Pelaut Dianggap Pekerja Migran, AP2I Gugat UU PPMI ke Mahkamah Konstitusi

  • Oleh : Ahmad

Rabu, 13/Sep/2023 12:53 WIB
Foto istimewa/AP2I Foto istimewa/AP2I

TEGAL (BeritaTrans.com) - Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI) selaku agen awak kapal, mengajukan Judicial Review (Pengujian Yudisial) UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu terungkap, dalam konferensi pers yang digelar oleh Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI), di Tegal, Selasa (12/9/2023). 

Baca Juga:
Dukung UMK, Pelindo Regional 4 Gelar Pelatihan Literasi Keuangan

Dalam konferensi tersebut, Ketua Umum AP2I Imam Syafi'i, mengungkapkan alasan mengapa pihaknya sampai mengajukan Judicial Review (Pengujian Yudisial) ke Mahkamah Konstitusi. 

Hal itu, karena penerapan UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dinilai merugikan secara konstitusi bagi kalangan pelaut dan agen awak kapal. 

Baca Juga:
SPJM Gandeng JPPI Gelar Pelatihan Vokasi dan Sertifikasi Juru Las bagi Lulusan SMK

Pasalnya, terjadi tumpang tindih antara UU Pekerja Migran dan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang berdampak pada hilangnya kewenangan pelaut saat bekerja di perairan.

Sehingga pada kesempatan itu, Imam menegaskan pihaknya resmi mengajukan judicial review UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI ke Mahkamah Konstitusi. 

Baca Juga:
Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Tanjung Priok Hadiri Peluncuran Aplikasi SIMKAPEL, Diresmikan Menhub

"Kami memandang, UU Nomor 18 Tahun 2017 materi Pasal 4 ayat (1) huruf c merugikan kepentingan pelaut dan keagenan awak kapal (manning agency), dimana mengkategorikan pelaut sebagai pekerja migran. Hal tersebut akan berdampak dikesampingkannya beberapa undang-undang, sebagaimana asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang berarti hukum khusus menyampingkan hukum umum,'' ungkap Imam Syafi'i, dalam keterangan tertulis, Rabu (13/2023). 

Selain itu, lanjut Imam, ada kerugian dan ketidakpastian hukum terhadap pelaut.

Selain itu, lanjut Imam, ada kerugian dan ketidakpastian hukum terhadap pelaut.

Salah satunya adalah dengan beralih atau diklaim pelaut yang bekerja di luar negeri sebagai bagian pekerja migran. 

Maka segala aturan dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaut mengikuti aturan dan ketentuan pekerja migran. 

Bahkan, menurut Imam pada dasarnya aturan dan ketentuan antar pelaut sudah diatur secara khusus. 

Termasuk pada konvensi internasional terkait dengan kedudukan pelaut.

Padahal dalam klausul Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Nomor 18 Tahun 2017, tentang pengawasan dan penerbitan izin perekrutan dan penempatan pelaut menjadi kewenangan mutlak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). 

"Sehingga karena pelaut berhubungan langsung dengan transportasi laut, maka seharusnya menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang memiliki tugas menyelenggarakan keselamatan dan keamanan angkutan perairan dan pelabuhan, bukan masuk sebagai bagian pekerja migran," ujar Imam.  

Masih di lokasi yang sama, kuasa hukum Imam Syafi'i yaitu Fatkhur Siddiq, menerangkan bahwa terdapat dampak tumpang tindih regulasi pada Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. 

Baik pada tingkatan undang-undang yaitu berbenturan dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, sampai tingkatan Peraturan pelaksanaannya yaitu PP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran. 

Bahkan dengan PP Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. 

"Dengan beralihnya kewenangan Kemenhub menjadi kewenangan Kemnaker dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), maka jaminan perlindungan serta hak-hak bagi pelaut yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan terkait pelayaran tidak dapat diaplikasikan kepada pelaut. Sehingga hal itu sangat merugikan bagi klien kami," papar Fatkhur. 

Sementara itu, kuasa hukum Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia yakni Ahmad Faisal, mengungkapkan kliennya merupakan direktur perusahaan yang bergerak di bidang keagenan awak kapal (manning agency). 

Pada kesempatan itu, pihaknya mengklaim telah memiliki dokumen Perizinan Berusaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal atau SIUPPAK. 

Tapi karena belum memiliki Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI), pihaknya mengaku mengalami kerugian spesifik dan aktual.  

Menurut Faisal, kliennya merasa dikriminalisasi dengan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) oleh Polda Jateng pada Juni 2023 lalu. 

Faisal memandang, SIP2MI sudah tidak masuk pidana lagi melainkan administratif. 

Jika mengacu PP Nomor 22 Tahun 2022 juga sama, yakni SIP2MI bagi manning agency juga administratif.

Maka pihaknya berharap, bisa terjadi harmonisasi regulasi khusus pelaut sehingga tidak terjadi tumpang tindih perizinan antara Kemnaker, BP2MI dengan Kemenhub. 

Secara tegas Faisal menginginkan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No 18 Tahun 2017 perlu dilakukan judicial review atau political review, dengan mengeluarkan pelaut dari kelompok pekerja migran dan ditegaskan dalam Pasal 5 UU PMI 2017, bersama sejumlah pekerja lainnya yang dieksklusi sebagai pekerja migran. 

"Sebagai kuasa hukum, saya merasa klien dirugikan dan sebagai korban atas dualisme aturan yang sedang berlaku. Padahal kami memiliki SIUPPAK tapi diharuskan memiliki SIP2MI," pungkas Faisal.(ahmad) 

 

 

Tags :