"Nautilus" Kapal Selam Nuklir AS Pertama yang Sanggup Tembus Es Kutub Utara

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 30/Mar/2023 07:29 WIB
Es di Kutub. (Ist) Es di Kutub. (Ist)

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Kapal selam milik Amerika Serikat (AS) menjadi kapal pertama yang mencapai Kutub Utara. Kapal yang berlayar dengan misi rahasia itu mencapai bagian bumi paling utara itu pada 1958.

Komandan USS Nautilus, William Anderson pada 3 Agustus 1958 membuat catatan tak biasa. Komandan kapal selam nuklir pertama itu membuat catatan di buku lognya.

"Menaikkan ke kapal satu orang di Kutub Utara...Santa Claus, afiliasi: Natal," ujarnya.

Demikian kalimat terakhir dari catatan perayaan setelah USS Nautilus berhasil menyeberangi kutub utara. Misi perdana itu adalah misi rahasia dengan nama sandi 'Operation Sunshine'.


Perjalanan itu dilakukan dengan kapal selam sepanjang 97 meter dan 116 awaknya. Selama perjalanan mereka sepenuhnya tenggelam di bawah lapisan es. Ini adalah sebuah prestasi yang mustahil sebelum penemuan propulsi bertenaga nuklir kompak.

"Untuk dunia, negara kita, dan angkatan laut - Kutub Utara," ujar Anderson.

Sebelum kapal Nautilus, kapal selam harus muncul ke permukaan atau setidaknya menaikkan snorkel ke atas permukaan laut untuk mengambil udara yang dibutuhkan mesin diesel dan mengisi baterai untuk penggerak listrik. Tetapi dengan reaktor nuklir, Nautilus tidak perlu melakukan itu.

 

Namun, Nautilus sudah berada jauh di bawah permukaan air selama tiga hari sebelum mencapai Kutub Utara. Mereka tidak sekalipun muncul ke permukaan hingga di dekat pantai Greenland, pada 7 Agustus 1958.Hal itu membuat Nautilus menghabiskan seminggu di bawah ombak dingin dan es yang membeku.

Presiden AS kala itu, S Dwight D Eisenhower mengirimkan ucapan selamatnya kepada para awak kapal atas "pencapaian luar biasa".


Kala itu, ia meyakini bahwa misi pelayaran itu akan merevolusi cara beroperasi kapal selam dan peperangan di masa depan.

Kapten Justin Hughes, pensiunan komandan kapal selam nuklir untuk Angkatan Laut Kerajaan Inggris sekaligus sekretaris kehormatan Museum Kapal Selam Angkatan Laut Kerajaan Inggris mengatakan aksi Nautilus sangat mengesankan.

"Pelayaran itu adalah demonstrasi yang mengesankan dari sebuah revolusi dalam perang maritim. Ini memberi bukti bahwa kapal selam bertenaga nuklir dapat beroperasi di bawah air, sehingga tak terdeteksi, untuk misi yang lama," ujar Hughes.

Sejak 1969, misalnya, Inggris selalu memiliki setidaknya satu kapal selam yang membawa senjata nuklir di laut - peran yang saat ini dilakukan oleh kapal kelas Vanguard-nya.

Misi Nautilus, selain merupakan ajang pembuktian potensi militer kapal selam nuklir, juga menjadi tonggak sejarah ilmiah, yang membantu menyiapkan panggung untuk era baru eksplorasi dan penemuan tentang dunia aneh di bawah lapisan es Arktik. Namun, bahkan hingga sekarang, misi pelayaran di bawah es-es Arktik bukanlah hal yang rutin dilakukan.

"Tantangan operasi kapal selam di lingkungan ini tidak boleh diremehkan," kata Hughes.

Selain serpihan-serpihan es yang dapat mengganggu instrumen sonar, kru juga harus siap menghadapi masalah yang disebabkan oleh kondensasi.

"Lebih mendasar lagi, jika terjadi keadaan darurat di atas kapal seperti banjir, kebakaran, atau kehilangan tenaga, ada bermeter-meter lapisan es Arktik di antara kapal selam dan udara segar," jelas Hughes.

"Semua ini butuh konsentrasi yang tinggi. Misi pelayaran di bawah es harus dilakukan dengan tingkat kesiapan kru yang tinggi untuk menanggapi keadaan darurat. Ini mengharuskan awak kapal selalu siaga," kata Hughes.

Beberapa orang bisa jadi tidak terlalu senang bekerja di bawah bermeter-meter es. Namun, yang lain memandang misi itu dengan iri. Untuk para ahli kelautan, kapal selam menyediakan platform yang sempurna untuk menggali pengetahuan tentang Arktik.

"Saya selalu terpesona dengan kapal selam," kata Jamie Morison, sekarang seorang ahli kelautan senior di Pusat Sains Polar di Seattle.

Pada 1980-an, Morison mengerjakan sebuah proyek yang menyebarkan pelampung dari kapal selam milik Angkatan Laut AS untuk mengumpulkan data laut. Dia harus mengunjungi galangan kapal untuk membantu menyesuaikan peralatan ilmiah.

"Saya selalu berangan-angan untuk bisa bekerja dengan kapal selam," kata dia.

Akhirnya pada tahun 1993, bersama enam rekannya, dia diberi kesempatan tersebut. "Itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan," katanya.

Ekspedisi Morison di bawah es Arktik dilakukan di USS Pargo, kapal selam serang bertenaga nuklir sepanjang 89 meter. Pelayaran ini diatur melalui sebuah inisiatif dan disusun oleh seorang mantan kapten angkatan laut, yang disebut Submarine Arctic Science Program (Scicex).

Ketua komite penasihat Scicex saat ini, Jackie Richter-Menge dari University of Alaska, mengatakan penyelidikan soal cakupan dan ketebalan es Arktik, arus laut dan lanskap dasar laut saling menguntungkan bagi para ilmuwan dan awak kapal selam.

"Para ilmuwan belajar tentang Samudra Arktik dan angkatan laut belajar lebih banyak tentang lingkungan tempat mereka beroperasi," katanya.

"Kapal selam memberikan kita akses unik ke lingkungan yang keras dan itu termasuk memahami berbagai hal saat ini, dan juga mampu memahami seperti apa lingkungan di masa depan."

Namun tantangan nyata dalam menyatukan para ilmuwan dan militer adalah bahwa kapal selam beroperasi pada misi super rahasia dan para ilmuwan suka mempublikasikan data mereka secara terbuka untuk dilihat semua orang di dunia.

Sekarang ini, kapal selam bertenaga nuklir dapat berada jauh di bawah permukaan laut selama berbulan-bulan. Hal itu menjadikan kapal selam sebagai sebuah senjata penghancur dan pertahanan yang tersembunyi. Apalagi kapal selam kerap kali memuat torpedo dan rudal nuklir.(fhm/sumber:okezone)