Oleh : Naomy
SINGAPURA (BeritaTrans.com) - DPP INSA menghadiri konfrensi Asia Pasific Maritime (APM) 2024 di Singapura, Rabu (13/03/2024).
Dalam kesempatan itu Ketua DPP INSA Carmelita Hartoto menjadi Panelis dan menyampaikan komitmen ikut serta mewujudkan green shipping dengan terus mendorong kesiapan dan ketersediaan alternatif energi bahan bakar ramah lingkungan bagi kapal.
Baca Juga:
Angkasa Pura II Ikuti Pameran IKN Expo 2024 Penajam Paser Utara, Serambi Nusantara
APM 2024 merupakan pameran dan konferensi penting di Asia yang menampilkan industri pelayaran, seperti layanan dan solusi, teknologi, peralatan kapal dan banyak lagi.
INSA turut serta dalam pameran tersebut sejak 2016.
Baca Juga:
Peringati Hari Perumahan Nasional 2024, BNI Dukung Penghijauan di IKN
Selain Carmelita, hadir pula para pengurus DPP INSA lainnya pada APM 2024.
Pada acara yang digelar selama tiga hari ini, INSA membuka booth yang dihadiri sejumlah pelaku usaha dan pejabat serta atase Kementerian Perhubungan.
Baca Juga:
INSA dan Duta Besar Asia Fokus Tingkatkan Kolaborasi Maritim
Menurutnya, salah satu pembahasan menarik di pelayaran saat ini menyangkut green shipping, yang mana salah satunya terkait energi terbarukan sebagai alternatif penggunaan bahan bakar kapal.
“Industri pelayaran Indonesia tengah menuju green shipping dengan pengembangan energi terbarukan sebagai alternatif bahan bakar kapal. Hanya saja kita masih harus terus berbenah, karena tantangannya juga cukup banyak,” tutur Carmelita yang juga Ketua Umum FASA (Federation ASEAN Shipowners Association) ini.
Selain bahan bakar fosil, menurutnya, sektor pelayaran sebenarnya memiliki beberapa alternatif bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Sebut saja misalnya biodiesel, LNG, amonia, metanol, hidrogen, nuklir dan listrik.
Masing-masing sumber energi ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, baik dari segi keamanan dan risiko lingkungan, ketersediaan, infrastruktur bunkering, storage di dalam kapal, hingga kesiapan teknologi.
"Dari beberapa alternatif bahan bakar tersebut, jenis bio diesel, LNG dan listrik yang kesiapan dan ketersedian teknologinya paling mungkin tercapai untuk digunakan sebagai bahan bakar kapal saat ini, terutama di Indonesia," urainya.
Pemerintah Indonesia telah mewajibkan penggunaan biodiesel untuk kapal laut dengan kandungan fame hingga 40% (B40).
Biodiesel memiliki keunggulan karena ketersediaan stok yang lebih banyak dengan infrastruktur penunjang yang lebih berkembang.
“Tapi harganya lebih mahal, dan meningkatkan biaya perawatan karena membuat kapal lebih sering melakukan penggantian filter sebab penggunaan B40,” ucap dia.
Sementara itu, bahan bakar LNG menjadi salah satu bahan bakar alternatif kapal masa depan yang dapat mereduksi gas rumah kaca hingga 23%, dibandingkan bahan bakar berbasis minyak saat ini.
Meski masih menghadapi sejumlah tantangan, layanan bunkering LNG juga terus dikembangkan oleh PGN (Perusahaan Gas Negara).
Terminal Bunkering LNG direncanakan berada di Arun dan Bontang, sedangkan LNG Bunkering kapal berpotensi dikembangkan di Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak dan beberapa pelabuhan lainnya.
Carmelita menambahkan, saat ini sudah ada pilot project kapal penunjang kegiatan lepas pantai milik pelayaran nasional yang menggunakan dual fuel (bahan bakar minyak dan LNG), dengan lokasi kerja di Mahakam dengan mengisi bahan bakarnya di PHM (Pertamina Hulu Mahakam).
Sementara itu, pilot project pada kapal berbahan bakar listrik juga telah dimulai di Surabaya, Jawa Timur oleh kapal milik pemerintah.
"Kesuksesan pilot project ini akan dikembangkan di IKN (Ibu Kota Nusantara) Kalimantan Timur," imbuhnya.
Carmelita menuturkan, Indonesia dapat mengacu pada beberapa negara yang lebih dulu dan lebih maju dalam pengembangan kapal bertenaga listrik ramah lingkungan.
Beberapa negara tersebut seperti, Denmark, dan Selandia Baru.
"Bahkan Norwegia saat ini sedang mengembangkan bahan bakar energy hydrogen dan ammonia, untuk mencapai ambisi mereka menjadikan negara dengan zero-emission di tahun 2030," kata dia.
INSA berkomitmen ikut serta mewujudkan green shipping di Indonesia, namun juga membutuhkan dukungan dan kerja sama dari sisi teknologi maupun pendanaan untuk riset dan pengembangan industri pelayaran ramah lingkungan masa mendatang. (omy)