Saat Heru Lebih Memilih ERP untuk Atasi Kemacetan Dibanding Dorong Warga Ibu Kota Naik Transportasi Publik...

  • Oleh : Redaksi

Senin, 16/Janu/2023 15:37 WIB
Ilustrasi ERP atau jalan berbayar(Shutterstock) ((Shutterstock)) Ilustrasi ERP atau jalan berbayar(Shutterstock) ((Shutterstock))

JAKARTA-(Beritatrans.com) - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono memastikan bahwa sistem jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP) akan diterapkan.

Untuk diketahui, aturan soal ERP tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik (PLLE).

"Kalau enggak dimulai, kapan (lagi) dimulainya. 'Kan seperti itu," kata Heru di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (13/1/2023).

Setelah Raperda PLLE disahkan menjadi perda, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bakal menerbitkan peraturan turunannya.

Peraturan turunan itu, kata dia, bisa jadi berbentuk keputusan gubernur (kepgub) atau peraturan gubernur (pergub). Setelah itu, Pemprov DKI akan membahas titik-titik yang akan diterapkan ERP.

Bertumpu pada Transjakarta

Heru mengatakan bakal meningkatkan layanan transportasi umum sembari menunggu peraturan sistem jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP) disusun.

Salah satu layanan transportasi publik yang bakal ditingkatkan, kata dia, adalah Transportasi Jakarta (Transjakarta) dengan membenahi durasi antar-kendaraan (headway).

"Kan konsepnya sambil proses itu (penyusunan Raperda PLLE), Pemda DKI juga harus merapikan, misal Transjakarta bisa melayani dengan baik, headway diperketat, dan seterusnya," urai Heru, Jumat (13/1/2023).

Heru menegaskan penyusunan Raperda ERP membutuhkan waktu yang tergolong lama hingga bisa diimplementasikan.

Masih ada beberapa tahapan yang harus dilewati seperti meminta pendapat masyarakat hingga pendapat ahli.

Memanfaatkan momentum transisi

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, aturan itu merupakan salah satu upaya mengatasi kemacetan di Ibu Kota.

Kendati demikian, Djoko memandang sistem jalan berbayar ini merupakan kebijakan yang tidak populer karena berpotensi mendapatkan pertentangan dari masyarakat.

"Kebijakan model begini biasanya tidak disukai masyarakat. Namanya disuruh membayar, mereka mana ada yang mau, kan?" tutur Djoko, Rabu (11/1/2022).

Menurut Djoko kebijakan ini kemungkinan hanya didukung oleh kelompok masyarakat yang peduli transportasi dan lingkungan saja, selebihnya akan menolak.

"Sehingga, hanya gubernur yang tidak peduli popularitas saja yang berani melaksanakan (ERP) atau kalau ada undang-undang yang wajibkan gubernur untuk terapkan itu," kata Djoko.

Menurut Djoko, selama ini gagasan kebijakan di Ibu Kota sudah banyak yang bagus. Namun, pada saat melakukan eksekusi, banyak yang tidak berani karena alasan politis atau berisiko tak dipilih lagi.

"Kebijakan ini memang hanya bisa dilakukan gubernurnya saat ini (Heru Budi Hartono). Mumpung dia (Heru) adalah Penjabat Gubernur," kata Djoko.

Selain itu, kebijakan ERP juga dinilai lebih efisien dalam mengatasi kemacetan di Jakarta ketimbang kebijakan lainnya, seperti 3 in 1 hingga pembatasaan kendaaaran dengan ganjil-genap.

Kekhawatiran alokasi pendapatan ERP Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS) Irvan Maulana memandang, kekhawatiran terbesar publik sebenarnya fokus pada alokasi pendapatan ERP.

Menurut dia, masyarakat akan khawatir alokasi pendapatan justru tidak dikembalikan dalam bentuk peningkatan fasilitas angkutan umum dan peningkatan keselamatan lalu lintas Kegagalan pemerintah untuk menyampaikan proposal yang dapat dipahami publik, kata dia, akan menimbulkan konsekuensi negatif dalam implementasi ERP.

Menengok penerapan ERP di Hong Kong pada 1983, Irvan mengatakan reaksi publik tetap bertentangan dengan optimisme pemerintah meski Hong Kong berhasil memecahkan masalah teknologi untuk implementasi ERP.

"Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat yang komprehensif tentang pungutan kemacetan memegang peranan penting dalam diterima atau tidaknya skema tersebut," tutur Irvan.

Menurut Irvan, pemahaman masyarakat tidak hanya mencakup apa dan di mana pungutan kemacetan tersebut akan diterapkan, tetapi juga terkait dengan pengelolaan skema pungutan, termasuk aspek yang paling sering dibahas, yaitu alokasi pendapatan.

"Maka, mekanisme dan alokasi pendapatan ERP selayaknya harus diinformasikan secara menyeluruh dan transparan kepada publik, termasuk rencana uji coba, alternatif lain, sumber pendanaan, besaran subsidi pemerintah, dan lainnya," kata dia.
(ny/Sumber:Kompas.com)