Antara TNI dan SAF Singapura Punya Kesamaan Sekarang: Dipimpin Panglima Angkatan Laut

  • Oleh : Dirham

Selasa, 21/Mar/2023 11:23 WIB
Komando Armada I (Koarmada I) menerjunkan KRI Sutanto-377 dalam Patroli Terkoordinasi (Patkor) Malaysia-Indonesia (Malindo) 149/20 di Selat Malaka pada Sabtu (29/08/2020) bersama Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM). Komando Armada I (Koarmada I) menerjunkan KRI Sutanto-377 dalam Patroli Terkoordinasi (Patkor) Malaysia-Indonesia (Malindo) 149/20 di Selat Malaka pada Sabtu (29/08/2020) bersama Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM).

JAKARTA (BeritaTrans,com) - Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Angkatan Bersenjata Singapura atau Singapore Armed Forces (SAF) memiliki sejumlah kesamaan belakangan ini. Kedua angkatan perang itu sama-sama membukukan catatan yang cukup menarik tahun ini.

Apa itu? Keduanya kini sama-sama dipimpin oleh panglima yang berlatar belakang angkatan laut. 

Panglima TNI Yudo Margono merupakan seorang laksamana bintang empat dan yang pertama memimpin TNI dalam masa lebih dari satu dekade terakhir. 
Laksamana penuh terakhir yang menjabat Panglima TNI adalah Agus Suhartono periode 2010-2013. 

Sementara itu, Aaron Beng Yao Cheng, merupakan Panglima Angkatan Bersenjata Singapura pertama yang berasal dari kepala staf AL Singapura.

Sebelum menempati posisi itu (rencananya akan dikukuhkan Maret 2023), dia memang Kepala Staf Angkatan Laut Singapura alias Republic of Singapore Navy/RSN. 

Dia merupakan perwira tinggi RSN pertama yang menyandang pangkat bintang tiga. Dalam sistem Singapura, panglima Angkatan Bersenjata memang berbintang tiga. 

Aaron menggantikan Melvyn Ong sebagai panglima. Melvyn berasal dari Angkatan Darat. Adapun posisi Kastaf RSN yang ditinggal Aaron telah diisi oleh Sean Wat Jianwen, mantan panglima armada AL Singapura.

Dalam kapasitasnya sebagai KSAL Singapura yang baru, Sean menjadi salah satu pihak yang terlibat dalam program patrol terkoordinasi (coordinated patrol) Indonesia-Singapura yang diluncurkan belum lama berselang. 

Tentu saja, KSAL Muhammad Ali merupakan counterpart-nya dari pihak Indonesia. Di lapangan, kerja sama ini dilaksanakan oleh Koarmada I dari pihak Indonesia dan Maritime Security Command/Maritime Security Task Force dari pihak Singapura. 

Sekadar pengingat, kerja sama dalam format patroli terkoordinasi telah lama berlangsung di kawasan Asia Tenggara, dalam hal ini di seputaran Selat Malaka. 

Nama kodenya adalah Malsindo, kepanjangannya Malaysia, Singapura, dan Indonesia yang didirikan pada 2004. 

Kerja sama ini melibatkan Angkatan Laut masing-masing negara dengan tujuan menekan perompakan (piracy). Perompak kerap mengganggu kapal-kapal niaga di selat yang secara fisik airnya menjejak sampai di pantai ketiga negara inisiator.

Kendati terkoordinasi, namun AL negara peserta program kerja sama tetap melakukan patrol di perairan teritorialnya sendiri-sendiri. Tidak bisa atau tidak boleh, misalnya, TNI AL masuk ke perairan teritorial Malaysia atau Singapura saat memburu perompak yang kabur ke wilayah perairan kedua negara. 

TNI AL cukup berkomunikasi – tepatnya berkoordinasi – dengan RSN atau Royal Malaysia Navy/RMN untuk melanjutkan pengejaran. 

Laut teritorial sebuah negara pantai, menurut UNCLOS 1982, luasnya sekitar 12 mil laut yang diukur dari garis pantai terluar. Untuk menutup celah terkait pengejaran perompak oleh kapal patrol AL tadi, lalu diluncurkanlah 

“Eyes in the Sky” atau EiS. Ini adalah patroli udara yang dilakukan oleh masing-masing negara anggota Malsindo dengan pesawat intai maritim (maritime patrol aircraft) yang mereka miliki. 

Dengan skema ini, pesawat patroli diizinkan terbang di atas laut teritorial negara anggota sejauh tiga mil laut. Sayang, EiS relatif kurang sukses karena terbatasnya sorti penerbangan sejak diluncurkan pada 2005. 

Di samping itu, program ini juga menghadapi kendala terbatasnya sumber daya dalam merespons kejadian yang berhasil dipantau oleh patroli udara. 

Kembali ke kerja sama Indonesia dan Singapura patroli terkoordinasi. Sebagai sebuah upaya memperkuat kerja sama AL antara kedua negara jelas ini sebuah upaya yang layak diapresiasi.

Bagi TNI AL, kerja sama sejenis idealnya harus pula dilakukan dengan RMN agar semangat kebersamaan antarmatra laut se-Selat Malaka tetap solid. 
Selain itu, keberadaan kerja sama bilateral seperti yang dilakukan dengan Singapura mesti pula diiringi dengan niat baik supaya forum kerja sama multilateral Malsindo tetap bisa dipertahankan. 

Melihat sepak terjang KSAL Muhammad Ali yang gencar melakukan muhibah ke beberapa sejawat di kawasan sejak dilantik, harapan untuk kerja sama bilateral dan multilateral sepertinya akan membuncah di bawah kepemimpinannya. 

Kerja sama adalah kata kunci dalam upaya mengamankan laut. Karena tidak ada satu pun negara di dunia ini yang bisa mengamankannya sendirian. Bahkan, AS yang disebut sebagai negara terkuat dalam aspek kekuatan matra laut melakukan kerja sama dengan berbagai negara dalam mengamankan laut.

Kendati laut yang diamankannya sudah jauh dari perairan teritorialnya. Antara TNI dan SAF kini sama-sama dipimpin oleh orang dari matra laut. 

Indonesia dan Singapura sama-sama pula menjadi littoral state Selat Malaka. Melalui IFC dan ReCAAP ISC gangguan keamanan di selat ini semakin cepat terdistribusi kepada otoritas keamanan maritim di mana kejadian berlaku.

Sehingga, upaya penegakan hukum dapat segera dijalankan. Semoga kawasan Selat Malaka semakin aman dengan patroli terkoordinasi Indonesia-Singapura dan patroli-patroli lainnya. (ds/sumber Kompas.com)