati lebih dari 10 ton.

Meski begitu, potret logistik nasional juga dipengaruhi oleh penempatan ijin lokasi dari pusat kegiatan apakah itu pabrik, industri, retail dan lainnya, yang mempunyai relasi kendaraan berdimensi besar dan bertonase tinggi, tidak ditempatkan pada lokasi yang sesuai dengan daya dukung jalan, sehinngga menimbulkan permasalahan distribusi logistik yang serius yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

“Selanjutnya kita masih terus berjuang bagaimana distribusi logistik ini masih diwarnai dengan adanya kendaraan yang Over Dimensi dan Over Loading (ODOL). Kita masih berjuang terus bagaimana kondisi ini masih terjadi dan ini jelas-jelas melanggar, akibatnya yakni banyak kecelakaan terjadi yang disebabkan adannya rem blong dan sebagai akibat muatan berlebih,” ucap Haris.

Over dimensi ini melanggar Pasal 227 UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, dengan ancaman hukuman pidana 1 tahun penjara atau denda maksimal Rp 24 juta.

Over loading ini tentunya melanggar Pasal 307 UU nomor 22 tahun 2009 dengan ancaman hukuman pidana kurungan 2 bukan atau denda Rp 500 ribu.

“Truk ODOL ini tentunya juga banyak masalah, tidak hanya masalah transportasi melainkan juga masalah ekonomi. Bagaimana pelaksanaan tarif angkutan barang juga masih belum diatur dengan baik, kemudian bisnis logistik belum diatur dengan baik juga singkronisasi beberapa aturan transportasi musti dilakukan dengan baik,” ungkap Hari melanjutkan.

Haris memaparkan beberapa hal yang menghambat logistik nasional, salah satu yakni konektivitas maritim Indonesia.

Menurutnya konektivitas antarwilayah belum terbangun dengan baik sehingga perpindahan barang atau pulau memakan waktu yang cukup lama dan menelan biaya besar.

Selain itu, terdapat banyak pelabuhan, bandara, stasiun, pergudangan, namun belum dikelola secara terintegrasi, efektif dan efisien.

Menurut Word Development Indicator, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia masih relatif rendah biak dibanding denga negara tetangga.

Hambatan lainnnya yakni biaya pengiriman yang dikeluarkan untuk pengiriman barang antar pulau cukup tinggi.

Kemudian, teknologi informasi dan komunikasi di era digital (Revolusi industri 4.0) memiliki keterbatasan jangkauan jaringan pelayanan telekomunikasi (jaringan internet). Lalu, data dan informasi terkait pengiriman barang masih belum terintegrasi dengan baik, sehingga belum dapat terbentuk database lalu lintas yang komprehensif.

Hambatan yang terakhir yakni sumber daya manusia (SDM) logistik jumlahnya sangat terbatas yang memiliki keterampilan bidang logistik.

Haris mengemukakan, sedikitnya ada empat hal rekomendasi dan implementasi yang harus dilakukan agar integrasi antar moda dapat terlaksana dengan baik.

Pertama yakni melakukan singkronisasi UU transportasi sehingga konektivitas multimoda transportasi dapat terintegrasi dengan baik. Kedua, perlu dibentuk lembaga yang kuat (power full) yang mengelola urusan multimoda transportasi. Ketiga, evaluasi tol laut dan refocusing implementasi sebagai penyempurna penyelenggaraan tol laut. Keempat, kaji dan tata ulang penyelenggaraan jaringan lintas angkutan barang (logistik) Indonesia.

“Berbicara mengenai Manajemen dan Rekayasa Transportasi Berkelanjutan untuk Peningkatan Logistik, yang paling mendasar adalah bagaimana secara regulasi dan kelembagaan itu harus kita selesaikan dan satu hal yang disempurnakan yaitu bagaimana konektivitas dan integrasi di angkutan lanjutan tol laut harus disempurnakan,” imbuhnya.

Dirinya berpesan, jangan sampai nantinya ada anggapan bahwa adanya Tol Trans Jawa dan Tol Trans Sumatera ternyata sama saja.

“Padahal tidak seperti itu, melainkan bahwa logistik ini juga justru akan lebih murah, optimal dan distribusinya menjadi lebih lancar,” tutup Haris.(fhm)